Seorang pemuda menggigit bibir bawahnya dengan gugup, sementara gerah melingkupi sekujur tubuhnya. Suhu atmosfer di luar memang panas, mencapai tiga puluh derajat lebih panasnya, matahari sedang berkuasa penuh di singgasananya. Tetapi, bukan suhu yang membuatnya tak nyaman, ruangan tempat ia berada tidak setinggi suhu di luar karena sudah direndahkan dengan bantuan pendingin ruangan. Rasa gerah itu timbul karena pandangan orang-orang yang tertuju padanya.
Pemuda itu berharap dalam hati agar menghilang saja kala itu karena menjadi pusat perhatian dengan rupanya yang sebenarnya tidak begitu menarik perhatian. Lihat saja tubuhnya, tingginya tidak mencolok, 168 cm bahkan kelewat pendek di usianya yang mencapai ronde akhir pada kepala dua. Rambutnya hitam kelam, dipotong pendek dengan gaya biasa, bukan gaya ala punk atau bintang rock terkenal. Wajah dan mata kelamnya pun standar seperti kalangan orang Asia lainnya, sama sekali tidak ada yang stand out dan patut menjadi pusat perhatian, bahkan meski dia adalah murid baru di suatu sekolah.
"Kenalkan dirimu," ujar seseorang dengan seragam biru dongker di sebelah pemuda itu.
Pemuda itu mengeratkan pelukannya tergadap buntalan di gendongannya, gugup sedikit ia rasakan. Sejenak, waktu berjalan dengan tatapan semua orang tertuju pada pemuda itu tanpa ada suara perkenalan apa pun yang ditunggu-tunggu. Setelah memantapkan hatinya, barulah pemuda itu membuka mulut.
"Namaku Moriuchi Takahiro, 28 tahun," ujarnya dengan suara yang tidak disangka akan keluar dari bibir seorang pria--ringan dan tinggi, tapi lantang dan berani, "dan ini..." ia menunduk, "anakku, Moriuchi Hikari, umurnya tiga bulan pada akhir bulan ini."
Setelah perkenalan itu usai dan tampaknya Takahiro tidak akan membuka mulutnya untuk sementara ini, bisikkan yang mendengung langsung mengudara dengan bebas di ruangan itu, seperti kerumunan lebah yang gemas karena rumahnya dihancurkan. Beberapa terang-terangan mengejeknya, dan beberapa pandangan masih diarahkan pada Takahiro, seolah ia adalah hewan langka yang hanya tinggal satu-satunya di dunia.
"Hei," sahut seseorang di ujung ruangan, tinggi Takahiro yang pendek membuatnya tidak dapat melihat rupa orang yang menyahut itu, "apa ada peraturan baru tentang membawa bayi ke sini?"
"Sejak awal tidak ada yang menyebutkan tidak boleh," jawab si lelaki berseragam biru dongker itu, "hanya tak lazim."
Dengusan geli terdengar di berbagai sudut. Takahiro menggertakkan giginya dalam diam, ia sedang menggendong anaknya, ia tidak boleh naik pitam.
"Seperti perempuan saja," celetuk lelaki di ujung yang lain, disusul gelak tawa dari beberapa temannya, "atau jangan-jangan memang kau yang melahirkan?"
Gelak tawa itu semakin menjadi menimpali ejekan lelaki itu. Wajah Takahiro sudah merah padam karena memendam amarah.
"Sudah-sudah, lanjutkan olahraganya," lerai orang berseragam itu, menyuruh mereka menyebar karena sesi perkenalan telah usai. Lelaki itu lalu mendekatkan kepalanya ke telinga Taka, berbisik dengan nada merendahkan, "Kau sudah diperingati, tidak ada perlakuan spesial, tanggung sendiri akibatnya."
Taka mendengus mendengarnya, umpatan yang sudah terpatri di langit-langit mulutnya ia telan kembali karena ia tidak mau Hikari mendengar kata kasar. Ketika lelaki itu pergi meninggalkan ruangan olahraga, Taka menyapu seluruh sudut ruangan dengan mata arangnya, beberapa orang masih menaruh perhatian padanya, sementara yang lain sudah melakukan aktivitas mereka masing-masing. Setelah menemukan sudut yang terbilang sepi dan cocok, Taka melangkahkan kakinya menuju sudut itu, pelan dan berhati-hati karena seragam kelabu kebesarannya bisa menyandungnya kapan saja.
Taka mendudukkan Hikari di pangkuannya setelah ia sendiri sudah duduk bersila beralaskan lantai beton. Amarahnya yang sudah naik hingga ubun-ubun langsung surut begitu matanya beradu pandang dengan mata bulat cokelat terang milik Hikari yang polos.
"Maaf, Hikari," keluh Taka pelan, "aku harus membawamu ke sini."
Ocehan tak jelas dari bocah lugu itu membalasnya, membuat Taka mengulas senyum tipis. Amarahnya baru saja hendak mereda, namun...
"Lihat siapa yang akan menyusui!"
Amarah itu gagal hilang sepenuhnya. Seruan mengejek entah dari mana yang disusul gelak tawa membuat wajahnya kembali berkedut kesal. Ia bisa saja menulikan telinganya barang sejenak, namun matanya lebih dulu menatap seorang lelaki yang melangkah mendekatinya membuatnya menajamkan semua inderanya tanpa terkecuali. Wajah lelaki yang mendekatinya itu sangar, bekas luka melintang dari pelipis kiri hingga mendekati pangkal hidung bagian kiri. Melihat rambu tanda bahaya, Taka segera berdiri, berjaga-jaga jika lelaki menyeramkan itu mengincarnya--dan sepertinya memang mengincarnya.
Tidak mau mengambil risiko, Taka segera mengambil satu langkah ke samping, namun sayang, kedua lengan kekar itu sudah memerangkapnya, memojokkan Taka seperti singa yang memojokkan mangsanya.
Taka mengeratkan pelukannya pada Hikari, rahangnya mengeras bersiap dengan segala kemungkinan, sementara matanya awas menatap seperti elang. Lelaki di depannya menyeringai melihat reaksi Taka, dengan suara berat, ia pun berbicara,
"Selamat datang di neraka, otou-san, jangan kira dengan memiliki bayi kami akan memberi pengecualian. Aturan rimba tetap berlaku berlaku, selamat menikmati masamu di penjara."
Lelaki itu berbalik setelah menyudahi kalimatnya. Saat itu, Taka tersadar, hidupnya di penjara akan jauh lebih sulit dari dugaannya dengan semua mata para tahanan yang menatapnya lapar.
--To be Continue--
Hai haii~~ jadii, cerita yang plotnya tiba-tiba terlintas di kepala ini dibuat sebagai selingan belajar, author sedang uas (doakan ya 😂) dan jujur aja uas itu stressing banget. Awan gelap kayak udah ngepul aja di langit kamer. Jadi kubutuh pelampiasan, dan brojol-lah ff ini.
Lastly, tbh, main plotnya blm jelas, mungkin ff ini bakal dihapus ditengah atau ga dihapus, tp ga dilanjut. As I said, ini cuman buat pelampiasan karena otak cape mikir pelajaran terus, heheh...
Hope you'll enjoy it!
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck On The Edge [DISCONTINUED]
FanfictionKetika kondisi mengharuskan Taka harus membawa seorang bayi bersamanya ke sebuah penjara...