Kedua orang tua kami sudah meninggalkan kami. Ya, hanya aku dan Eriza yang tersisa dari keluarga inti kami. Aku adalah kakak laki-laki yang diamanahkan untuk menjaga adik perempuanku.
Eriza adalah satu-satunya adik perempuan yang kupunya. Beruntungnya kami masih memiliki bibi Shina yang mau mengasuh kami.
Bibi Shina adalah adik dari ayah kami. Dia mengurusi kami dari kecil. Orang tua kami meninggal dunia pada tahun 20XX silam. Saat itu, aku berusia tiga tahun, dan Eriza berusia satu tahun. Bibi Shina yang berada di Jakarta mengambil kami, serta mengasuh kami dengan baik.
Bibi Shina juga kehilangan suaminya karena kecelakaan mobil pada tahun yang sama. Menurutku, bibi Shina merupakan orang yang sangat kuat. Aku dan Eriza sangat bersyukur memiliki bibi seperti bibi Shina.
Enam belas tahun semenjak kejadian memilukan itu, kami menjalani hidup seperti biasa. Bahkan, bisa dikatakan kehidupan kami serba cukup dan terbilang mewah.
Akan tetapi, kebahagiaan yang sedang kujalani, semuanya direbut dariku pada hari itu.
04.00
"Kak Fabian, kamu jangan bermalas-malasan dong! Ayo bantu bibi Shina jualan kue!" Adikku, Eriza, sudah berteriak padaku pagi-pagi buta.
"Bawel amat sih, sabar Eriza."
"Mentang-mentang lagi libur kuliah bukan berarti kakak bisa seenaknya!"
"Ya ampun, kamu lagi kenapa dah? Pagi-pagi udah mau ajak ribut aja," desahku kepada Eriza.
Pagi hari yang mendung bukanlah awal hari yang terlalu baik bagiku. Aku lebih suka cuaca yang cerah. Sedangkan, Eriza yang sedang memberi makan kucing tetangga kami, menyebutkan dia suka cuaca pagi yang mendung.
Entahlah, aku suka heran dengan pikirannya. Mungkin, memang seleraku yang berbeda dengannya.
Bibi Shina yang sudah menyiapkan barang-barang untuk membuka toko kuenya beterima kasih padaku dan Eriza yang telah membantunya pagi-pagi buta, serta menyiapkan sarapan yang enak untuk kami. Masakan bibi Shina memang yang terbaik.
"Aku duluan yang ambil ini!"
"Lah, Eriza cuma ambil satu, kak."
"Itu kan kesukaan aku!"
"Ya Tuhan, kalian bertengkar lagi?" Bibi Shina tertawa, sambil mengunyah makanannya.
Aku dan Eriza sering bertengkar, tetapi ketika kami sedang berbaikan, kami seolah tak terpisahkan. Bahkan, ketika dia menjauhi diriku, pada akhirnya dia merengek meminta pertolongan padaku.
Begitu juga sebaliknya, betapa membingungkannya dan rumitnya hubungan antar manusia di dunia ini bukan?
Setelah menyelesaikan sarapan, Eriza langsung berangkat ke sekolah, dan aku bersiap-siap menemui teman-temanku untuk bermain game bersama.
Eriza memiliki lingkungan pertemanan yang cukup baik,dan tidak bermasalah. Eriza juga terlihat bisa menyesuaikan dirinya di sekolah, bahkan dia tergolong pintar di sekolahnya.
Eriza yang sekarang duduk di kelas 12 Sekolah Menengah Atas ini juga tidak terlalu membawa beban yang biasanya dialami oleh anak-anak seusianya.
Aku juga pernah megalami masa-masa itu. Beda sekali dengan Eriza, aku sangat stress menghadapi Ujian Nasional dan SBMPTN.
Beruntungnya Eriza di pertengahan semester sudah mendapatkan beasiswa kuliah swasta yang terkenal di jurusan fisika, jadi ia sudah memiliki jaminan.
Kesal dan iri. Itulah yang pertama kali aku rasakan. Tetapi kalau boleh jujur, aku bangga terhadapnya, mengingat dia yang bekerja keras.
Sebelum pergi, seperti biasa, aku pamit dulu pada bibi Shina, dan pamit juga pada ayah juga ibuku. Memegang sebuah bingkai foto yang sudah berusia lama, aku mengusapnya.
"Ayah, ibu, Fabian pamit dulu ya. Doakan aku selamat sampai tujuan dan balik ke rumah dengan selamat. Doakan bibi Shina dan Eriza juga ya."
Mungkin terkesan lebay, tapi begitulah keseharianku kalau mau pergi.
Tidak lupa aku membawa arloji peninggalan ayah yang bagiku sudah bagaikan jimat. Aku tidak mau kehidupanku yang sudah bahagia ini dihancurkan lagi.
04.00
"Wah, bahaya, aku telat pulang. Padahal, rencananya aku pulang jam 2 siang, sekarang sudah jam 4 sore," aku berdecak sambil mengendarai motor.
Tapi, bawa santai sajalah, hari ini kan hari libur kuliah. Tugas udah kucicil, tinggal bergantung dengan kekuatan Sistem Kebut Semalam alias SKS.
Akibatnya, aku bakal begadang malam ini. Refreshing terlebih dahulu tidak ada salahnya kan? Besok juga masuk siang.
"Fabian pu-" kalimatku terputus. Aku ingin beteriak, tapi suaraku terasa seperti tersangkut di tenggorokan.
Ketakutanku langsung menyelimuti seluruh badan. Keringat dingin mulai mengalir dari badanku. Pikiranku langsung campur aduk, sulit menjelaskannya.
Cairan kental berwarna merah menggenang di lantai. Badan bibi Shina yang kaku tergeletak di lantai. Perut Bibi Shina terkoyak akibat tusukan benda tajam.
Rasanya, aku ingin muntah. Isi perut Bibi Shina terlihat, menunjukkan betapa sadisnya yang melakukan ini, tidak berperikemanusiaan. Buas yang melakukan hal ini, tidak punya hati.
Aku menoleh ke rak sepatu. Sepatu sekolah yang biasa Eriza pakai sudah terlihat. Tadi pagi, dia juga memakai sepatunya. Itu adalah hal yang menandakan bahwa Eriza sudah pulang.
"Eriza. ERIZA! KAMU DI MANA?" Aku segera berlari ke arah kamarnya.
"ERI-" Aku mendobrak kamarnya langsung. Tidak memedulikan betapa keras suara dobrakan pintunya.
Terkejut. Tidak menyangkanya. Tali yang kasar, simpul mati, kursi yang jatuh, kaki yang menggantung, wajah yang membiru.
Apa ini adalah mimpi? Seorang gadis yang ceria ternyata melakukan hal seperti ini.
Terkadang memang aku membeci dirinya, berharap dia enyah dari penglihatanku. Akan tetapi, bukan inilah yang aku harapkan.
Di dalam hati kecilku, aku masih menyayanginya, dia tetap adikku yang harus kujaga sebagai tanggung jawab seorang kakak. Amanah dari Tuhan, ayah, dan ibuku.
Aku tidak sanggup menahannya. Air mata mengalir, berteriak tanpa suara.
Mengapa? Apa yang salah? Apakah Eriza yang melakukan ini semua? Apakah seseorang sengaja membuat skenario ini?
"Tuhan, jangan ambil adikku dan bibiku, aku mohon padamu. Mengapa Kau menimpakan ini padaku? Seandainya aku pulang lebih cepat. Hal ini tidak akan terjadi." Sudah jelas, aku memohon kepada-Nya.
Apa yang sudah terjadi, tak bisa kembali lagi seperti semula. Tubuhku lemas, mataku masih tertuju ke badan yang masih menggantung di hadapanku. Raut wajahnya, aku tidak bisa mendeskripsikannya.
Aku mencoba membuka lengannya yang tertutup oleh seragamnya. Semakin tidak kusangka, terdapat sayatan-sayatan tipis di lengannya. Tetapi, terlihat masih baru.
"Apa yang kau tutupi dariku? Ini tidak adil," dadaku sesak.
"Hei, coba kau ambil arloji yang ada di sakumu. Apakah kamu tidak tahu kekuatan arloji yang selalu kau bawa? Kasihan sekali."
-Bagian 1-
KAMU SEDANG MEMBACA
04.00
Short StoryParadoxical Time. Seolah-olah bertentangan dengan pendapat umum dan kebenaran, tetapi apakah kenyataan waktu mengandung kebenaran tersembunyi?