Setelah kejadian aku dicambuk oleh ayah hingga berdarah-darah, aku terus memendam kebencian dalam hatiku. Tapi itu bukanlah kebencian yang aku tujukan kepada ayah karena perlakuannya. Entahlah waktu itu aku masih belum paham tentang kebencian yang aku rasakan. Aku jadi sering marah tanpa alasan yang jelas-- merasa ingin menghancurkan atau memukul sesuatu sebagai pelampiasan. Namun itu tidak aku lakukan. Karena terus mengingat nasihat ibu agar tetap bersabar. Aku pun terus memendam kebencian itu selama setahun terakhir masa SD.
Hingga akhirnya aku beranjak memasuki masa SMP(Sekolah Menengah Pertama). Ayah masih terus memberikan hukuman push up padaku jika berbuat salah. Kini hukuman itu telah mencapai 50-70 kali push up. Itu menjadi hal biasa bagiku. Tubuhku malah menjadi makin kuat. Namun kebencian yang aku pendam tetap ada, yang belakangan baru aku sadari bahwa itu adalah "Bom Waktu".
Kelas 1 SMP. Awal masuk sekolah, masih merasa kaku; canggung. Wajah-wajah baru yang kutemui membuatku tidak nyaman dan aku berakhir menjadi seorang pendiam, cenderung penyendiri. Sungkan berteman dengan orang baru. Ajakan bermain dari mereka selalu kutolak dengan alasan tak punya waktu. Karena memang begitulah nyatanya. Sepulang sekolah aku terus disuruh belajar oleh ayah. Benar-benar tak ada waktu untuk bermain.
Seiring berjalannya waktu, aku menjadi terbiasa dan nyaman dengan perangai baruku ini; pendiam dan penyendiri. Sambil terus memendam kebencian yang kian menggunung. Dan bagai bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Benar saja, aku yang seorang penyendiri-- tanpa sadar mempertontonkan sisi lemahku. Teman-teman kelasku perlahan mulai menggangguku. Kerap kali menjadikanku sebagai bahan candaan mereka. Namun aku tak menggubris mereka. Menganggap angin lalu.
Sayangnya aku telah salah mengira bahwa jika kubaikan candaan mereka, itu akan membuat mereka berhenti menggangguku. Namun, alih-alih berhenti, mereka makin berani. Candaan itu kini berbuah. Cenderung mengarah kepada sebuah kekerasan verbal. Itu membuatku makin gerah. Kebencian dalam dadaku terasa seperti ingin meledak. Detak jantungku makin sering tak terkontrol. Hati dan pikiranku berkecamuk saling menolak pendapat.
Hatiku mengatakan untuk tetap bersabar, segalanya akan makin rumit jika bertindak gegabah. Pikiranku mengatakan untuk melawan. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa atas perlakuan mereka. Hingga akhirnya aku putuskan untuk tetap bersabar. Dan kembali memendam kebencian itu.
Aku tahu, hari itu akan tiba. Hari di mana aku tak dapat lagi menampung kebencian dalam dada. Dan aku sangat khawatir jika itu sungguh datang. Bukan tentang diriku. Tapi tentang apa yang akan aku sebabkan.
Hari itu... Hari yang terik sekali. Sinar mentari terasa menyengat di kulit. Angin seperti tak berhembus. Jam menunjukan Pukul 12:00. Itu adalah jam pulang sekolah. Mentari sedang duduk di kepala. Aku pulang seperti biasa. Sendiri-- harusnya naik angkutan umum, tapi lupa bawa uang. Hari itu pikiranku juga sedang kacau. Penuh dengan pelajaran yang berdesakan.
Sepertinya semesta sedang bekerja sebagaimana mestinya. Lima orang teman kelas yang sering menggangguku berjalan mengikuti. Tentu saja tidak dengan tenang. Meski sudah pulang sekolah, mereka terus mengganggu. Mengejek, berkata kasar, merendahkanku. Perangai mereka tidak ubahnya tumpukan sampah.
Sambil berjalan tepat di belakangku, mereka terus bicara seenak jidat. Aku pun jerih bertahan agar tak terbawa emosi; coba berpura-pura tidak dengar. Hingga akhirnya mereka mengucapkan sesuatu yang melewati garis kewajaran(menurut perspektifku). Mereka mulai mengejek keluargaku. Ayah dan ibuku mereka sandingkan dengan kata-kata kotor yang berkonotasi sebuah penghinaan.
Huh, apakah ini adalah hari yang aku khwatirkan itu akan tiba?
Aku mendadak menghentikan langkahku-- kebetulan sekali kami sedang melewati gang sepi.
"Aduh! Hei, jangan berhenti tiba-tiba dong!" Salah satu dari mereka menabrak punggungku; terperanjat.
Aku berbalik. Menatap buas mata mereka. Amarah telah sampai di ubun-ubun. Dengan sekuat tenaga. Dengan penuh amarah dan kebencian yang meledak...
Tubuhku seperti bergerak sendiri-- mengambil pose bela diri tinju dan tanpa basa-basi...
BUKK! Sebuah jab aku lepaskan. Mendarat keras di wajah salah satu dari mereka.
"Akh!" Ia berseru tertahan. Jatuh terduduk. Darah segar mengalir keluar dari kedua lubangnya. Pingsan.
Keempat temannya menatapku ngeri.
Tak terima temannya dihajar-- salah satu dari mereka coba membalas pukulan.
Sebuah bogem mentah meselat mengincar wajahku.
Aku menghindarinya sambil melesatkan pukulan
BUKK! Sebuah cross. Mendarat tepat di hidungnya. Patah. Tumbang.
Pertempuran jarak dekat pun pecah. Tiga orang sisanya maju bersamaan. Kepalan tangan berterbangan bagai peluru mengincar kepalaku.
Aku gesit menghindar. Tak ada satu pun pukulan itu berhasil mendarat.
Aku membalas...
BUKK! Sebuah hook berhasil mendarat di pipi salah satu dari mereka. Dua-tiga giginya tanggal. Darah keluar dari sela bibir. Tumbang; pingsan.
Kini sisa dua orang. Mereka belum menyerah. Bahkan setelah melihat ketiga temannya tumbang. Malah makin beringas. Marah; tak terima.
Aku pun begitu. Belum puas. Dua orang dari mereka yang bertahan, kini menyerang secara membabi-buta. Pukulan dan tendangan kuat namun seperti tak terarah berterbangan.
Aku dengan mudah menghindarinya. Membalas pukulan.
Aku, yang masih di atas angin-- mundur satu langkah dari mereka; mengambil jarak. Lantas bersiap untuk serangan berikutnya
BUKK! Sebuah front kick mendarat mulus di perut salah satu dari mereka. Terlempar beberapa senti kebelakang. Terkapar. Ia tidak pingsan. Namun meringis kesakitan. Tak mampu bangkit lagi.
Sisa satu orang yang bertahan menatap temannya terlempar. Jerih. Baginya tak ada lagi jalan kembali. Ia memilih untuk melanjutkan pertarungannya.
Aku menyambut itu dengan baik. Tanpa peringatan lagi, satu serangan terakhir aku lepaskan.
BUKK! Sebuah front kick mengahantam dagu. Ia terlempar beberapa senti ke udara.
BERLANJUT...
KAMU SEDANG MEMBACA
TIGA KEAJAIBAN [ONGOING]
AcciónTentang sebuah pertemuan. Tentang perpisahan. Tentang perjuangan. Tentang kasih sayang Tentang Tekad. Tentang balas dendam. Tentang cinta.