Suatu malam di pinggir reruntuhan bangunan Indra, Doni, Nesi, dan Seia berkumpul. Ditengah rintik gerimis dan ditemani kopi hangat mereka mengenang apa yang telah mereka alami selama dua minggu mereka di Lombok. Ada banyak suka dan duka, canda, tawa, luka, dan deraian air mata. Ada tawa di setiap air mata. Ada air mata di setiap tawa. Mereka tak menyangka kalau mereka masih bisa bersama-sama hingga akhir. Mereka merasa semakin memiliki ikatan. Meski sempat ada selisih paham di awal pertemuan, nyatanya mereka bisa membangun kesatuan demi Indonesia. Menjalankan tugas kemanusiaan di tengah ‘kekacauan’.
“Aku telah diberikan titah untuk menjadi seorang dokter. Aku sudah berjanji untuk mempertaruhkan hidupku untuk menyelamatkan umat manusia. Kesehatan dan kehidupan pasienku adalah prioritasku. Aku akan melaksanakan tugas dan menyelamatkan pasienku tanpa memandang ras, agama, atau kebangsaan.” - Indra Cornelius.
“Bagiku, menolong sesama itu tugas semua orang. Meski mungkin kehadiranku di sana tidak banyak membawa dampak, tapi setidaknya aku memiliki niat yang tulus. Membantu orang lain tidak perlu menunggu kaya atau hebat dahulu, tapi adanya niat dan kemauan.” - Doni
“Sejak awal aku ingin bisa mengobati sedikit luka batin dan trauma mereka. Ingin mereka merasakan kehidupan normal kembali. Kejadian ini membuatku sadar, betapa masih banyak orang yang memiliki hati nurani dan tak sedikit pula yang tak memiliki rasa kemanusiaan. Meski terluka, meski pertolonganku, dan mungkin yang lainnya belum ada apa-apanya, tapi ini membuktikan bahwa kita bisa jika kita bersama.”- Nesia Putri Mariani“Menjadi jurnalis bukan hanya butuh kemampuan menulis saja. Lebih jauh dari itu, semangat serta mental juga diperlukan. Bahkan, harus rela jauh dari keluarga. Menyita waktu seakan jam itu tak berlaku. Perasaan was-was saat kerja belum tuntas akan terus ada, karena ada taruhan ‘nyawa’ dalam setiap peristiwa. Aku di sini untuk kita semua.” – Seia Islamadina
Genap tiga minggu mereka berada dalam kemelut bencana. Meski bahagia karena akhirnya harus kembali ke kampung halaman, tapi ada perasaan sedih karena harus meninggalkan mereka yang sudah seperti sebuah keluarga. Dalam hati mereka berjanji, akan selalu mencintai negeri dan segera kembali.
***
Surat terbuka untuk pembaca :
“Indra adalah seorang dokter beragama Kristen bersuku Medan. Doni adalah guru beragama Buddha bersuku Jawa dan Bangka. Nesi Hindu seorang trauma healer bersuku Bali dan Kalimantan. Sedangkan Seia, jurnalis bermental baja beragama Islam bersuku Jawa dan tinggal di Lampung. Kami berbeda ya. Tapi kami dalam satu atap yang sama di Bumi Pertiwi. Bagi kami perbedaan agama, ras, suku, atau apapun itu bukanlah masalah. Kita tak bisa memaksakan orang lain untuk menyukai atau memiliki suatu hal yang sama kan? Untuk satu tujuan kebaikan, bagi kami ini bukan lagi rentang kisah tentang perbedaan keyakinan dan sudut pandang. Namun, bagaimana cara memanusiakan manusia. Stop mengutuk kegelapan, jadilah penerang. Menjadi lentera yang memberikan sedikit cahaya bagi yang membutuhkan itu lebih baik, daripada banyak berkoar tentang teori tenaga pembangkit listrik yang tak ada habisnya namun tak pernah ada aksi nyata.” – INDONESIA (INdra, DOni, NEsi, SeIA)
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA : "Daripada Mengutuk Kegelapan, Jadilah Penerang"
Short StorySebuah cerita pendek tentang kisah klasik keberagaman yang dibalut dengan perjuangan, derai air mata, dan gelak tawa. Empat pemuda Indonesia dengan latar belakang profesi, suku, ras, dan agama yang berbeda, bersatu dalam sebuah misi kemanusiaan di t...