02

56 20 0
                                    

Suara tanpa wujud menggema di telingaku. Awalnya, aku berpikir aku hanya berdelusi dan berhalusinasi yang tidak-tidak.

“Arloji itu, dapat mengubah sesuatu yang terdengar sangat mustahil. Time. Ya, waktu.  Hal itu terdengar menarik setelah apa yang menimpamu kan?”

Suara itu benar. Aku sangat berharap waktu bisa diputar kembali, tapi aku tetap berpikir bahwa otakku sudah tidak beres.

“Tidak kok, otakmu baik-baik saja,” dia bisa baca pikiranku?

“Si-siapa?! Keluar kau! Jangan  bercanda kau, sialan!” Teriakku.

Arloji yang berada di sakuku bergetar. Dengan spontan, aku mengambilnya dengan tangan yang gemetaran. Setelah kubuka, arloji itu mengeluarkan cahaya aneh.

“Bermohonlah, kapan lagi kau dapat memutar takdir yang memilukan ini?” Kalimat tersebut terus mendengung di telinga dan otakku.

Anehnya, aku langsung memohon tanpa berpikir panjang. Secara tidak langsung, aku menuruti suara itu.

Di saat yang sama aku berpikir, bagaimana kalau aku dapat mengulang waktu jauh sebelum kejadian gempa yang menyebabkan ayah dan ibuku meninggal?

Aku pun langsung memohon untuk dapat mengulangi waktu tersebut. Namun, percobaan itu gagal. Omong kosong. Aku hanya berhalusinasi. Otakku sudah tidak beres.

Aku melempar arloji itu ke sudut kamar Eriza. Aku berdiri dengan perasaan yang campur aduk. Marah, sedih, hampa, aku tidak tahu.

“Kalau aku tidak bisa mengulang waktu di mana ayah dan ibu masih ada, aku mohon aku bisa mengulang waktu sebelum kejadian hari ini.” Aku berbisik secara tidak sadar ke diri sendiri.

Arloji yang sudah kulempar di sudut ruangan, mengeluarkan cahaya yang terang. Cahaya tersebut membutakan penglihatanku sementara. Saat membuka mataku, aku berada di kasurku.

04.00

“Hah, apa yang terjadi? Mimpi? Haha, mimpi ya?” Aku tertawa kecil.

“Kak Fabian, kamu jangan bermalas-malasan dong! Ayo bantu Bibi Shina jualan  kue!”

“Bawel amat sih, sabar Eriza,” aku spontan berbicara seperti itu.

“Mentang-mentang lagi libur kuliah bukan berarti kakak bisa seenaknya!”

Tunggu, ada yang aneh. Bukannya dialog-dialog tadi persis di mimpi? Apa jangan-jangan arloji itu benar membuat waktu terulang? Sekujur tubuhku merinding, seakan mengetahui apa kejadian yang akan terjadi selanjutnya.

“Hari ini bibi Shina memasak kangkung untuk sarapan?” Aku bertanya sambil menghampiri Bibi Shina yang sedang mempersiapkan duit untuk membeli bahan-bahan sarapan di tukang sayur yang selalu keliling di komplek kami.

“Loh, kamu kok langsung tau? Memangnya kamu bisa membaca pikiran bibi?”

“Ah, tidak. Kebetulan, aku lagi ingin makan kangkung sebagai sarapan. Terima kasih Bibi Shina.”

Gawat. Apakah ini perbuatan arloji tersebut? Aku langsung meraih dan membuka arlojinya. Tidak ada cahaya aneh, hanya sebuah arloji biasa.

“Kamu yakin arloji yang kamu pegang adalah arloji biasa? Ini adalah kesempatan kamu.” Suara itu lagi-lagi menggema di telingaku.

Bahaya, apakah aku butuh ke psikiater? Aku langsung bergegas membantu bibi Shina, sarapan, dan membatalkan kepergianku ke rumah teman.

“Kamu kenapa? Mukamu terlihat pucat sekali. Ada masalah dengan teman, atau kuliah?” Eriza bertanya padaku.

“Tumben amat perhatian,” cetusku.

“Idih, ogah tau ga. Kutarik lagi perkataanku.” Eriza langsung memberi makan kucing tetangga, dan bersiap-siap menuju sekolah.

Aneh sekali. Kejadiannya persis seperti sebelumnya. Dengan panik, aku menggenggam tangan Eriza dan melihat lengannya yang tidak ada sayatan-sayatan seperti yang aku lihat sebelumnya.

“Apa-apaan sih kau? Lepaskan.” Dengan raut muka tidak enak, dia bergegas memakai sepatunya.

“Tidak, aku lagi random saja hari ini. Maaf,” aku berusaha untuk bertindak sealami mungkin. Tetapi, aku tidak pandai dalam hal itu.

“Terserah. Walaupun di rumah, jangan lupa untuk makan,  karena kau sering lupa waktu.” Setelah berbicara seperti itu, dia menutup pintu dan pergi.

“Dasar gajelas. Hati-hati sana!” Teriakku. Bibi Shina yang melihat kami dari belakang, tertawa kecil.

Resah. Rasa itulah yang menyelimutiku seharian di rumah.

Mengerjakan tugas kuliah sampai sudah selesai kukerjakan merupakan upaya yang kulakukan untuk menghilangkan rasa resah ini. Tentunya, tidak mempan.

Menyapu, mengepel, mencuci baju, aku terus menyibukkan diriku agar tidak lengah.

“Lelah banget. Sekarang udah jam 2 dan tidak terjadi apa-apa,” desahku.

Sebelumnya, aku kemari jam 4, semua sudah berantakan. Karena bosan, aku memainkan smartphone milikku. Tidak sengaja, aku pun tertidur.

“JAM 5?! ERIZA! BIBI SHINA!” Aku panik tidak karuan.

Kubangun dari kasur, dan langsung melihat pemandangan yang sama dari sebelumnya. Darah menggenang, badan Eriza yang menggantung, barang yang hancur sana-sini,  persis sama.

Pikiranku kacau, aku beteriak. Mencela diri sendiri, mempertanyakan diri sendiri. Sebenarnya, apa yang terjadi? Kenapa aku selalu lengah di saat seperti ini.

“KUMOHON, PUTARLAH WAKTU LAGI!” Aku menggenggam arloji itu sangat erat, berharap keajaiban terjadi lagi.

04.00

Aku terbangun lagi dari kasur. Jam 4 pagi, pagi yang mendung. Percakapan yang sama, menu yang sama. Tetapi, rasa lelahku sebelumnya masih terasa. Kali ini, aku sudah pastikan tidak tertidur.

Arloji ini memang memiliki sesuatu yang misterius. Setelah menyelesaikan masalah ini, aku harus tau apa yang disembunyikan oleh ayah yang merupakan pemilik sebelumnya dari arloji ini.

Berapa jam sudah berlalu, jam setengah 3 siang, belum terjadi apa-apa. Terdengar beberapa benda jatuh.

“Ya! Ini dia!” Aku berusaha untuk menyelesaikan masalah ini.

Namun, bukanlah orang lain atau Eriza, melainkan bibi Shina yang jatuh dari tangga dan megalami pendarahan di kepala serta luka di lengan dan kakinya.

Aku sekeras mungkin memikirkan cara agar tidak meninggalkan rumah ini, tapi sayangnya, kotak P3K kosong melompong. Mau tak mau, aku harus menelepon ambulans.

Tiba-tiba smartphone milikku tidak mau menyala, dicharge pun tetap tidak bisa menyala, telepon rumah tidak bisa, smartphone milik Bibi Shina sedang diperbaiki di counter.

Frustasi, sesak, ingin menangis, panik, semuanya bercampur.

Ketika kusedang berlari menuju pintu rumah,ingin meminta tolong tetangga untuk memanggilkan ambulans, seseorang menarik bajuku dan memukulku dari belakang.

Hitam. Tidak merasakan apa-apa. Tidak mengetahui apa yang terjadi selanjutnya.

-Bagian 2-

04.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang