1. Hujan

49 8 2
                                    

Seperti hujan, datang membasahi lalu menghilang.

🍃🍃🍃

Angin berhembus pelan, menyusup perlahan melintasi celah jendela. Membawa aroma vanila yang menenangkan. Diiringi suara detik jarum jam serta gesekan dari lembar buku yang tengah terbuka.

Aku menoleh pada jendela, lambaian korden begitu menyita perhatian. Langit nampak mulai gelap. Aku sedikit khawatir pada satu sosok yang belum menampakkan diri. Apa dia terjebak hujan?

Satu botol air mineral 660 ml sudah tandas saat sosok itu muncul. Bukan telat, karena aku datang terlalu cepat.

"Deres, ya, hujannya?" tanyaku sembari berdiri menyambut pria itu dengan senyuman yang selalu terbit dari bibirku.

"Angin, Yang. Jadi nepi dulu," ujar sosok itu sembari menyodorkan tangan. Aku meraih tangan itu lantas kucium, hal wajar yang dilakukan seorang istri pada suaminya. Tak lupa dia mendaratkan satu kecupan di keningku.

Setelah sekian tahun aku masih saja berdebar saat dia mencium keningku dengan lembut.

Sosok itu menarik kursi lantas duduk dengan santai. Mengeluarkan ponsel serta dompetnya dari saku. Meletakkannya di atas meja. Dengan ponsel berada di atas dompet. Kebiasaan yang tak sedikitpun hilang.

Tanpa sadar bibirku tertarik ke samping membentuk senyuman.

"Kenapa?" tanya dia sembari menatapku heran.

Aku mengarahkan pandangan pada dompet dan ponselnya. Dia masih mengerutkan kening, masih belum mengerti maksudku.

"Kebiasaan Mas nyusun dompet sama ponsel itu lucu aja," jawabku lantas menutup buku dan menyimpannya ke dalam tas.

"Oh, aku kira apa," jawab dia singkat.

"Mas, udah aku pesenin nasi goreng seafood sama jeruk anget."

"Hmmm, nanti mampir ke stasiun, aja. Motor kamu parkir di sana. Kita pulang barengan aja."

Bayangan itu kembali hadir di saat hujan membasahi tanah untuk pertama kalinya di musim ini.

Aku mengadahkan tangan, menikmati tetes demi tetes air. Merasakan bagaimana hangatnya air hujan. Hujan yang selalu sama, bedanya aku tak lagi merasakan bagaimana kehangatan itu. Angin yang terlalu kencang membawa hawa dingin mengalahkan hangatnya. Terlebih tidak ada sosok yang kutunggu atau menungguku.

Sekelebat bayangan dua insan tengah tertawa di bawah guyuran deras hujan menari di kepalaku. Mereka saling terbahak tanpa takut jika esok mungkin keduanya akan terbaring sakit lantaran demam. Begitu bahagia dalam kesederhanaan.

Masih berdiri, aku mengamati hujan. Lebih tepatnya mengamati segala kenangan yang sedang mondar-mandir di kepalaku dengan begitu santai. Berlari dari satu adegan ke adegan lainnya. Mengabaikan hati yang tengah meronta agar semua itu lekas lenyap.

Bukankah hidup memang seperti itu, tidak pernah sejalan antara harapan dan kenyataan. Apa yang ada di kepala belum tentu sama dengan apa yang ada di hati. Tidak salah jika hati adalah satu-satunya pemilik hidup.

"Belum pulang, Mbak?" tanya Fikri salah satu OB dari lantai empat.

"Nunggu hujan reda. Kamu sudah mau pulang? Hati-hati, ya." 

"Aku duluan, ya, Mbak." Aku menganggukkan kepala lantas tersenyum.

Aku kembali mengadahkan kepala sembari bertanya dalam hati, sampai kapan aku terjebak dalam hujan yang selalu membawa kenangan. Manis dan pahitnya seperti kilat dan petir yang saling bersahutan. Membuatku selalu berteduh, takut basah kuyup.

Aku ingin berlari kearah hujan seperti dulu. Tanpa takut basah tanpa takut akan apapun. Karena ada dia yang selalu menjadi pelindungku.

Kini aku harus berdiri sendiri. Menata kepingan hati yang tengah berdarah. Menapakkan jejak pada kakiku sendiri. Selangkah demi selangkah.

"Hujan pertama itu indah. Sayangnya dia dianggap menyebalkan. Makanya selalu dihindari. Tidak seperti salju yang selalu dinantikan."

Sebuah suara tiba-tiba terdengar, membuatku sedikit menoleh. Sosok tidak asing berdiri di sebalahku.

Oh, mungkin dia nasabah, pikirku.

Aku hanya tersenyum dan menyapa dengan gerakan menundukkan kepala singkat. Anggap saja sebagai bentuk kesopanan. Tak ada sedikitpun ingin menimpali atau membalas ucapannya.

Karena seperti itulah hujan, kadang digambarkan sebagai kepedihan. Setiap tetesnya adalah air mata dari ribuan perih yang terlontar. Iramanya seperti nyanyian sumbang dari bibir yang tak mampu melisankan duka.

Aku kembali melihat hujan. Semakin deras dan menakutkan.

"Mau barengan? Saya antar sampai kendaraan mbaknya. Atau ini mbak bawa," tawar pria asing itu sembari menyerahkan payung berwarna merah dengan logo Bank tempatku bekerja.

"Terima kasih. Saya bisa ambil di dalam. Payung itu untuk Bapak saja," tolakku.

Tentu saja aku menolak, aku tidak ingin menjadi tuan rumah yang tidak sopan, lantaran merebut payung nasabah dan membuatnya kehujanan. Lagi pula di dalam masih banyak jika aku berniat mengambilnya.

"Ambil saja. Biar saya yang ambil lagi di dalam," jawabnya.

"Sekali lagi terima kasih. Saya permisi," jawabku lantas berjalan melewati hujan.

Entah dari mana keberanian ini muncul. Saat aku memutuskan untuk melangkahkan kaki. Yang pasti kali ini aku ingin menghadapi hujan. Aku ingin mencoba.

Aku merasakan tetes demi tetes air membasahi tubuhku. Rasanya seperti cambuk berduri, menyebat sedikit demi sedikit luka yang belum kering.

Andai saja luka bisa luluh seperti hujan. Mungkin setiap langkahku bukanlah jeritan pilu bayangan sendu kisah masa lalu.

Sepuluh langkah, aku berhenti. Menyapu air hujan yang menyatu dengan air mata di wajahku. Rasanya aku ingin menyerah.

Aku terhenyak saat aku tidak lagi merasakan air hujan. Ternyata sebuah payung menghalaginya.

"Hujan memang indah. Tapi kalau hujan-hujanan juga bikin sakit. Mari saya antar sampai mobil."

Aku menoleh saat pria asing ini berada di sebelahku. Akhirnya aku memilih berjalan menuju tempat parkir yang tidak jauh dari gedung bank.

Sampai di bangunan parkir, pria itu menyerahkan payungnya lantas berlari kecil menuju pintu keluar. Aku bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih saat dia berlalu.

Aku mendesah malas karena usahaku selalu berakhir sia-sia seperti ini. Aku masih tidak tahu bagaimana menghadapi hujan.

Ini baru hujan, belum petir bahkan badai lainnya yang mungkin akan kembali mengoyak hati. Memporak-porandakan dinding pelindung yang perlahan terbangun.

Andai saja luka ini seperti awan gelap, gugur dalam sekejap menjadi hujan deras. Mungkin tidak akan semenyakitkan ini.

🥀🥀🥀
28-03-2022

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 23, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Taste Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang