03

47 19 1
                                    

"Sa-sakit sekali ,” aku pun merintih kesakitan.

Leherku, kepala, badan, semua terasa nyeri. Lagi-lagi, pemandangan mengerikan yang sama adalah hal yang pertama aku lihat saat terbangun.

Sama. Bibi Shina tergeletak di dapur, Eriza menggantung di kamarnya. Apa maksud dari semua ini?

Aku tidak mau menyerah. Aku harus mengulang lagi dan mencegah kejadian ini terjadi.

Kupegang lagi arloji tersebut. Aku memohon lagi, dan terulang lagi.

04.00

Pagi yang mendung, pukul 4 pagi. Pada kesempatan kali ini, aku berusaha mengajak Bibi Shina dan Eriza untuk pergi bersamaku.

“Kak Fabian, aku kan sekolah!” Teriak Eriza kepadaku. Bibi Shina yang mendukung argumen Eriza pun juga menolak ajakanku.

“Kali ini saja, aku lagi libur, dan aku yakin aku akan bertanggung jawab pada perbuatanku. Aku sudah dewasa.”

Sudah kubujuk semampuku. Akhirnya, mereka setuju dengan ajakanku. Pada kali ini, aku berusaha menghibur mereka dan diriku.

Sejujurnya, rasa takut, lelah, dan bayangan tersebut masih menghantuiku. Bagaimana tidak, aku masih sangat syok dari pengalaman tersebut.

Demi mereka, demi keluargaku, aku harus berusaha sekeras mungkin. Sudah pasti, aku harus menyelamatkan mereka dan mengetahui kebenaran tentang arloji ini.

Setelah selesai mengajak mereka jalan-jalan keliling kota Jakarta yang padat ini, aku sengaja mengulur waktu sampai maghrib. Untungnya, tidak ada kejadian aneh yang terjadi pada kami.

Perut sudah terisi, shopping, nonton bioskop, semua sudah kulakukan untuk mereka.

Jelas sekali bahwa aku tidak menikmati sama sekali hiburan yang aku rencanakan sendiri karena rasa anxiety, yaitu rasa gelisah yang kurasakan.

Tentu saja, rasa gelisah itu harus kusembuyikan dari mereka. Aku tidak pernah tenang setelah pemandangan mengerikan itu.

Syukurlah sekarang mereka berada di hadapanku dengan perasaan bahagia. Mereka baik-baik saja sudah cukup untukku.

“Kak Fabian, kamu kesambet apaan dah, bisa mengajak kita refreshing begini?” Memang kadang suka kurang ajar adikku ini, namun aku tidak ada tenaga untuk berargumen kali ini.

“Apa salahnya? Harusnya enak dong kubelikan skincare favoritmu dan buku novel yang ingin kamu beli?” Kutanya balik.

“Ga ada sih. Maaf kak, tapi terima kasih! Aku senang punya kakak kayak kak Fabian! Hehe, kalau gitu nanti aku kuliah harus benar, supaya kerja gampang dan cari duit enak biar bisa bantu keuangan, dan balas budi untuk kegiatan hari ini.”

“Giliran gini aja, memuji kakak,” aku berusaha untuk bercanda agar terlihat tidak terlalu lelah.

Tapi, aku senang bisa melihat senyumannya lagi. Senyuman Eriza mirip dengan senyuman ibu.

“Ih, aku kan malas berhutang budi sama orang.” Eriza beralasan. Aku hanya balas dengan senyuman.

Bibi Shina pun terlihat senang. Aku bernapas lega.

“Ya sudah, kunyalakan musik ya. Biar lebih rileks.”

“Fabian? FABIAN AWAS!” Bibi Shina berteriak.

Baru saja sekejap aku menyalakan musik  di mobil untuk menenangkan pikiranku sedikit, sebuah mobil menghantam bagian belakang mobil kami.

Mobil kami berputar dan menghantam mobil truk yang membawa tiang-tiang besi panjang di depan mobil kami.

04.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang