Sebastian Nugraha sedang membicarakan kondisi Saiful Hirawan dengan salah seorang dokter yang menangani atasannya tersebut, saat rungunya menangkap suara perdebatan kecil dari luar kamar perawatan Saiful. Menunggu hingga Dokter menyelesaikan pemeriksaannya, Tian keluar dari sana berbarengan dengan sang dokter, juga salah seorang perawat.
Begitu pintu terkuak, manik hitamnya menangkap sosok Jenita dan Elang tengah saling menghunuskan tatapan tajam.
Tian berdeham cukup kencang bermaksud untuk mengalihkan perhatian dua orang tersebut. Elang menoleh dan tersenyum tipis pada Tian. Sementara Jenita tetap pada titik fokusnya, menatap tajam pada Elang. Tak terpengaruh dengan hadirnya sosok Tian, maupun dokter juga suster yang akhirnya meninggalkan tempat tersebut.
"Mas Elang, tidak ke kantor?" tanya Tian yang cukup terkejut sebenarnya melihat sosok Elang berada di sana. Biasanya lelaki itu akan mengunjungi Saiful sepulang dari kantor.
"Nanti, agak siangan, Bang."
Jenita memilih menyingkir. Wanita itu memasuki ruang perawatan sang papa, yang masih disambut dengan keheningan. Ia lantas menelungkupkan wajahnya di tepi ranjang Saiful. Hatinya terlalu lemah jika harus dihadapkan dengan orang-orang dari masa lalunya. Katakanlah Jenita berlebihan, tetapi memang rasa pedihnya masih begitu mengoyak hati.
Terlebih saat ia harus berhadapan dengan sosok Elang. Lelaki dengan tampilan menawan yang sudah mengisi hatinya sejak ia masih duduk di bangku SMP.
Jenita akan kalah.
Sekuat apa pun dia meyakinkan diri, jika ia membenci lelaki itu, nyatanya ... kali ini tangisnya mengalir tanpa bisa ditahan lagi. Ia merasa menjadi perempuan paling bodoh di muka bumi ini. Karena faktanya, perasaan cinta itu masih bertengger di posisi atas hatinya, meski hanya secuil.
Bodoh. Bodoh.
Tian mendengar isakan pilu yang menyesakkan hati dari ruang perawatan Saiful. Sudah lama ia tidak mendengar secara langsung suara tangis Jenita. Langkah kakinya tertahan untuk memasuki ruangan tersebut karena tidak ingin mengusik Jenita menumpahkan kepedihan wanita itu.
.
.
."Maaf Pa. Jenita membuat tempat tidur Papa basah," kata Jenita pelan usai mengakhiri tangisnya sekian lama. Netranya memandang sendu pada wajah lelaki paruh baya yang masih memejamkan matanya begitu rapat.
Sejujurnya, ia sendiri masih menyimpan kebencian pada lelaki di depannya saat ini. Sayatan demi sayatan yang ditorehkan lelaki yang terbaring tak berdaya itu terlalu banyak. Terlalu menyakitkan jika dijabarkan satu per satu. Karena bukan hanya dirinya yang tersakiti. Anita—sang mama pun turut mendapat kesakitan itu, bahkan hingga akhir hayatnya. Tujuh belas tahun silam.
Jenita tersenyum getir. Sakit di dadanya begitu menghantam jiwa. Tidak mudah menjadi dirinya, setelah meninggalkan kediaman sang papa belasan tahun lalu. Ia berjuang seorang diri. Berjuang menghidupi diri sendiri, karena tidak ingin merepotkan paman dan bibinya dari pihak sang mama. Juga berjuang melawan rasa sakit yang tak berkesudahan hingga kini.
"Papa ... kalau saja Papa tidak pernah mengkhianati, Mama ...." Jenita tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Bayangan tentang pertengkaran kedua orang tuanya melintas jelas. Teriakan sang papa. Tangisan, raungan sang mama, yang bersujud kala memohon pada papanya untuk meninggalkan "perempuan" itu, terpahat jelas di ingatan Jenita.
Netra Jenita kembali memanas. Tenggorokannya serasa tercekik karena berusaha meredam gelombang tangis yang siap menerjangnya kembali.
Jangan menangis lagi, Jenita. Sudah cukup, kamu meratapi nasib selama dua belas tahun ini. Sudah cukup. Kamu harus kuat. Agar saat Papa terbangun, dia akan melihatmu baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noda Masa Lalu (TAMAT)
General FictionJenita tak akan bisa mengerti mengapa sang papa yang begitu dihormati dan ia sayangi, tega berkhianat pada sang mama. Lalu ketenangan di rumahnya perlahan memudar. Berganti tangis pilu dari sang mama. Dan pertikaian kedua orang tuanya. Waktu berjal...