Sudah dua minggu lebih dia belajar menari. Dunia malam yang jarang ia jamah karena selalu ia habiskan di atas ranjang, kini bisa ia rasakan sensasinya. Berjalan seorang diri dari jalan raya ramai-sepi-ramai. Terguyur hujan setiap malam yang bahkan rintik-rintiknya malu untuk menyentuh kulitnya. Begitu pula langit yang bermendung putih seakan ingin abadi di atas sana. Selalu ditempuhnya jalan lurus menuju panggung tempatnya berlatih menari dengan jajaran pohon yang berjarak setara. Bukan hanya ia rasakan pada hujan, bulan dan bintang pun pada malam-malam itu seperti enggan menampakkan dirinya, enggan menyaksikan sebuah proses tak terstruktur tersebut.
"Itsna, ada pendaftaran kelompok tari nih, daftar yuk!"
"Oh iya, sepertinya seru, ayo ikut, aku juga ingin bisa nari."
"Kalian mau daftar? Ayo-ayo seru loh."
"Kalau gitu kita daftar sekarang aja, latihannya mulai rabu depan loh."
"Iya Alvin, tak daftarin sekalian ya, kamu juga ikut Ardi?"
"Iya dong."
Sebuah awal yang mengambang di atas sungai tenang namun bias cahaya matahari yang menyinari terasa menyimpan sejuta rahasia. Dia terus berdialog dengan hatinya, meyakinkan bahwa ini tetap jalurnya, bukan persimpangan, pertigaan atau perempatan. Lampu hijau telah menyala di depannya tanpa ada penghalang pengendara mimpi lainnya. Melesat sekali saja dengan kecepatan maksimal akan segera sampai pada tujuan. Namun dia masih melihat kanan dan kirinya, depan dan belakangnya. Tak bersedia ia melaju kencang seperti di perlintasan balap, karena ia ingin meraihnya bersama teman-temannya.
Dengan sabar ia menanti kabar latihan tari perdana, setiap hari kamis menjadi hari yang panjang baginya karena penantian itu. Akhirnya suatu hari kabar itupun tersiarkan. Dia dan Alvin segera menuju tempat yang dijanjikan. Mereka pergi dengan seribu prasangka yang mengintai di balik rumput dan bebatuan yang tersisa di sudut kota itu. Malam selalu mengawali perjalanan para calon penari itu. Dalam awam dan keluguannya mereka mulai mengikuti tarian yang ditawarkan alam yang tanpa sengaja telah merasukinya. Dan malam memang benar-benar membawa sejuta rahasia itu. Semua rahasia, satu per satu akan terungkap seiring dimulainya latihan perdana itu.
"Mengapa langsung pemilihan penari seperti ini? aku bahkan belum sekalipun menggerakkan tubuhku untuk sebuah tarian, meskipun aku pernah menggerakkan tubuhku untuk jurus-jurus bela diri yang tentunya berbeda dengan gerakan tari ini, apa maksud semua ini?" gumam Itsna dalam hati. Gejolak di hatinya mulai timbul seirama gerakan-gerakan tari yang diperagakan pelatihnya.
Malam-malam yang berlalu ternyata tak berlalu begitu saja. Penantian-penantian serta harapan-harapan bergelantungan di depan pintu masuk Kampus Hijau. Mereka terlantar tak berkepastian. Siapa yang bertanggung jawab dengan semua ini? Padahal mereka turun dari tangga sejak lantai tiga dengan tergesa-gesa dan telah berganti celana training pula. Mereka harap si pelatih sudah memulai latihannya, namun hanya halaman kampus yang sepi yang terhampar di hadapan mereka. Mereka coba mencari teman dan penanggung jawab latihan tari itu. Mereka temukan teman-teman mereka juga terlantar, terdampar di sebelah bawah meja. Wajah mereka layu, mereka pun saling bertanya.
" Apa sekarang jadi latihan tari?"
" Pelatihnya tidak bisa datang, Mbak, Mas, ini baru ada info di grup media sosial kita."
" Oalah, la terus bagaimana ini, sudah berapa kali kita tidak jadi latihan?"
" Dasar, mereka PHP kita terus!" teman seangkatan Itsna itu sudah sangat emosi.
" Ya sudah kita latihan sendiri saja, kamu yang melatih ya, Mas Ardi?" Saran teman-teman.
" Iya tapi katanya tari ini nanti dibuat sebuah kolosal sedangkan kita belum tahu kita dapat job yang mana."
YOU ARE READING
LENGGANG
Short StoryKisah seorang penari lenggang yang masih pemula. Ia harus berhadapan dengan prinsip dan keinginannya ketika mengambil langkah untuk menjadi seorang penari lenggang.