3. Berarti Dia

8 0 0
                                    

Jalan Hati: 3. Berarti Dia

"Allah tahu itu sulit untukmu. Tetapi, yakinlah. Allah akan membuatmu tersenyum."

...

Dia, diaku. Duniaku seakan berhenti berputar setelah mendengar ucapan Diki tadi. Yang benar saja, kita menyukai perempuan yang sama? Tidak mungkin! Tapi, itulah yang sebenarnya sedang terjadi sekarang. Kesal? Sudah pasti. Tetapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Dan bubur tidak mungkin bisa berubah menjadi lontong.

Rasa sesak mulai menyerangku. Entahlah, aku sendiri bingung harus berbuat apa sekarang. Kalau marah, ya tidak mungkin. Karena bukan sepenuhnya kesalahan temanku. Tapi, ya, tahu sendirilah rasanya suka seseorang yang disukai teman itu seperti apa. Menyakitkan dan menyesakkan dada.

"Jadi itu yang namanya Diana?" kataku setelah lama diam.

Diki terlihat senang kemudian mengangguk. "Iya, dia cewek yang gue suka. Asli berdebar jantung ini setiap kali memandangnya," kata Diki seraya memegangi dada.

"Lebay!" ejekku.

Aku tersenyum kikuk. Tidak tahu lagi mau berkata apa. Setelah memutar otak, aku pun kembali bertanya, "Udah lama kenal sama cewek itu?"

Diki kemudian menatapku setelah perempuan pemilik nama Diana itu pergi keluar dari perpustakaan.

"Enggak lama sih, ada satu minggu. Waktu itu gue pernah bantuin dia benerin laptop-nya yang rusak. Terus, kita ngobrol sebentar deh. Ke---"

"Gak ada yang spesial dari pertemuan lo sama dia, tapi kok lo bisa langsung suka sih sama tuh cewek," ucapku memotong ucapan Diki.

Diki menghela napas lalu membenarkan posisi duduknya yang sedikit merosot menjadi tegak. Kemudian berkata, "Ada yang spesial, lo mau tahu gak?"

"Apa?"

"Dia cantik, baik, dan perhatian sama gue. Itu yang buat gue suka sama Diana. Diana juga orangnya enggak pilih-pilih kok kalau temenan sama orang. Intinya, dia tipe gue banget deh," jelas Diki panjang lebar dengan senyuman yang masih terukir di wajahnya.

"Oh." Aku pun berdiri sebab sudah bosan mendengar cerita orang yang sedang kasmaran. Lama-lama Diki membuatku muak.

"Oh iya, dia juga cewek yang gue lihat kemarin itu pas di depan masjid. Lo inget kan?" ucap Diki padaku.

Aku mengernyit. Berarti benar, dia yang kemarin. Tapi, apa benar dia yang kemarin memperhatikan aku dari jauh? Tapi, suara Diana terasa berbeda dengan suaranya yang sekarang.

Jangan heran, karena tadi aku mendengar jelas Diana bertanya pada petugas perpustakaan. Jadi, ya, aku tahu. Dan benar, suaranya berbeda dari yang kemarin aku dengar dan suara orang yang berbicara dengan bahasa Inggris.

"Oh gitu, kemarin dia berdua, kan? Siapa itu?" tanyaku penasaran.
Karena memang kemarin aku melihat dua perempuan. Siapa tahu, dia yang kucari adalah temannya Diana.

"Oh itu, itu temennya Diana. Dia juga cantik, baik pula. Cuma dia agak kalem gitu. Suka gue juga," jawab Diki terkekeh menyebalkan.

Aku melongo tidak habis pikir dengan temanku yang satu ini. "Gila! Udah suka sama Diana mau ngambil temennya juga. Serakah lo, bagilah buat gue satu."

Diki tertawa membuatku kesal. "Iya-iya, gue bagi. Ambil aja, kalau dipikir-pikir nih, dia cocok kok sama lo. Kan tipe lo yang kalem-kalem gitu."

"Nah iya, omong-omong ... namanya siapa?" tanyaku tersenyum senang.

"Kalau suka, usaha dong. Cari tahu sendiri," kata Diki dengan sarkastis.

Aku pun berdecak sebal lalu pamit. Sebelum aku pergi Diki berkata, "Dan lo, gak boleh suka sama Diana. Ingat, dia punya gue."

Aku terbelalak ketika Diki berkata itu padaku. Seolah-olah Diki tahu apa isi hatiku. Padahal aku sudah berakting sangat bagus tadi. Dehamam kecil keluar dari mulutku. Seraya terkekeh aku berkata, "Ya kali gue suka punya lo, masih banyak kok cewek cantik yang akhlaknya cantik di luaran sana. Sorry, gue bukan pagar makan tanaman."

"Bagus deh kalau begitu," jawab Diki, kemudian aku pamit pergi pulang lebih dulu.

Saat aku sampai di tempat parkir. Aku melihat Diana sedang melambaikan tangannya ke arahku. Tunggu dulu! Ke arahku? Yang benar?

Seketika debaran di dada semakin hebat. Tatkala langkah kaki Diana semakin mendekat. Dengan refleks aku menundukkan kepala. Tidak ingin melihatnya dari dekat. Karena aku tidak sanggup untuk menanggung dosanya.

Namun saat menunduk. Aku melihat langkah kaki Diana semakin menjauh dariku. Dia terus berjalan ke belakangku. Berarti dia tidak melambaikan tangannya kepadaku. Bodoh! Terlalu percaya diri. Memang siapa aku, kenal saja tidak.

Karena rasa penasaran menyelimuti diri. Tanpa aba-aba kepala ini menoleh ke belakang. Dan ternyata, Diana sedang mengobrol dengan laki-laki. Ya, benar. Siapa lagi kalau bukan Diki.

Aku melihat mereka berdua sangat akrab. Terlihat dari gerak-geriknya. Ah sudahlah! Bukan urusanku juga. Untuk apa aku marah. Toh, kalau memang jodohku, pasti akan menjadi milikku. Dan kalau bukan, ya sudah. Cari saja yang baru.

Aku mengangkat bahu, lalu mengambil langkah pergi menuju mobil. Di perjalanan, kejadian tadi masih membekas di dalam pikiranku. Jujur saja, aku merasa kesal. Tapi, aku tahu semua ini adalah hasutan setan. Dan aku tidak boleh menuruti hawa nafsu ini.

Di pertigaan cukup ramai orang-orang dengan sejuta aktivitasnya. Aku pun tersenyum melihat itu semua. Tidak terasa sudah hampir sampai dengan rumahku. Dan saat mobilku melewati toko depan kompleks. Aku melihat bidadariku sedang membeli sesuatu. Tanpa pikir panjang aku pun berhenti.

Aku keluar dari dalam mobil. "Assalamu'alaikum Bunda, udah belum belanjanya?" kataku setelah sampai di depan Bunda.

"Wa'alaikumussalam, Kakak udah pulang. Oh iya, ini udah kok tinggal dibawa aja," jawab Tiara Bundaku.

Setelah itu, aku pun mengambil barang belanjaan Bunda dan menaruhnya di dalam mobil. Saat aku menata belanjaan itu, aku mendengar Bunda mengobrol dengan seorang perempuan.

"Iya Bunda, Insya Allah. Nanti kalau ada waktu luang, aku main ke rumah Bunda. Pamit dulu ya Bunda. Assalamu'alaikum."

"Ya sudah, hati-hati ya sayang," ucap Bunda.

Seketika tubuhku terdiam kaku. Bergeming beberapa detik, mencoba mencerna kata demi kata yang keluar dari mulut seseorang itu. Namun, suara itu terdengar begitu lembut dan terasa tidak asing lagi di telingaku.

"Kayak pernah denger itu suara, tapi di mana ya?" gumamku masih memegang belanjaan.

Saat aku menoleh ke arah Bunda. Aku tidak melihat siapapun selain Bunda dan Bu Ratih pemilik toko. Kalau dipikir-pikir, tidak mungkin kan suara tadi suara Bu Ratih. Karena aku cukup hafal suaranya. Suara tadi, oh iya. Suara itu, suara dia yang selama ini aku cari.

"Ayo Kak," ajak Bunda membuyarkan lamunanku tentang suara-suara itu.

Aku mengerjap berkali-kali. "Eh, i-iya Bunda ayo."

Kemudian kita masuk ke dalam mobil. Dengan mengucap bismillah aku menjalankan mesin mobil dan langsung melaju sampai ke rumah.

Di dalam rumah aku bertanya pada Bunda. "Bun, tadi Bunda ngobrol sama siapa?"

"Perempuan," jawab Bunda.

"Iya siapa kalau boleh tahu. Calon Azka, ya?" tanyaku asal seraya mengedip-ngedipkana mata. Hanya ingin bercanda.

"Iya, calon kamu," jawab Bunda membuatku diam membisu.


...


B

aca kelanjutan cerita Jalan Hati di akun @bmbfamily

Assalamualaikum semua, gimana tuh, calon katanya.

Oh iya, kalian tim mana?
1. Azka Diana
2. Diki Diana

Kira-kira, perempuan yang ngobrol sama Bunda siapa ya?

Oh iya, Diana temen SMA Azka atau bukan sih?

Rabu, 17 Juni 2019

[Azka] Jalan Hati ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang