Terpaksa

22.1K 1.5K 21
                                    

Sorot mata nakal penuh gairah terpancar dari retina seorang pria paruh baya. Tatapan penuh hasrat itu sangat dipahami oleh Raya Willona yang hampir dua tahun bergelut dalam dunia malam menjadi penari striptis. Meski begitu, si pria tersebut tetap bergeming di sofa empuk menatapnya tak berkedip tanpa berniat mendekatinya.

Raya berusaha fokus pada irama musik erotis yang mengantarnya pada liukan indah nan sensual di tubuhnya. Semua pakaian luarnya telah tercecer di lantai dan hanya menyisakan penutup bukit kembar ranum dan kewanitaannya saja. Raya terus menari mempersembahkan pada pelanggan yang telah memesan jasanya.

Sampai pada akhirnya instrumental itu berakhir, Raya membungkukkan tubuhnya memberi hormat kemudian pamit untuk berlalu.

Pekerjaannya telah usai. Raya menghela napas lega sembari mengusap dadanya yang berdebar keras.

"Sudah selesai?" tanya Serly teman seprofesinya. Wanita itu menyipitkan mata menelisik ekspresi wajah Raya. "Apa tamu tadi melecehkanmu?"

Raya segera membuka sebuah mask yang menutupi sebagian wajah cantiknya. Ia memang selalu menggunakan benda tersebut jika sedang melakukan tarian laknat itu. Tentu saja untuk menyamarkan identitasnya. Sesungguhnya Raya sangat muak melakukannya jika tidak mengingat tuntutan ekonomi hidupnya yang mengharuskan bergelut dalam kubangan dosa ini.

Selama tubuhnya tidak tersentuh pria jahanam manapun, Raya masih menyanggupinya. Bersyukur manajer yang menaunginya masih memegang prinsip para anak buahnya. Terkecuali memang si pegawai tersebut meminta sendiri untuk job plus-plus pada pelanggannya, tentu saja itu sudah di luar tanggung jawabnya karena atas dasar simbiosis mutualisme.

"Tidak. Tamu tadi cukup sopan. Meski sesekali kulihat tangannya menyentuh miliknya dan membelainya," jawabnya dengan intonasi sedikit jijik mengingat kelakuan pria paruh baya tadi.

Seketika Serly terbahak. Bahkan punggungnya bergetar demi menahan tawa kerasnya.

"Ish, kamu malah tertawa," sungutnya lantas berlalu meninggalkan Serly yang masih tak bisa menghentikan tawanya.

"Raya, tunggu!"

Langkah Raya terus bergerak menuju sebuah ruangan ganti pakaian.

"Kamu itu masih saja polos. Kadang aku merasa khawatir kalau kamu sedang melayani tamu."

"Itu sudah menjadi konsekuensinya bekerja di dunia malam. Kamu tidak usah cemas. Kalau ada yang macam-macam, cukup tekan tombol ajaib, maka kamu dan Pak Arga akan datang menjadi pahlawanku," sahut Raya terkekeh sambil membayangkan jika kecemasan Serly terjadi. Karena memang tersedia sebuah tombol alarm di ruangan untuk berjaga-jaga jika tamu tersebut memaksa melakukan asusila tanpa kemauan pegawainya.

Serly tersenyum. Perlahan menyentuh lengan Raya, mengelus lembut.

"Maaf. Gara-gara aku kamu jadi ikut terjun ke dunia nista ini. Sebagai sahabat aku merasa bersalah. Kamu siswa yang cerdas. Tapi aku malah menyesatkanmu."

"Justru kalau kamu tidak membawaku sampai saat ini aku seperti orang gila mencari rupiah yang kamu tahu sendiri sangat sulit didapatkan. Setidaknya aku masih menjaga mahkota suciku. Aku tidak mau kamu menyalahkan diri terus. Karena aku masih beruntung memiliki rekan kerja dan juga atasan yang masih memegang prinsip pegawainya meski bergelut di pekerjaan seperti ini." Raya memeluk punggung Serly. "Terima kasih."

Air mata Serly selalu tumpah jika Raya sudah mengeluarkan kata-kata melankolis. Raya seorang mahasiswi cerdas dan cantik harus menyelami dunia malam yang tabu. Keduanya berteman semasa putih abu-abu. Tapi Serly tidak meneruskan ke jenjang perguruan tinggi karena impiannya terempas akibat ketamakan ibunya yang melempar tubuhnya pada lelaki hidung belang.

Kadang Serly merasa Tuhan tidak adil terhadap kehidupan Raya. Kenapa wanita sebaik dia begitu sulit mendapatkan pekerjaan yang halal. Padahal wanita itu begitu berbakti pada sang ayah yang kini dirawat intensif di rumah sakit. Entahlah, mungkin memang sudah jalannya agar Raya merangkak menuju surga-Nya.

Serly menggeleng pelan. Jika sudah mengingat Sang Pencipta, tubuhnya sudah sangat tidak layak memohon pada-Nya. Serly sudah lebih dulu terjerumus dunia hitam akibat ibunya yang serakah akan pundi-pundi rupiah. Tapi ia cukup bersyukur masa itu telah dilewatinya dan pekerjaannya yang sekarang meski masih dalam jalur yang sama, setidaknya ia masih terlindungi karena tidak ada pemaksaan untuk menjajakan tubuhnya.

"Sudah jangan diingat lagi. Kamu selalu mengenang masa lalu menyesatkan," sungut Raya mencubit pipi mulus Serly mencoba membuyarkan lamunannya.

Keduanya tertawa dan akhirnya saling mengelitiki.

Tok tok

Raya yang masih tak bisa menahan tawanya membuka pintu.

"Pak Arga."

Pria dewasa gagah itu hanya mengangguk dengan senyum simpul.

"Ada Serly?"

Raya mengangguk dan langsung melebarkan celah pintunya. Di sana Serly tampak terkejut beberapa saat kemudian memasang wajah datar.

"Aku tunggu di bawah," titah Pak Arga tanpa menunggu jawaban Serly ia berlalu begitu saja.

Belum sempat Raya membuka mulutnya untuk bertanya, Serly langsung mencium pipi kanannya.

"Jangan lupa, besok kita libur." Serly segera keluar dan menutup rapat pintunya.

Raya menghela napas. "Harusnya kamu terima saja cinta tulus Pak Arga."

.

.

.

.

Follow instagram untuk spoiler lainnya

*14-Desember-2019

Perawan Striptis ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang