Bab 1 : UGD

32 1 0
                                    

"Ada apa?" Tanyaku.

Danish baru saja menerima panggilan masuk di ponselnya, dan langsung tergesa-gesa mengganti pakaian.

"Kak Theo masuk UGD!!"

Seketika atmosfer kamar kami memanas. Aku yang hampir bisa tidur dan tenggelam dalam mimpi indah, langsung bangkit. Kantuk hilang tak bersisa. Ikut buru-buru berpakaian seadanya. Danish terlihat panik. Menyambar kunci mobil yang tergantung di dinding. Tak sadar bajunya terbalik. Akupun sama paniknya. Jerih menjaga diri agar tetap tenang.

Usia Danish 22 tahun, 3 tahun lebih muda dariku dan Theo. Baginya Theo sudah seperti kakak kandungnya sendiri.

"Theo kenapa?" Tanyaku yang sudah duduk di kursi depan sebelah kemudi.

"Korban begal." Jawab Danish, singkat.

Setelah itu aku tak bertanya lagi, membiarkan Danish fokus menyetir. Aku sudah mengerti. Akhir-akhir ini banyak sekali kejadian serupa. Membuat masyarakat resah. Siapa saja bisa jadi korbannya. Termasuk orang di sekitar kita. Keluarga, teman dekat, siapa saja.

Danish memacu mobil bututnya laksana traktor membelah sawah. Asap hitam mengepul dari knalpotnya. Pukul 01:00 dini hari jalanan kota lengang. Tak lama, kami tiba di parkiran Rumah Sakit. Sepanjang perjalanan pikiranku berkeliaran tak karuan. Menebak-nebak segala kemungkinan.

Di depan ruang UGD kami bertemu Ibu Theo yang mondar-mandir. Wajah tuanya terlihat cemas. Di sana juga ada Andin, adiknya Theo. Terkapar di kursi panjang, matanya sembab. Dan ada seorang perempuan lagi. Sebaya. Berjilbab ungu, cantik. Duduk membeku. Wajahnya pucat, cemas, takut, sedih, marah jadi satu. Bajunya penuh bercak darah. Keadaannya nampak baik-baik saja, tak kurang apapun. Aku dan Danish tak mengenalnya. Mungkin dia ada kaitanya dengan kejadian ini.

Ibu Theo menyambut kami, menyapa dengan suara serak. "Nak Danish. Nak Erik."

Aku membungkuk sopan.

"Bagaimana Theo, Tante?" Danish bertanya dengan nada cemas. Mengabaikan sapaan Ibu Theo.

Ibu Theo menjawab dengan tangis. Sapu tangannya basah kuyup oleh air mata.

Danish mengerti. Tak bertanya lagi. Theo mendapat luka serius.

"Luka robek akibat sabetan parang, menganga di punggungnya. Tiga luka tusukan di perutnya." Akulah yang justru menjawab pertanyaan Danish.

Saat tiba, aku langsung berjalan masuk ke ruang UGD Bertanya kepada perawat yang menangani kondisi Theo. Meskipun kami belum bisa menemuinya, yang beberapa menit lalu ternyata di pindahkan ke ruang operasi.

Lukanya benar-benar parah. Luka tusuk yang diterima Theo, merusak organ vitalnya. Ia juga kehilangan banyak darah.

Setelahnya, aku dan Danish terus berusaha menenangkan Ibu Theo. Bilang untuk tetap tegar dan bersabar. Mendo'akan yang terbaik. Jelas ini adalah cobaan berat bagi Ibu Theo.

Setahun lalu, Ayah Theo meninggal akibat kecelakaan pesawat komersial saat hendak bertolak dari kota kami menuju kampung halamannya. Dan yang lebih menyayat hati, jasadnya dan ratusan penumpang lain belum ditemukan. Pada saat itu Theo juga sangat terpukul. Tak henti-henti mengutuk langit. Menyalahkan kehidupan, menyalahkan Tuhan. Bilang kalau Tuhan tak adil. Saat itu aku dan Danish hanya bisa terus memberikan motivasi umum agar Theo tidak terus-terusan tenggelam dalam kesedihan. Mengatakan, terus bersedih tidak akan merubah apa yang telah terjadi. Tapi Theo justru ikut menyalahkan kami yang cerewet dan bilang kalau kami tak mengerti perasaannya.

....

Hening. Tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain menunggu dan berdo'a. Di dalam sana dokter dan perawat sedang berjuang menyelamatkan Theo.

"Tante, Andin baik-baik saja?" Aku telat menyadarinya, ada yang tidak beres.

Ibu Theo mengoyang-goyangkan tubuh Andin, mencoba membangunkan. Tak ada respon, tubuhnya lunglai. Aku langsung melambaikan tangan sambil menunjuk tubuh Andin di balik pintu kaca ruang UGD memberi kode ke perawat yang berjaga. Meminta untuk memindahkan Andin ke ranjang pasien untuk diperiksa.

Ibu Theo yang tadi sudah tenang, kembali cemas melihat Andin. Ya, tentu saja. Itu wajar. Andin juga Anaknya. Danish pun tak kalah cemasnya. Khawatir ada apa-apa dengan Andin.

Usia Andin sepantaran dengan Danish.

Beberapa bulan belakangan, aku tahu kalau Danish menyimpan rasa dalam hatinya untuk Andin.

Tak lama, Perawat menjelaskan kalau Andin baik-baik saja. Dia hanya pingsan. Syok melihat kakaknya yang bersimbah darah.

Satu jam berlalu sejak Theo masuk ruang operasi. Satu jam ini terasa sangat lama. Waktu seperti merangkak.

Sejak awal aku ingin sekali menanyakan bagaimana kronologi peristiwa yang menimpa Theo. Tapi kuurungkan sejenak. Danish juga sama. Tapi dia justru menungguku membuka percakapan.

Baiklah, setelah aku mengurus prosedur admistrasi Rumah Sakit, aku akan menanyakannya ke Ibu Theo.

Tepat saat aku keluar dari ruang UGD, sudah ada perempuan yang menungguku di balik pintu kaca. Dia perempuan yang duduk membeku dari tadi. Dia sudah mencair.

"Kak." Perempuan itu menyapaku.

"Ya?"

"Seluruh biaya pengobatan, biar aku yang tanggung." perempuan itu bicara sambil menundukkan kepala.

"hm?" jawabku tak mengerti.
Mencoba mencerna apa maksud perempuan itu.

"Kita lanjut di kantin Rumah Sakit." aku mengajaknya.
Danish dan Ibu Theo mengikut di belakang.

BERLANJUT...

TIGA KEAJAIBAN [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang