\Chocolate, White Roses, Lilies, and Jungkook are my favorite opiates/
💜
Jungkook benar-benar candu.
Bagaimana bisa dia selalu menatapku dengan senyum yang terulas tipis hingga benar-benar membuat kepalaku pening bukan main. Sungguh, dia membuat salivaku tertelan dengan payah terus menerus. Apalagi saat lelaki itu bersenandung lirih dengan suara selembut permen kapas itu, rasanya aku ingin memeluk Jungkook erat saat ini juga sembari bertanya, 'hei, ayo jadian'. Andai semudah itu, dan andai aku seberani itu.
"Ingin cokelat?" Jungkook menyodorkan makanan manis berbentuk hati dengan bungkus merah muda yang cantik ke arahku.
Aku mendongak menatap Jungkook, presensinya yang membelakangi matahari sore membuatku harus benar-benar menyuruhnya beringsut sedikit, tentu saja agar aku dapat melihat wajah sempurna itu dengan lebih jelas.
"Untukku?" Aku mengulurkan tangan dengan ragu, tentu saja aku tidak ingin bersikap berlebihan di depan lelaki itu. Jadi, aku harus bersikap seperti kebanyakan gadis normal yang malu-malu kucing saat ditawari sebuah hal manis oleh cowok, bukan?
"Untuk perut Jia." Jungkook tersenyum menatapku, katakan bahwa aku masih menapak di bumi dan napasku masih berhembus.
Aku terkekeh ringan sembari menerima cokelat berukuran kecil dengan selai strawberry di dalamnya, sedangkan lelaki itu hanya tersenyum tipis selapis, lalu duduk di sebelahku dengan tangan yang menumpu dagu pada meja kosong yang telah tak terpakai. Wajahnya benar-benar menghadap ke arahku, dan jujur saja itu membuatku sedikit salah tingkah.
"Ke—kenapa, Jung?" Aku mengusap wajah dengan sehelai tisu, takut-takut jika ada nasi yang tertempel pada pipi atau cabai yang menyelip pada gigi. Kan sangat tidak lucu jika Jungkook melihat wajahku yang berantakan seperti seekor babi.
"Ayo dimakan. Aku ingin melihatmu makan cokelat." Jungkook memasang posisi yang sangat nyaman untuk melihatku, lelaki tersebut menyeret kursinya dan berhenti di depanku dengan wajah tanpa dosa, seolah semua yang dia lakukan tak menyebabkan penyakit-penyakit yang mungkin akan muncul saat ini juga pada tubuhku—serangan jantung akut, misalnya.
"Harus sekarang?" Aku bertanya ragu, masih tak berani menatap matanya.
Jarak kami hanya terpaut beberapa jengkal saja, membuatku kehilangan seluruh kesadaran yang mulai terkikis dan terhisap nyaris habis oleh sosok di depanku.
"Iya, lah."
Aku membuka bungkus berbentuk hati dengan perlahan, menebak-nebak apa sebenarnya yang ada dalam pikiran Jungkook.
"Bagaimana? Enak?" Bola mata Jungkook berbinar ketika aku memasukkan satu gigit kecil benda manis itu.
Aku hanya mengangguk dengan mantap; sebagai artian bahwa ini adalah cokelat paling enak yang pernah ku makan. Terlalu berlebihan, ya? Namun itu benar-benar terjadi. Bahkan, cokelat di minimarket Paman Ahn yang aku kira adalah cokelat terbaik di planet ini, masih kalah telak dibanding lumernya cokelat pemberian Jungkook.
Jungkook tampak menghembuskan napas lega, "Syukurlah kau menyukainya."
"Memangnya beli dimana?"
"Rahasia. Kau mau lagi? Besok aku bawakan, ya?" Jungkook menatap ke arahku dengan matanya yang melebar sempurna, sembari tersenyum lebar hingga kedua gigi kelinci itu terlihat jelas.
Aku hanya tertawa. Jungkook sangat baik dan aku menyukainya. Lebih tepatnya, aku menyukai Jungkook yang baik dan tampan, dan juga berotot.
"Sudah malam. Pulang, yuk?" Ajak Jungkook sambil mengambil tas selempang hitam yang tergeletak di sisi meja.
Aku hanya mengangguk dan mengiyakan ajakan bocah kelinci itu.
"Kau suka bunga?" Tanyanya tiba-tiba.
"Suka." Aku menjawab sekenanya.
"Bunga apa?" Jungkook masih bertanya dengan tatapan manisnya ke arahku. Tinggiku hanya sebatas bahunya saja, dan itu sangat menyebalkan ketika berjalan beriringan seperti ini, akan buruk untuk kesehatan leherku jika terus mendongak untuk menatap ke arahnya.
"Lili. Aku suka bunga Lili." Jawabku dengan senyum tipis yang mengembang, lantas kulanjutkan, "dan juga mawar putih."
"Baik, besok kutunggu di rooftop jam 4 sore." <>
KAMU SEDANG MEMBACA
ROOFTOP | JJK ✔️
Fiksi Penggemar[COMPLETED] Pertemuan singkat yang benar-benar singkat, karena dia hanya ilusi yang datang padaku lalu pergi dengan cara yang paling benar, namun tetap terasa salah dan menyesakkan.