Bab 7 : AKU THEO(3)

15 1 0
                                    

Siang itu mentari masih terasa menyengat di kulit. Kepala seperti mengeluarkan asap karena panasnya hari.

Mentari menjadi saksi atas apa yang terjadi hari ini.

Aku menatap kelima orang penganggu itu yang terkapar. Tiga orang tak sadarkan diri, dua sisanya tumbang tak mampu bangkit. Bercak darah terukir di jalanan dan seragam mereka.

Aku masih berdiri. Tak tahu harus melakukan apa. Perasaanku saat itu masih sulit untuk dijelaskan. itu pertama kalinya aku memukul orang lain. Berkelahi. Meski begitu, apa dapat disebut berkelahi saat mereka tak mampu mendaratkan satu pukulanpun? bukankah ini hanya pemukulan sepihak? dan, hei! aku baru menyadari sejak kapan aku bisa seni beladiri? dan apa memang aku sekuat itu? hingga membuat lima orang terkapar tak berdaya. Banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain mulai berdesakan di kepala.

Keringat menetes dari pelipis...

Perasaan lega, cemas, takut, senang, benci, marah sedang bercampur aduk dalam dada. Aku memutuskan untuk pergi. Meninggalkan mereka begitu saja yang terkapar di jalanan-- sebentar lagi pasti warga akan berkerumun.

"Kalian pantas mendapatkannya" Ucapku sebelum balik kanan; pergi.

Aku tahu, tindakanku hari itu tak akan selesai begitu saja. Dan itu bukan lagi tentang benar atau salah. Tapi tentang bagaimana menyelesaikan apa yang aku mulai.

Besoknya, kelima orang teman kelas yang kuhajar, serentak tidak masuk sekolah. Kabarnya mereka menjalani rawat inap di rumah sakit. Bukan hanya itu, kabar mengenai bahwa aku lah yang menyebabkan itu, juga tersebar. Cepat sekali. Dari mulut ke mulut. Bagai angin yang berhembus kabar itu menyebar ke seluruh penjuru sekolahku.

...

Seorang teman kelas datang menghampiri tempat dudukku. Dia adalah Rayi. Dia jugalah satu-satunya teman kelas yang sering membelaku saat aku diganggu.

"Hei, kudengar kau menghajar para pengacau itu kemarin?" Rayi merangkul pundakku.

"Ya, begitulah. Aku terlampau emosi kemarin. Mereka telah melewati batas." Aku menjawab.

"Yah, mereka memang pantas mendapatkannya. Kau tenang saja, aku akan selalu ada dipihakmu." Rayi menepuk-nepuk bahuku.

Aku tersenyum simpel. Bingung mau memberikan respon seperti apa.

Aku merasa lega karena ada teman sekelas yang mendukungku. Disaat semuanya tidak peduli dengan apa yang kurasakan.

...

Seminggu setelah insiden hari itu, waktu yang kujalani di dalam kelas terasa tenang dan damai. Tentram tanpa kelompok pengacau. Namun aku merasa bahwa semua ini tidak sesederhana kelihatannya. Masa tenang selama seminggu itu terasa seperti tenang sebelum badai.

Ya, benar saja. Setelah hadirnya kembali kelima berandalan kelas yang kuhajar, mereka memang tidak lagi menggaguku secara frontal. Merasa tak mampu-- meraka mengajak kenalannya dari kelas lain untuk menghadapiku.

Badai akhirnya datang juga...

Hari itu bel pulang sekolah berbunyi. cuaca hari itu mendung. Awan kelabu tebal mengungkung di langit. Prakiraan cuaca mengatakan hari ini akan turun hujan deras.

Aku dan Rayi janjian untuk hang out di warnet dekat sekolah. Sebetulnya aku tak ada waktu. Namun aku mengambil resiko untuk pulang terlambat dari biasanya. Aku tau, ayah pasti akan marah lagi. Tapi demi hubunganku dengan Rayi yang belakangan kami semakin akrab-- aku akan menanggung kemarahan ayah untuk kesekian kalinya.

Awan kelabu makin tebal berarak pelan di langit. Sesekali bergemuruh. Aku dan Rayi telah tiba di warnet saat hujan mulai membasahi bumi. Warnet hari itu sepi pengujung. Aku merasa itu adalah suasana yang tepat untuk bersenang-senang.

Namun, hanya berselang beberapa menit kami bersenang-senang... 

Tanpa peringatan dan tanpa kusadari sama sekali karena sedang fokus dengan layar komputer-- BUKK!!Sebuah tendangan yang sangat berat melesat dari belakang menghantam punggungku.

Aku yang tanpa persiapan dan pertahanan apapun-- terhempas kedepan. Kepalaku membentur monitor. Dan, ya. Tentu saja layarnya pecah. Darah segar mengalir dari pelipisku.

Rayi yang duduk di sebelahku terperanjat-- refleks bangkit dari duduknya.

"Hei, apa-apaan ini!!" Rayi berseru ke orang yang melayangkan tendangan.

Di sana ternyata sudah ramai sekali. Terlihat tidak kurang 20 orang, termasuk kelima pengacau kelas kami. 

Aku mulai berdiri sambil memegangi kepalaku yang terasa pusing. Menyapu sekitar yang terlihat ramai sekali-- mencoba memahami situasi.

Saat melihat kelima pengacau kelasku, yang berdiri paling depan-- aku mulai memahami situasinya.

"Balas dendam, heh?" Aku berkata dengan nada mengejek. Sambil membersihkan darah yang sudah membasahi pipi.

kelima pengacau kelasku terlihat geram. Tatapan mereka penuh dengan kebencian.

"HAJAR!!" Kelima pengacau itu berteriak bersahutan. Memerintah orang-orang yang mereka bawa.

Aku menoleh kearah Rayi.

"Maaf, Rayi. Kau malah terlibat." aku berkata getir. Mencoba memperbaiki suasana.

"Heh, kau ini pelupa atau bagaimana, Theo? Aku sudah pernah bilang aku akan selalu di pihakmu. Maksudnya, bahkan di situasi seperti ini." Rayi tersenyum bangga. Sambil menggulung lengan baju. Bersiap dengan segala kemungkinan.

Aku membalas senyumannya. Bangga.

"Terimakasih."

BERLANJUT...

TIGA KEAJAIBAN [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang