Part 2 - Daripada Mengutuk Kegelapan, Jadilah Penerang

5 1 0
                                    

Hari itu….
“Gempa bumi dengan magnitudo 7,0 SR mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat pada Minggu 19 Agustus 2018 pukul 21.56 WIB. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan, gempa berpusat di 30 kilometer timur laut Lombok Timur dengan kedalaman 10 kilometer. Wartawan STV yang saat ini berada di Lombok melaporkan, guncangan akibat gempa terasa sangat kuat di sekitar Mataram, Lombok Timur. Aliran listrik padam. Sehari ini sudah ada empat gempa dirasakan. Sebelumnya, gempa susulan dengan kekuatan 6,5 SR mengguncang Lombok pada Minggu pagi pukul 11.06 WIB. Gempa Minggu pagi menyebabkan korban jiwa dan kerusakan…” terdengar jelas reporter menyampaikan kabar duka melalui media kepada masyarakat. Kabar yang tak cukup sehari untuk disampaikan. Bahkan besok, besok, sampai besoknya kabar yang sama, oh tidak! Bahkan lebih parah dan dahsyat terdengar dan terlihat semakin jelas.

Tagar-tagar menyayat hati dan menggugah nurani berserakan di akun media sosial. Sejumlah aktivis dan lembaga turut menyebarkan rasa kepedulian untuk membuat sebuah gerakan bantuan. Namun, yang memilukan adalah tagar isu politik menyelinap di antara ribuan tagar kesedihan. Miris, keagamaan pun ikut disangkutpautkan. Mengatakan sebuah bencana sebagai pengalihan isu belaka. Mengindikasikan bencana sebagai penilaian terhadap kepatuhan terhadap Tuhan-Nya.
“Oh Tuhan, ada apa dengan orang-orang di negeri ini?” batin Doni. 
“Sungguh, masih banyak ternyata orang-orang tidak beradab dan tidak punya hati di Indonesiaku ini ya. Tingginya jabatan dan pendidikan memang tidak menjamin seseorang punya etika yang baik,” kata Nesi menggerutu.
“Sudah jadi Tuhan-Tuhan media sosial pasti mereka ini,” kata Seia pada temannya.
Di tempat yang tentunya berbeda Indra, Doni, Nesi, dan Seia merasakan adanya kegetiran dan kepahitan yang sama hari demi hari. Pohon luka seolah tumbuh semakin subur dalam dada. Bunga duka cita membias di mata berkaca. Dalam hati, hanya ada satu tekad kuat yang kini terpatri. Mengulurkan tangan untuk Bumi Pertiwi. “Daripada mengutuk kegelapan, jadilah penerang!” Hati nurani mulai berbisik, keresahan mulai mengusik, fikiran mulai tergelitik untuk menghidupkan lentera dalam sebuah titik yang dinamakan patriotik.

“Inilah waktunya…” kata mereka dalam hati masing-masing dengan keyakinan mencapai level 100 atau mungkin 1000, 10000, 100000, ah pokoknya level teringgi yang mereka miliki. Persiapan pun dilakukan mereka masing-masing. Bekerjasama dengan aktivis-aktivis kemanusiaan baik yang ada di Lampung sebagai kampung halaman mereka, atau yang ada di Lombok. Keikhlasan dan kemanusiaan, itulah bekal yang mereka bawa.

***

Lombok…
Saat ini suasana di Lombok gelap. Cahaya bulan yang sebelumnya menerangi wilayah itu kini tertutup awan. Bukan kebetulan, tentu Tuhan yang sudah merencanakan. Mereka dipertemukan dalam satu camp yang sama. Mereka berempat dan beberapa aktivis lainnya akan diberangkatkan dan diperbantukan untuk sebuah desa pedalaman yang sulit menerima  bantuan karena akses yang jauh dan sulit di tempuh. Meski awalnya merasa tak nyaman dan banyak merasakan perbedaan cara berfikir, namun mereka bisa lebih saling mengenal satu sama lain lewat pertengkaran-pertengkaran kecil untuk sebuah kebaikan. Di sinilah mereka membangun bangunan bernama persatuan.

Indra sibuk dengan alat-alat kedokterannya. Memberikan vitamin, menyuntikkan cairan, memberikan obat-obatan kepada warga. Memastikan bahwa semua mendapat penanganan medis terbaik yang bisa ia berikan. Meski kadang hatinya pun teriris saat menyaksikan puluhan nyawa meregang tak tertolong akibat runtuhan bangunan dan sulitnya proses evakuasi hingga keterlambatan pertolongan medis.

Seia, yang selalu setia menyampaikan setiap kabar kepada masyarakat dunia. Melaporkan setiap kejadian, duka maupun suka. Nesi, dengan semangatnya memastikan setiap perasaan takut dan trauma warga, khususnya anak-anak berangsur-angsur mereda. Rasanya, terapi dongeng dakocan yang ia berikan bisa menjadi hiburan di tempat pengungsian yang mulai terasa sesak. Doni, meski ia pun terkadang terlihat bingung dengan apa yang ia kerjakan, ia memiliki keyakinan bahwa anak-anak tetap harus mendapatkan pendidikan. Pun sebagai pelipur lara untuk sejenak melupakan kejadian memilukan.

Tak terasa sudah seminggu mereka menjadi tenaga sukarelawan. Memulai kisah persahabatan di tengah kemelut bencana. Hembusan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang kala raja siang mulai terbenam sudah tak mereka hiraukan. Jam makan yang kerap terganggu akibat panggilan korban pun sudah menjadi hal yang tak diherankan. Getaran halus hingga dahsyat sudah menjadi makanan. Reruntuhan bangunan yang berserakan, korban yang berjatuhan sudah menjadi pemandangan yang ‘biasa’ sekarang. Air mata acap kali mengalir dari pelupuk mata-mata para pejuang kemanusiaan itu.

“Gimana bisa ya orang-orang di luar sana masih ada yang enggan jangankan untuk berjabat, mengulurkan tangan pun segan? Tapi dengan sukarela menghujat. Gimana bisa mereka masih berdebat tentang pemerintahan, sedangkan di sini darurat bantuan? Meskipun gak semuanya begitu sih,” kata Nesi pada Seia yang satu tenda penginapan. “Entahlah. Semoga semuanya segera berakhir,” jawab Seia lalu memejamkan mata dan diikuti oleh Nesi yang juga merasa lelah.

***

LENTERA : "Daripada Mengutuk Kegelapan, Jadilah Penerang"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang