Bab 4 : KELUARGA PAK HASAN

10 1 0
                                    

Di balkon lantai 3 terlihat seorang gadis berjilbab Tersenyum manis melambaikan tangan kepada kami yang sedang berdiri tepat di depan pagar rumah. Wajahnya seperti bersinar disirami cahaya purnama. Menyejukkan dada. Dia adalah Adeeva. Ini sekaligus menjawab pertanyaanku yang sedari tadi belum terjawab oleh Theo.

Di balkon lantai 2 terlihat seorang laki-laki remaja tanggung usia 17 tahunan, tersenyum sopan memandang Theo, sambil melambaikan tangannya-- yang lantas buru-buru menyudahi lambaiannya, sebelum mengerutkan alis dan memasang wajah masam saat menatapku.

Bocah kurang ajar!

Aku hanya membalasnya dengan senyuman manis sedikit getir.

Segera setelahnya, pintu depan rumah bertingkat tiga itu terbuka. Muncul sesosok perempuan berjilbab, paruh baya-- disusul seorang lelaki, sebayanya. Perempuan berjilbab itu menghampiri kami. Membukakan pagar.

Sambil tersenyum hangat, perempuan itu menyapa "Selamat malam, Nak Theo dan nak..."

"Erik, tante." aku buru-buru menimpali sambil membungkuk sopan.

"Malam, tante." Theo menjawab juga dengan membungkuk sopan.

"Mari masuk"

Kami pun perlahan mengikuti perempuan tadi.

Sosok lelaki di depan pintu rumah terlihat sudah siap menyambut kami dengan senyuman hangatnya. Dia lah Pak Hasan, yang disebut oleh Theo di gerbang masuk kompleks tadi. Hal ini juga menjawab pertanyaanku tentangnya.

Setelah sesi jabat tangan. Memberi salam hangat dan perkenalan diriku, kami langsung masuk kedalam rumah.

Aku dan Theo langsung di arahkan ke meja makan. Di sana sudah ada Adeeva dengan sorot mata beningnya yang berbinar-- merasa senang melihat Theo, sang pahlawanya datang dan seorang remaja tanggung yang ada di balkon lantai 2 tadi, menunggu kami.

Aku dan Theo pun bergabung di meja makan. Diikuti oleh Pak Hasan dan Istrinya yang tadi menyambut kami di depan pagar.

Dengan perasaan sungkan, Aku dan Theo ikut menyantap sajian makan malam dan memulai obralan hangat tentang berbagai hal. Memuji sang koki di balik enaknya makanan di atas meja, bicara tentang makanan favorit, dan gurauan kecil. Sesekali gelak tawa menghiasi. Di meja makan itu pula aku berkenalan dengan Alexi. Si remaja tanggung yang terus saja memasang wajah masamnya saat menatapku.

Alexi adalah adik Adeeva. Anak bungsu dari Pak Hasan. Meski menyebalkan, Alexi adalah anak yang cerdas seperti kakaknya dan tampan seperti ayahnya. Tubuhnya cukup proporsional untuk remaja seusianya.

Dalam orbrolan meja makan, kami tak luput membahas soal perkembangan dari pihak kepolisian dalam penanganan kasus atas peristiwa yang menimpa Theo dan Adeeva beberapa bulan lalu, yang hingga kini masih belum ada kejelasan. Meski begitu Pak Hasan dan istrinya terlihat tetap tenang dan merasa yakin pada kinerja kepolisian. Pak Hasan juga memberikan nasihat kepada Theo agar ia tetap sabar dan jangan mengambil langkah yang gegabah, karena itu hanya akan menambah masalah dan membuat segala sesuatunya menjadi runyam.

Aku paham apa yang sebenarnya Pak Hasan ingin katakan. Karena memang belakangan ini Theo sudah mulai berpikir untuk mengambil tindakan sendiri, dengan melakukan investigasi secara mandiri. Tanpa bantuan polisi. Membentuk kelompok kecil yang berisikan : Theo, Aku dan Danish. Dimulai dengan menelusuri sekitar TKP(Tempat Kejadian Perkara)

Setelah makan malam, kami beralih melanjutkan obrolan ringan di ruang tamu rumah Pak Hasan. Hingga tak terasa waktu seperti melaju begitu cepat dan telah menunjukkan pukul 21:00. Aku dan Theo pun izin pamit. Bilang lain kali akan mampir lagi. Dan janji untuk mengajak Danish. Tak lupa juga sebelum pulang, Theo dan Adeeva saling melamparkan senyuman paling manis yang mereka miliki-- bunga seperti bermekaran di antara mereka. Saling berharap untuk segera kembali bersua.

Begitulah kehangatan keluarga Pak Hasan di sepotong malam kali ini. Sekilas memang tak ada yang spesial, kehangatan sepert itu dapat ditemukan di keluarga lainnya. Kebersamaan antara orang tua dan anak-anaknya. Tapi sungguh, bagi Aku dan Theo itu adalah hal yang spesial yang selalu kami harapkan.

...

"Hei, Theo." Aku memecah kesunyian

Theo menoleh sekilas ke arahku. Ia sedang menyetir. Membawa kami pulang.

"Kau harus mempertimbangkan nasihat Pak Hasan tadi." Aku melanjutkan.

"Nasihat yang mana?" Theo menjawab sok polos.

"Heh, kau selalu saja mengabaikan hal-hal seperti itu. Meski bagimu nasihat itu hanyalah sekedar ungkapan kepedulian, kau tetap harus mempertimbangkanya. Jika tak dapat kau ikuti, setidaknya buatlah nasihat itu untuk menjadikanmu lebih hati-hati dalam mengambil langkah. Lihatlah, Pak Hasan menasihatimu seperti tadi, seakan ia tahu apa yang kau rencanakan."

"iya, iya. Aku akan membuat rencana sematang mungkin." Theo menjawab malas.

Aku menghembuskan nafas pelan, sedikit kesal dengan tanggapan Theo.

BERLANJUT...

TIGA KEAJAIBAN [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang