Part 2.

21K 2.1K 235
                                    

Kaki Jenita seolah terpaku pada lantai tempatnya berpijak. Sepasang manik cokelatnya menatap nanar pada dua orang yang tengah saling bergenggaman tangan, dengan tubuh saling menempel satu sama lain, juga mata terpejam. Sepasang suami istri. Dua, dari tiga orang di masa lalunya yang telah membuat hatinya luluh lantak.

Elang Bimantara dan Diana Hirawan.

Tak jauh dari sana, duduk seorang lelaki yang sejak tadi menungguinya, sementara dirinya menemui sang papa. Tetapi, fokus Jenita tetap tertuju pada sepasang insan yang menurutnya salah tempat untuk tertidur.

Sebastian yang sedang memeriksa email di ponselnya seketika mengalihkan pandangan pada benda pipih itu, saat mendengar derit pintu terbuka. Maniknya menemukan Jenita bergeming di tempatnya dengan tatapan dingin. Lelaki itu lantas mengikuti arah pandang wanita itu. Dan mengerti, wanita yang berdiri di ambang pintu itu tengah menahan marah.

Lelaki bersetelan formal tersebut beranjak dari duduk, melangkah menghampiri Jenita. "Sudah mau pulang?" Suaranya meski pelan rupanya mampu membuat Elang yang sejak tadi terpejam, membuka matanya.

Jenita menatap lelaki di hadapannya, ia mengangguk lemah. "Saya akan ke hotel." Bersiap meninggalkan ruang perawatan Saiful.

"Kalau begitu, mari saya antar."

"Biar saya sama supir," tolak Jenita.

"Pak Rohim sudah kembali ke kantor," beritahu Sebastian, menjelaskan keberadaan sang sopir yang bertugas mengantar jemput Jenita nantinya.

Di sisi lain, Elang hanya mengamati dua orang berlawanan jenis yang tengah berdebat ringan itu, disertai senyuman kecil, mendapati Jenita ternyata masih keras kepalanya seperti dulu.

"Diana ... bangun, Sayang." Elang mengusap lembut pipi wanita yang sejak tadi tertidur dalam pelukannya. Tindakan tersebut tak luput dari tatapan Jenita yang seketika membuat dada wanita itu kian teremas sakit.

Pemandangan memuakkan!

Wanita yang sering dipanggil Di itu membuka matanya perlahan, lalu menjauhkan tubuhnya dari Elang. Bola matanya melebar kala mendapati Jenita berada di sana. Belasan tahun tidak berjumpa dengan sang kakak, membuatnya terkejut akan sosok Jenita yang berdiri menatapnya dingin.

"Kak Jen!" serunya yang segera menghampiri Jenita. "Kakak apa kabar?" Diana memeluk Jenita, mengabaikan tatapan tak bersahabat dari wanita yang dipanggilnya kakak itu.

Jenita sendiri hanya berdiri kaku, masih menatap datar pada sosok di belakang wanita yang memeluknya. Tanpa berniat sedikit pun membalas pelukan itu.

"Lepaskan tanganmu dari tubuh saya, Diana!" ucap Jenita tajam, pada akhirnya.

Diana menurut, dengan kecewa ia melepaskan pelukannya pada tubuh sang kakak. "Kak."

"Bang Tian, bisa antar pulang saya sekarang?" Inginnya Jenita segera meninggalkan tempat tersebut.

Sebastian mengangguk sebagai jawaban. Mereka bersiap pergi, sebelum seruan Diana menahan langkah mereka.

"Kak tunggu, Kak." Diana meraih lengan Jenita. "Kak Jen, nanti ke jenguk papa lagi, kan?" tanyanya dengan wajah penuh harap.

Wanita itu hanya menatap datar pada Diana. Matanya menelisik penampilan adik yang tak diakuinya itu dari ujung kepala hingga kaki. Hatinya tersenyum mengejek melihat penampilan sang adik yang tak secantik dulu. Wajah yang dulunya putih bersih kini berubah banyak ditumbuhi jerawat. Badan yang dulu langsing, sekarang melebar.

Oh, Jenita bahagia mendapati perempuan perebut lelakinya berubah menjadi si buruk rupa.

Tanpa mengindahkan Diana yang masih menatapnya penuh harap, Jenita melangkahkan kaki meninggalkan Diana yang hanya mampu meringis menahan kecewa. Juga Elang yang hanya mampu membuang napas gusar. Ada andil atas sikap lelaki itu di masa lalu yang membentuk sikap dingin Jenita.

Noda Masa Lalu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang