34. Sorry

154 15 12
                                    

Pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, Rania langsung jatuh cinta pada kantinnya. Tempat ini tidak dibuat terlalu monoton dan kaku. Melainkan dirancang seperti kafe-kafe modern di luar sana. Lukisan-lukisan abstrak serta mural pada dinding yang instagramble, adalah salah satu ciri khas menjadi daya tarik bagi Rania. Selain itu, sekolah ini juga menyediakan kantin outdor. Masing-masing meja bundar, akan selalu dikelilingi oleh enam kursi. Serta terdapat pohon besar untuk tempat mereka bernaung dari panasnya matahari.

Di sini, pada salah satu kursi di kantin indor, Rania tampak lahap menikmati ketopraknya. Lumernya bumbu kacang serta rasa manis pedas pada makanannya, membuat perut Rania tidak tahu arti kenyang yang sesungguhnya. Di depannya Elang hanya bisa duduk terpaku dengan segelas teh dingin yang belum dihabiskan. Mata si lelaki menatap Rania dengan pandangan pasrah. Dia mengembuskan napas pelan, lelah. "Habis ini masih mau nambah lagi?"

Rania mengangkat kepala, menggeleng dengan mulut yang terisi penuh. "Enggak. Udah kenyang," jawabnya dengan suara yang kurang jelas.

"Akhirnya ... tau kenyang juga lo, Ran. Gue kira setelah tiga kali nambah, lo masih mau lanjut makan lagi."

Rania mendengkus kesal. Bola matanya diputar seperti arah jarum jam. "Namanya juga lagi kepengen makan, Lang. Lagian ini aku juga bayar pake uang sendiri. Kamu cuma aku suruh buat nemenin doang. Heran."

Ah, sudahlah. Elang malas berdebat untuk kali ini. Dia memilih diam sambil meminum teh dinginnya menggunakan sedotan. Bukan apa, hanya saja Rania dalam mode datang bulan akan berubah sepuluh kali lipat menyebalkan. Elang tidak punya cukup mental untuk menghadapinya.

"Pulang sekolah nanti temenin aku jajan, ya. Aku mau beli banyak cemilan."

"Iya," angguk Elang pasrah. Setiap tanggal 10, Elang harus menyisihkan satu hari penuh untuk menemani Rania. Elang harus banyak sabar. Kalau-kalau Rania mengamuk atau merajuk, Elang harus mau untuk mengalah. Gadisnya ini memang berbeda dari yang lain. Dia yang biasanya pendiam, tiba-tiba berubah cerewet jika tanggal 10 datang. "Hah ...." Lagi-lagi Elang mengembuskan napas lelah yang entah kali ke berapa. Rania telah beranjak dari hadapannya. Meninggalkan Elang seorang diri sebelum akhirnya dia merasakan kerah belakang bajunya ditarik oleh Rania.

Dengan kasar nan kejam, Rania menyeret Elang untuk berjalan. Pada sepanjang koridor pun Rania tidak berhenti mengoceh. Dia menceritakan tentang nyeri pada perutnyalah, tentang cucian bajunya yang menumpuklah, bahkan dia masih sempat-sempatnya bercerita tentang aktor yang akhir-akhir ini diidolakan olehnya.

"Lang, menurut kamu kalau kukuku dikutekin bakalan cantik gak?" Akhirnya topik pun berganti. Saat ini jalan Rania tidak lagi secepat tadi. Dia terlihat lebih santai sambil menatap jemari tangannya mengilap bersih.

"Enggak."

"Enggak? Masa, sih? Kayla bilang kemarin cantik. Bahkan kita rencananya mau samaan warna kutek. Gimana, sih, kamu?"

"Ya gak gimana-gimana. Tadi lo nanya pendapat gue. Ya itu jawabannya. Kalau Kayla bilang cantik, ya, terserah dia. Berarti itu pendapatnya."

Bibir Rania mengerucut kesal. Kedua tangan ia simpul di depan dada. Sambil menghentak-hentakkan kakinya pada lantai lorong kelas, Rania langsung berlalu dari sebelahnya. Meninggalkan Elang seorang diri, lagi.

* * *

Hari ini Fiki tidak masuk. Jadinya untuk hari ini Kayla harus dijemput oleh orang rumah. Keduanya berjalan beriringan sambil membahas hal-hal kecil tentang isu masa kini. Obrolan itu akhirnya terhenti karena Kayla harus berbelok ke arah kanan, sedangkan Rania lurus berjalan ke arah kelas Elang.

EPIPHANYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang