3. Insiden

16.4K 523 14
                                    

Ibu sangat marah ketika Rani menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ibu juga merasa bersalah karena membuat Rani mengorbankan dirinya demi kesembuhannya. Tapi Rani meyakinkan sang Ibu bahwa ia tak menyesali keputusannya saat itu. Dia justru bersyukur karena bisa menyelamatkan ibunya dan membuatnya sehat kembali.

Rani memutuskan mempertahankan janin yang dikandungnya. Walau kehamilannya merupakan aib bagi keluarganya, tapi dia tak tega jika harus membunuh darah dagingnya sendiri. Rani dan sang Ibu kemudian memilih pindah rumah ke tempat dimana tak ada seorangpun yang mengenal mereka.

"Mama..."

Suara panggilan anak kecil membuyarkan lamunan Rani akan kenangan masa lalunya. Dia tersenyum melihat anak laki-laki yang berlari kearahnya.

"Sudah selesai sikat giginya?" tanya Rani, menyambut sang anak ke dalam pelukannya.

"Udah," jawab sang anak, menganggukkan kepalanya berulang kali.

"Anak pintar," sahut Rani, mencium pipi anaknya dengan gemas. "Sekarang kita bobo ya."

"Oce."

Rani menggendong anaknya dan membawanya ke kamar mereka. Dia membaringkan tubuh anaknya di ranjang kemudian ikut berbaring di sampingnya.

"Baca do'a dulu," perintah Rani sebelum sang anak memejamkan matanya.

Rani tersenyum mendengar sang anak melantunkan do'a sebelum tidur sambil mengangkat kedua tangannya. Dia selalu mengajarkannya untuk membaca do'a sebelum melakukan kegiatan sehari-hari. Anaknya sudah menghafal beberapa do'a harian walau bacaannya masih belum lancar dengan suara cadelnya.

"Selamat tidur, sayang," ucap Rani, mencium kening sang anak setelah selesai membaca do'a.

"Selamat tidul, Ma," balas sang anak, mencium pipi Rani.

Rani tersenyum dan mendekap tubuh sang anak ke dalam pelukannya. Tangan Rani bergerak mengusap punggung anaknya agar cepat terlelap.

Lima tahun telah berlalu semenjak Rani mengetahui kabar kehamilannya dan kini janin itu telah tumbuh menjadi sosok pangeran kecil setampan Ayahnya.

Ya, Rani mengingat pria tampan yang telah menghamilinya. Dia tak bisa menyalahkan Reza karena kejadian itu terjadi atas kemauannya sendiri. Rani tak ingin disebut sebagai wanita yang tidak tahu diri jika ia datang menemui Reza untuk meminta pertanggungjawabannya. Dia memilih membesarkan anaknya seorang diri tanpa diketahui ayah biologisnya itu.

Rani bersyukur kehadirannya dan sang anak diterima dengan baik oleh masyarakat tempat tinggalnya sekarang. Walau terkadang masih ada warga yang membicarakan status anaknya, tapi Rani mencoba menulikan pendengarannya dan mengabaikan omongan mereka selama hal itu tidak mengganggu tumbuh kembang sang anak.

Kebahagiaan sang anak merupakan prioritas utama Rani saat ini. Dia berharap anaknya bisa tumbuh seperti anak di luar sana walau tanpa kehadiran seorang ayah di sampingnya.

"I love you, sayang," Rani mencium kening sang anak yang telah tertidur dalam pelukannya.

oOo

CIIIIIT...

Suara decitan mobil dengan aspal membuat fokus Reza teralihkan dari kertas-kertas di tangannya.

"Ada apa, Pak?" tanya Reza pada sang supir yang tiba-tiba mengerem mobilnya secara mendadak.

"I-itu, Pak. Ada a-anak kecil yang tiba-tiba menyeberang jalan di depan mobil kita," jawab Pak Slamet, tebata. Jantungnya masih berdebar kencang karena terkejut.

"CK," Reza berdecak kesal. Dia sudah hampir terlambat, tapi sekarang harus mengalami insiden seperti ini.

"Bi-biar saya lihat keluar dulu, Pak," ujar Pak Slamet, meminta izin.

"Ya sudah buruan," sahut Reza, mengizinkan.

Pak Slamet mengiyakan kemudian bergegas keluar dari mobil.

"Kamu nggak apa-apa, nak? Mana yang sakit?" tanya Pak Slamet, menghampiri anak laki-laki kecil yang jatuh terduduk di depan mobil. Anak itu menangis meraung memanggil sang ibu.

"Ma-ma," panggil sang anak sambil menangis sesenggukan.

"Hei, nak, mana yang sakit? Coba Paman lihat," ujar Pak Slamet dengan suara lembut. Dia berjongkok di samping anak itu untuk memeriksa tubuhnya.

DEG.

Pak Slamet terpaku menatap wajah sang anak yang masih menangis di depannya. Wajah anak itu mengingatkannya pada seseorang.

"RAFA!!!"

Seorang wanita paruh baya berteriak dan berlari menghampiri Pak Slamet dan anak itu. "Ya ampun, nak, kenapa kamu ada di sini? Dari tadi bibi nyariin kamu," kata wanita paruh baya itu memeluk sang anak yang masih menangis.

"Maaf, Bu, tadi anak ini tiba-tiba menyeberang jalan di depan mobil saya," kata Pak Slamet, menjelaskan.

"Astaghfirullah. Rafa nggak apa-apa, kan, nak? Ada yang luka?" tanya wanita paruh baya itu dengan panik. Dia membantu sang anak berdiri kemudian meneliti tubuhnya dari atas hingga bawah. Wanita paruh baya itu menghela nafas lega saat tak melihat luka di tubuh sang anak, hanya ada lecet di kedua tangannya karena terjatuh tadi.

"Mama," ujar sang anak masih menangis sambil memanggil Ibunya.

"Iya iya, nanti kita ke Mama ya," sahut wanita paruh baya itu kemudian menggendong sang anak. "Maafkan dia, Pak. Tadi saya meninggalkannya sebentar di teras rumah. Saya nggak menyangka dia akan berjalan sendirian ke jalan raya," kata wanita paruh baya itu pada Pak Slamet.

"Iya, Bu, saya juga minta maaf karena kurang hati-hati saat menyetir," sahut Pak Slamet. Dia menghela nafas lega melihat anak itu baik-baik saja.

"Gimana keadaannya, Pak? Apa anak itu terluka?" tanya Reza yang sudah keluar dari mobil. Dia penasaran karena Pak Slamet tidak segera kembali ke dalam mobil.

"Ti-tidak, Pak. Dia hanya menangis karena terkejut," jawab Pak Slamet, menatap Reza. Dia kemudian memandang anak kecil yang kini sudah tenang di gendongan wanita paruh baya di hadapannya.

"Ya sudah tunggu apalagi? Saya sudah terlambat, kita harus segera tiba di kantor," ujar Reza, menatap Pak Slamet yang masih terdiam di tempatnya berdiri.

"I-iya, baik, Pak," sahut Pak Slamet, menghentikan pikiran yang mulai berseliweran di kepalanya. "Sekali lagi saya minta maaf ya, Bu," ujarnya menatap wanita paruh baya di hadapannya.

"Iya nggak apa-apa, Pak. Saya permisi dulu," kata wanita paruh baya itu kemudian menganggukkan kepalanya pada Reza untuk berpamitan.

Reza menatap kepergian wanita paruh baya itu. Matanya terpaku pada wajah anak laki-laki kecil yang berada di dalam gendongannya. Dia merasa familiar dengan wajah anak itu.

"Ayo, Pak," suara Pak Slamet membuyarkan fikiran Reza tentang anak itu.

Reza mengangguk dan segera masuk ke dalam mobil untuk kembali melanjutkan perjalanannya.

oOo

MARRIED WITH MY SON'S DADDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang