LENGGANG

5 0 0
                                    


Wajah yang terlintas pertama dalam renungannya adalah kedua orang tuanya, lalu guru-gurunya serta orang-orang yang dicintainya. Entah alasan apa yang harus ia jelaskan pada mereka agar mereka mengerti dan mengizinkan. Tapi semua tak selalu memahami, dan ia akui ia memang bersalah semenjak ia diam dalam latihan terakhir itu. Semenjak hatinya telah membaurkan antara hitam dan putih sehingga terlahirlah abu-abu yang terus menyilaukan keraguan dan sejak saat itulah pandangan orang lain terhadapnya akan berbeda.

"Bapak, Ibu, kalau Itsna harus membuka jilbab ketika menari nanti, apakah boleh? Karena ini tari tradisional, jadi tidak sesuai kalau harus memakai jilbab, pementasannya sudah besok malam, dan Itsna sudah latihan setiap malam, Itsna harap bapak dan ibu bijaksana dalam keputusan ini. Bantulah Itsna, Pak, Bu, Itsna hanya menunggu izin dari Bapak dan Ibu."

Kata-kata itu ia kirimkan lewat SMS, berharap akan ada pencerahan setelah kedua orang tuanya menjawab pertanyaannya. Sambil menunggu, ia tetap diam dari forum latihan itu, hingga kakinya mengantarkan ia pada ujung pintu keluar kampus. Saat itu, terdengar bunyi SMS masuk secara bergantian. SMS pertama berasal dari bapaknya.

"Ge, hati-hati, diatur niatnya."

Betapa melegakannya SMS balasan dari bapaknya itu. Senyum cerah tergambar di bibirnya. Langkahnya yang gontai berubah menjadi mantap dan bersemangat. Kini ia tinggal menunggu SMS balasan dari ibunya. Pikirannya semakin tidak karuan dan bercampur dengan khayalan-khayalan yang bermacam-macam. Hati dan pikirannya tersiksa hingga SMS yang ditunggu akhirnya diterima juga.

"Itsna, menari itu apakah wajib? Kenapa harus lepas jilbab? Sama siapa saja menarinya? Hati-hati lo ge, dari kecil ibu sudah mengajari kamu pakai kerudung loh. Pikirkan lagi."

" Bukan wajib, Bu, tapi karena Itsna sudah terlanjur masuk dalam kelompok tari itu, setiap hari Itsna pulang malam untuk latihan tari itu Ibu, dan besok akan tampil. Itsna tidak bisa berpikir apa-apa lagi, Bu, semua alasan sudah Itsna sampaikan kepada mereka, tapi Itsna kalah, Bu, Itsna gagal, padahal Itsna hanya ingin berkarya dan melestarikan kesenian tari saja, Bu."

Lama sekali Itsna menunggu jawaban selanjutnya dari ibunya hingga jam hampir menunjukkan tengah malam. Ketika Itsna telah berada di atas ranjangnya dan siap membaca doa tidur, terdengar suara SMS masuk.

"Baiklah tidak apa-apa, tapi sekali ini saja, ditata niatnya dan hati-hati ya, Nak."

SMS balasan itu sangat melegakan hatinya. Sebelum tidur ia membaca Al-Fatihah yang ditujukan kepada kedua orang tuanya dan guru-gurunya juga untuk seluruh teman-temannya. Meski masih tersimpan keraguan di hatinya, namun izin dari kedua orang tuanya menguatkannya dan menjadi alasannya untuk terus maju.

" Maafkan aku, Bapak, Ibu, aku telah meminta izin kepada kalian untuk melakukan sebuah kesalahan dan keburukan, maafkan aku Tuhan, tolong jangan hukum mereka, hukum saja aku, dua hal yang menjadi pedomanku saat ini (di saat hitam dan putih telah bercampur dalam batinku) adalah bahwa sebuah perbuatan itu dinilai berdasarkan niatnya dan keridhoan Allah ada pada keridhoan orang tua. Cukuplah dua hal itu yang menegarkanku." Bisik Itsna kepada Tuhannya dan kepada kedua orang tuanya melalui celah-celah jendela yang tertembus cahaya lampu dari luar kamarnya.

***

Malam pementasan hampir tiba, Itsna dan teman-temannya pagi itu melakukan latihan terakhir sebelum pentas. Semua gerakan sudah dipelajari semua kerja keras sudah dijalani. Mereka terlebih dahulu mencoba panggung yang disediakan panitia untuk mereka. Sepotong senja lalu mengambang di udara, sementara semua penari masih berhias diri. Setelah ini tibalah saat pengorbanan itu. Kita lihat saja apa yang terjadi nanti.

Krincing, krincing, krincing,, suara gelang kaki penari remo telah mengudara, memberi tanda kepada semesta bahwa sang penari telah siap menuju arena menari. Bersama malam yang membelai mesra. Kaki-kaki penari itu melangkah menuju panggungnya. Di tengah sorotan berbagai lampu kelap-kelip yang membuat siapapun tidak bisa bersembunyi darinya, para penari itu duduk menunggu giliran mereka tampil. Saat melihat banyaknya penonton yang hadir serta sorot lampu-lampu itu, Itsna lantas menundukkan kepala sambil memandangi kipas dayang yang dibawanya.

" Tuhanku, aku yakin Engkau ada di sini, saat ini aku sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi Ya Tuhan, semua sudah bercampur dalam gulita malam yang remang. Tak bisa lagi kubedakan baik dan burukku. Ini memang kesalahanku, Tuhan, tapi bila Engkau masih mengasihiku, tolong jagalah aku, tolong lindungi aku, jagalah auratku dari penglihatan mereka. Jagalah aku untuk kedua orang tuaku dan untuk orang yang kucintai, aku mohon agar orang-orang tak mengenaliku dan tak dapat melihat auratku, kumohon Tuhan, tetaplah bersamaku, Tuhan."

Selang beberapa menit kemudian tibalah giliran para penari untuk menampilkan karya kolosal mereka. Namun tiba-tiba langit yang hitam pekat berubah menjadi abu-abu yang membawa serta angin yang menggugurkan daun-daun rapuh. Begitu pula elektron-elektron yang berloncat-loncat gembira sehingga melukiskan sebuah garis lurus nan bercabang di langit malam itu. Kemudian disusul suara guntur yang gelegarnya sampai ke gendang telinga, dan tetes-tetes hujan turun tak sabaran di atas tanah dan panggung tersebut. Suaranya tak lagi gemericik, karena derasnya tak terhalangi, seperti pasukan perang yang saling bergantian menyerbu pasukan musuh. Lampu-lampu sorot mati dan suara di soundsystem tak terdengar lagi.

Itsna pun menari dalam lingkar gulita yang berperisai hujan dengan sorot remang dari lampu dua buah mobil yang berada di kanan dan kiri panggung. Arenanya menari seolah tertutup oleh hijab putih bening yang berasal dari tetes-tetes hujan malam hari. Musik yang mengiringinya menjadi sendu, merayu dan mengadu. Alunannya menghipnotis tubuh para penari untuk melenggang bersama alam yang bersedia menari malam itu.

Pandangan Itsna tersebar ke segala penjuru, mencoba mencari orang-orang yang mungkin dapat ia kenali dalam kegelapan itu. Namun ternyata, sejauh matanya memandang, ia takkan mampu memandang suatu sisi di arena itu yang di sana terdapat seseorang yang sudah ia kenali meskipun dalam kegelapan itu. Guyuran hujan itu ternyata tak menyediakan kesempatan baginya untuk mengagumi seseorang itu.

" Tuhan, apakah dia melihat dan mengenaliku? Kuharap wajahku berubah setelah memakai make-up ini. Entah aku bertambah cantik atau tidak, yang terpenting hindarkan aku darinya, sembunyikan aku dalam kegelapan-Mu, hingga ketika aku telah menemukan cahaya-Mu maka pertemukan kembali aku dengannya. Kumohon, aku telah malu kepada semua orang, kepadanya akupun tak dapat menutupinya."

Dia tetap menari, musik pun tetap mengiringi, hujan masih setia menemani, malam semakin larut dengan kabut yang mulai menyebar. Panggung itu pun berakhir tanpa dialog, hanya mata-mata sunyi yang kemudian bersedia menyebarkan berita ke semua orang. 

LENGGANGWhere stories live. Discover now