06 - The Emergence of Dark Secret (2)

2.4K 377 14
                                    

Pukul empat sore, setelah jam akademik usai, para mahasiswa yang kebanyakan didominasi perempuan sudah memenuhi halaman depan gedung Dekanat Fakultas Sastra. Mereka memenuhi undangan BEM untuk melakukan aksi protes kepada fakultas yang seolah diam seribu bahasa akan isu memprihatinkan ini. BEM sendiri bekerja sama dengan organisasi teater untuk menampilkan drama singkat tentang pelecehan seksual oleh dosen yang meresahkan mahasiswa.

"Buat temen-temen yang mau nulis keluh kesah soal masalah ini bisa maju ke depan," seru Brian lewat megaphone, lelaki itu mengetuk papan pengumuman yang sudah ditempeli kertas manila. "Sore ini, kita bersama-sama akan menuntut kampus tercinta kita, untuk menumpas kasus pelecehan yang terjadi. Saya, kamu, kita semua berhak belajar dengan aman dan nyaman. Setuju?"

"SETUJU!"

"Nama baik kampus, tidak lebih penting dari keadilan masyarakat kampus!" seru Brian lagi. "Tugas kampus bukan untuk melindungi pelaku kejahatan. Mau itu rektor, dekan atau pun dosen, jika melakukan tindakan melanggar hukum, harus dilaporkan! Harus diberi sanksi!"

"SETUJU!"

"Sampai detik ini, saya sudah mengantongi enam korban pelecehan. Satu korban saja sudah cukup jadi peringatan bagi kita semua, jika kampus ini bukan tempat yang aman. Tapi, enam korban dan beritanya baru menyebar sekarang? Kenapa para korban baru berani bersuara sekarang? Karena mereka tidak dapat respon baik dan perlindungan yang semestinya didapatkan." Brian menunjuk para mahasiswa yang duduk di barisan depan. "Kamu, kamu, saya, kita, bisa jadi korban selanjutnya. Oleh karena itu, kasus ini harus ditumpas sekarang!"

Lelaki itu memandangi kawan-kawannya satu per satu. Ia kemudian mundur dan mempersilakan anak teater untuk beraksi. Aksi ini merupakan salah satu langkah awal untuk menyadarkan para dosen dan petinggi kampus, jika para mahasiswa sadar akan hal ini. Para mahasiswa akan terus mengawal kasus ini sampai si pelaku ditangkap, dan diberi hukuman. Ia yakin, cepat atau lambat pihak kampus pasti akan merespon.

Suasana tiba-tiba tegang saat dekan serta para wakil dekan keluar gedung dan melintas memotong lapangan ketika aksi berlangsung. Para mahasiswa yang di sana langsung mengangkat banner mereka tinggi-tinggi. Brian yang tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu berlari kecil menghampiri Pak Subroto, dekan Fakultas Sastra. Lelaki dengan kumis tebal dan berkacamata bulat itu menaikkan satu alisnya.

"Selamat sore, Pak," kata Brian.

Pak Subroto tersenyum kaku, lalu menarik napas. "Kenapa?"

"Saya Brian, Pak. Ketua BEM Fakultas Sastra. Bapak pasti sudah tahu soal kasus yang beredar di kampus kita 'kan, Pak? Tentang pelecehan yang dilakukan oleh seorang dosen kepada mahasiswi. Hari ini, kami sedang melakukan aksi untuk meminta keadilan dan meminta pelaku mendapat hukuman setimpal."

Kepala Pak Subroto melirik ke belakang Brian, dan kembali menatap lelaki itu. "Kita bicarakan besok saja bagaimana? Ini sudah terlalu sore."

"Mohon maaf sebelumnya, tapi saya harus memastikan jika Bapak tidak akan mengingkari janji Bapak," pungkas Brian setengah tak percaya.

"Saya janji. Besok pukul dua siang, di ruang rapat. Kebetulan besok ada agenda rapat dari pagi, dan kemungkinan pukul dua siang, sudah selesai. Saya tunggu kamu di sana." Pak Subroto mengeluarkan ponsel. "Sudah punya nomor saya?"

Brian menggeleng, ikut mengeluarkan ponsel. Pak Subroto lalu mendiktekan nomor ponselnya. Ia kemudian memanggil nomor tersebut, membuat ponsel lelaki yang berumur lebih dari separuh abad itu berdering.

"Ini nomor kamu? Saya save nanti."

"Baik, Pak. Saya tunggu besok, terima kasih banyak."

Seperginya Pak Subroto, ia kembali ke kerumunan aksi, memberi tahukan info tersebut pada rekan-rekan BEM-nya. Tak lupa, Brian menghampiri Lia yang ada di dalam barisan aksi, untuk membagikan info serupa. Mata gadis itu berbinar untuk beberapa saat, tapi kemudian kedua alisnya saling bertautan.

Double Trouble (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang