Prolog

52 10 0
                                    

Pintu lobby terbuka oleh tarikkan satpam. Seorang perempuan berpakaian rok span dan jas formal serba pink dengan rambut panjang hitam dikuncir seperti buntut kuda, berjalan cepat sambil memperhatikan ipad ditangannya. Namanya Zeline Lie, pengelolah sekaligus CEO two continents art yang terkenal hingga masuk galeri seni terbaik di kota tempat tinggalnya.

"Selamat pagi bu, hari ini jadwal ibu hanya datang meeting bersama bapak Megan. Ini saya juga membawa lembar kontrak yang ibu minta kemarin." kata salah satu pegawai perempuan yang jalan berdampingan menyesuaikan langkahnya. "Persyaratan lainnya sudah saya siapkan di meja ibu."

"Terima kasih Abil informasinya." jawab Zeline, lalu ia berjalan lebih cepat meninggalkan pegawai tersebut menuju ruangannya.

Saat sampai, Zeline langsung duduk meletakkan ipad dan mengetikkan sesuatu pada laptopnya. Bolak-balik melihat ipad dan laptop secara bergantian, terlihat sibuk fokus seperti tak ingin ada orang lain yang mengganggu. Kisaran sepuluh menit melakukan aktivitas itu, tiba-tiba lampu ruangannya mati. Ia lupa tak menarik penutup jendela, hingga ruangannya sekarang menjadi gelap gulita.

Tangannya meraba diatas meja, mencoba menemukan hp. Cahaya dari benda tersebut, bahkan benda itu juga memang berguna sekali dalam waktu seperti ini. Setelah menemukan dan kini senter dari hpnya telah menyalah. Ia menggerakkan ke semua arah, belum sempat berdiri ia melihat wajah seseorang didepannya.

"AKHHH.." Zeline menutup mata, bukan karena takut tapi ia terkejut. Bukan terkejut karena ada orang disaat ia tadi datang hanya sendirian, tapi orang yang ia lihat adalah sosok yang telah lama hilang dari hidupnya.

Lampu menyalah, "HAPPY BIRTHDAY!!" teriak banyak orang yang berada satu ruangan dengannya sekarang.

"Selamat ibu Zeline Lie, semoga lebih dan semakin sukses untuk kedepannya." ucap pegawainya, "Sehat selalu ibu." tambah pegawai lainnya.

"Selamat menambah umur sayang." ucapan ini terucap dari mulut Keano, kekasih Zeline.

Zeline sempat terdiam memikirkan sosok yang ia lihat beberapa menit lalu. Bagaimana mungkin? Itu sudah berlalu, bahkan kini telah memasuki tahun ketiga tidak bertemu. Keano memegang pucuk kepala Zeline dengan lembut. Sontak Zeline menatap Keano, lalu tersenyum.

"Mari semua di makan dulu hidangannya." ajak Keano pada para pegawai, "Jangan sungkan, masih lapar habiskan semua nanti saya pesankan lagi."

"Bapak Kean mah bisa aja, baik sekali serasi dengan ibu Zeline." sahut salah satu pegawai.

Keano tersenyum menujukkan deretan giginya, "Ngobrol di balkon?" tanyanya pada Zeline, lalu menggandeng tangannya.

"Bagaimana seleksi untuk penari latar kontes di Korea?" tanya Kean.

Wajah Zeline langsung merekah menunjukkan senyumnya, bisa ditebak ia akan bercerita kabar baik dengan antusias. "Jadii..."

Drrtt.. Drrttt...

Keano mengambil hp dari saku celananya, "Sebentar." lalu menjauhi Zeline dan berbicara serius dengan orang yang menelfonnya.

Tak lama Keano menghampiri Zeline, "Maaf banget sayang, jadwal balapan aku udah keluar. Aku pergi dulu ya." pamit Keano setelah mencium kening Zeline.

Dengan berat hati Zeline menatap kepergian Keano. Apa tidak bisa meluangkan waktu lima menit untuk mendengar ceritanya dulu? Sudahlah seperti bukan pertama kalinya Keano melakukan hal ini. Lamunan Zeline terbuai karena getaran hpnya, ternyata buna—ibunya mengajak video call.

"Halo anak cantik buna. Happy birthday to you sayang. Semoga apa yang kamu impikan dan cita-citakan lebih tercapai lagi. Selalu bahagia ya nak. Doa terbaik untuk anak sulung buna ini, selalu diberkahi setiap jalan yang kamu tempuh. I love you more Zeline Lie." ucap buna panjang lebar.

"Aammiinn." jawab Zeline, "I love you too buna."

"Kakak happy birthday." ucap Zaka dan Zana—adik kembar Zeline.

"Terima kasih adik-adik manis."

Zana mengambil alih, "Kakak kapan pulang? Zana mau nunjukin brownies milo bikinan Zana loh."

Tadinya Zeline tersenyum terus menerus menikmati video call ini, lalu senyumnya luntur ketika melihat background belakang Zana. Dikamarnya terlihat figura menggantung, foto wisuda SMAnya bersama seseorang. Rasa sesak ini datang lagi, sebisa mungkin ia nampak biasa saja.

"Kakak!! Jadi pulang kapan?" tanya Zana sedikit menyentak, membuat Zeline terkejut.

"Ah besok minggu ya. Zana kakak tutup dulu ya, kerjaan kakak menumpuk. Daahh." pamit Zeline.

Zeline berjalan keluar ruangannya, tergesa-gesa memasuki lift menuju lantai lima. Sekarang ia berada di galeri pahatan kayu, terlihat sepi karena ruangan ini sangat lebar dan hanya beberapa orang yang datang. Zeline berjalan terus menuju lorong hingga sampai diujung patung.

Patung kecil dalam etalase kecil juga. Patung sepasang perempuan dan laki-laki yang sedang berpelukan. Zeline meraba lehernya, mengambil gandul kalung yang ternyata sebuah kunci. Membuka etalase itu, lalu berdiri agak menjauh tiga langkah kebelakang.

Setelah puas menatap patung itu, Zeline maju mendekat. Memegang lalu menutup matanya, mulai meraba setiap jengkah yang ada di patung itu. Ada rasa tenang setelah ia menahan sesak sedari tadi. Merasa seperti ada kenyamanan setiap menyentuh jengkah patung ini. Tidak terasa ternyata Zeline menitikkan air mata. Tidak dipungkiri jiwanya merasa kehilangan separuh euforia sebuah kehidupan apalagi kebahagiaan.

"Ini tentang bagaimana menghargai seseorang, ketika ia telah kehilangan orang tersebut." batinnya penuh sesal.


Kasih Dua BenuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang