Rania pernah bertanya kepada laki-laki di sebelahnya ini tentang apa saja yang paling disukainya. Dan apa jawabannya? Jawabnya, ia hanya menyukai tiga hal di dunia ini. Yaitu game, voli, dan terakhir adalah dirinya. Ya, saat itu Rania tersipu malu. Elang benar-benar berhasil membuat pipinya merona.
Dan ia juga pernah bertanya tentang hal yang lain. Tentang apa saja yang paling dibencinya. Masih dengan poin yang sama, Elang memberikan jawaban yang kala itu langsung membuat Rania terdiam.
"Gue benci dibohongi, dikhianati, dan ditinggal gitu aja setelah hati gue dibuat mainan olehnya."
Ini adalah tentang jawaban Elang yang selalu menganggu pikirannya saat ia menutup mata. Juga tentang dirinya sendiri. Apakah ia mampu untuk terus bertahan dengan laki-laki yang satu ini?
"Diem-diem bae. Kenapa, sih? Sariawan?"
Rania tersadar, mengerjapkan mata seolah baru saja ada tangan-tangan besar yang menariknya ke alam nyata. "Enggak. Cuma lagi gak tau mau ngomong apa," jelasnya yang sekilas menundukkan kepala. Menurunkan tatapan ke dalam es batu yang terendap pada dasar gelasnya.
"Ngomongin orang mau gak?"
Kepala itu kembali terangkat dengan kedua alis yang nyaris bersatu. "Gibah?" tanyanya tak percaya.
"Huum," angguk Elang dua kali, "tadi pagi Fiki bilang ke gue alasan kenapa dia gak nembak-nembak Kayla."
Dan sialnya Rania langsung tertarik detik itu juga. Badannya dicondongkan, kedua lutut dihadapkan sepenuhnya ke arah Elang, dan kedua tangan yang saling tertaut, ia letakkan di atas meja. Bersebelahan langsung dengan tanaman kaktusnya. "Kenapa?"
Elang tersenyum geli sewaktu melihat Rania seantusias ini. Pikirnya, gadis itu akan mengabaikan ucapannya barusan. "Karena Fiki butuh waktu buat mastiin perasaannya lebih pasti lagi." Menemukan Rania dengan ekspresi melongo itu kontan membuat Elang tertawa. "Gini, biar gue jelasin pelan-pelan." Elang mengatur napas lebih dulu. Langkah selanjutnya, dirinya terlihat memutar hadap kedua lututnya ke arah Rania. "Dia belum sepenuhnya yakin tentang perasaannya ke Kayla. Katanya, sih, dia takut nyatikin cewek itu di akhir cerita nanti. Takut kalau perasaan yang ia punya itu cuma sekedar rasa yang singgah, bukan menetap seperti yang ia mau."
"Tapi ... Fiki itu seperti udah beri Kayla harapan yang besar, lho, Lang. Mereka udah sering jalan berdua, cerita tentang kegiatan masing-masing, sering telponan sama chatan juga. Apa itu masih belum cukup buat Fiki?"
"Dengerin, Ran," Elang memberi jeda dua detik menjelang kalimat keduanya, "jalan berdua, sering ngobrol dan chatan itu gak bisa dijadiin sebagai tolak ukur apakah laki-laki itu udah beneran cinta atau belum. Cintanya laki-laki gak sesempit itu, Ran. Kita itu hobinya memilih dan memilah yang terbaik dari yang paling baik untuk diri kita sendiri. Bukan cuma soal seberapa cantik dia, seberapa pinter dia, ataupun seberapa perhatiannya dia. Tapi kita itu juga mengukur dari segi lainnya. Ibaratnya gini, kita sebagai laki-laki itu harus menemukan perempuan yang bisa kita jadikan rumah untuk tempat pulang. Bisa memberi rasa aman, nyaman, ataupun sekedar pelukan biar kita sadar bahwa kita itu gak sendiri. Bahwa laki-laki itu juga boleh terlihat lemah ataupun menangis. Itu adalah cinta yang sesungguhnya. Dan menurut gue, Fiki juga tengah mencari itu pada diri Kayla."
Untuk sesaat, Rania termenung pada tempatnya. Entah kenapa, untaian kata yang Elang jabarkan itu serasa telah memenuhi setiap rongga pada hatinya. Menyumbatnya habis-habisan hingga membuatnya sulit bernapas. Rania bingung. Bukan pada Elang yang siang ini tiba-tiba berubah banyak bicara, lebih lembut dari biasanya, atau malah terlihat sangat pintar dalam membahas cinta dan rasa. Dirinya bingung kepada dirinya sendiri yang merasa bimbang dengan perasaannya. Apakah selama ini dirinya telah menjadi rumah untuk Elang? Apakah saat bersamanya Elang merasa aman dan nyaman? Apakah pelukannya selama ini mampu membuat Elang lebih kuat dan percaya bahwa ia tidak pernah sendiri?
Ah, Rania tak tahu jawaban mana yang perlu ia ketahui lebih dulu. Kepalanya serasa ingin pecah saat menyadari pembahasan yang awalnya berbicara tentang Fiki dan Kayla kini telah merambat ke mana-mana. Bahkan ia terlihat kelimpungan sendiri saat mencoba mencari jawaban dari setiap rasa penasaran, tapi dirinya malah menemukan seuntai benang kusut yang tak ia tahu di mana puncanya. Rania tersesat pada pikirannya sendiri. Hingga akhirnya ia menyadari sesuatu yang hangat terasa mengenai punggung tangannya yang dingin.
Ia menoleh dan mendapati Elang yang telah menggenggam tangannya. Tatapannya keduanya terakhir bertemu dalam satu benang kusut yang telah Rania temukan di mana puncanya. Saat di mana laki-laki itu memberikan senyum kecil yang tak pernah Rania temukan keberadaannya, laki-laki itu lantas berkata, "Gak perlu mikir yang macem-macem. Tetap jadi rumah yang selalu nyaman buat gue tinggali itu udah lebih dari cukup buat gue."
Dan akhirnya benang-benang kusut itu berhasil ia urai. Tepat saat Elang tersenyum dengan dirinya yang benar-benar menemukan semua sayang itu pada kalimat yang baru saja dia ungkapkan.
* * *
"Rania! Rania! Rania!"
Dia meringis sambil memegangi kepalanya yang belum berhenti berdenyut sejak tadi. Dan apa ini? Seseorang memanggilnya dengan membabi buta. Belum lagi sakit di kepalanya pulih, dia harus menoleh ke arah pintu yang menampilkan aksi seorang Kayla yang tengah berlari dan berakhir tepat di sebelahnya. "Apaan? Lagi lomba lari lo?" kesal Rania sewaktu Kayla memukul meja begitu saja. Menambah nyeri di kepala juga perut yang ikut mual pada detik yang sama.
Kayla menggeleng cepat hingga membuat kacamata bergeser dan rambutnya sedikit berantakan. "Lo udah ngerjain PR-nya Pak Jovan belum?" Dengan mata melotot, Kayla bertanya secepat kilat kepada Rania. Deru napasnya terdengar jelas, bersama dengan dada yang naik turun dalam tempo yang lebih cepat dari biasanya.
"U--udah. Kenapa? Lo belum--"
"Bagi, dong, Ran. Gue lupa ngerjainnya semalem," rengek Kayla. Kali ini dia juga ikut memegang lengan Rania, menggoyang-goyangkannya hingga membuat sahabatnya sedikit terganggu.
"Heum ... asik ngedrakor, 'kan, lo?" sungut Rania berakhir dengan Kayla yang tertawa bodoh.
"Iya. Please, bagi, ya. Gue gak mau dijemur di lapangan sama itu guru," pinta Kayla yang diikuti pula dengan memanyunkan bibir. Seolah dia lupa bahwa ada murid lain di kelas mereka yang bisa saja sudah kelewat jijik dan ingin muntah ketika melihat ekspresinya barusan.
"Iya iya ambil sendiri di dalem tas. Gue mau ke toilet dulu," tukasnya tak ingin memperpanjang obrolan. Kemudian, ia pun lanjut berdiri dan berjalan ke arah pintu kelas. Berusaha untuk menyeimbangkan langkah agar tidak terjatuh saat ia berjalan di koridor yang mulai ramai.
Ia terus berjalan sambil menahan nyeri di kepala. Semalam ia harus bergadang untuk menyelesaikan PR Matematika dari Pak Jovan. Pagi tadi dia telat bangun dan berakhir dengan dirinya yang tidak sempat sarapan. Jadinya seperti ini. Kepalanya pusing dan perutnya mual.
Pelan-pelan tenaga Rania bak terkuras habis. Ramai di depannya semakin terlihat ramai saja saat bayang yang seharusnya satu, kini terpecah menjadi dua. Rania meringis saat suara-suara di sekitarnya saling bersahutan dan tak dapat diterima dengan baik oleh pikirannya. Jantungnya bertalu dengan cepat, dunianya serasa berputar. Saat di mana Rania pasrah bahwa dirinya akan terjatuh di sana, seseorang dengan sigap datang dan menahan tubuhnya agar tidak langsung menyentuh lantai yang cukup keras dan bisa saja membuat tubuhnya kesakitan.
"Ah ...." Rania bersyukur saat menyadari bahwa saat ini sosok tersebut berhasil memeganginya. Mendekap tubuhnya dan memanggil namanya untuk tersadar. Tapi ... tunggu sebentar! Bau sosok ini tercium asing pada indra penciumannya. Laki-laki yang awalnya dia kira Elang ternyata salah. Ini ... adalah Raka. Ya, Raka yang memeluknya.
Sial. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, Rania hanya bisa berharap bahwa Elang yang terlihat dari kejauhan, semoga tidak menyadari kejadian saat Raka mulai menggendongnya.
* * *
Hai, kamu! Apa kabar? Baik-baik terus, ya, walau dunia lagi ga begitu baik. Tetap sehat dan kuat. Soalnya saya suka liat kamu tersenyum. Hehe
Salam sayang,
untukmu yang saya mau terus bahagia
KAMU SEDANG MEMBACA
EPIPHANY
Teen FictionRania berada di ambang kebingungan. Antara memilih Elang atau 'dia' yang sebelumnya pernah ada di hatinya. Hubungan yang awalnya berjalan baik-baik saja, perlahan retak di saat Rania mencoba untuk pergi tanpa melukai. Namun, Rania melupakan satu hal...