melafalkan puisi di dekat telingamu

203 40 2
                                    








bila mana samudra biru mulai melepas.
datangnya sang surya ikut terhempas.
tiap lara yang tak perlu,
teradu hingga jadi pilu.

pada retak yang berceceran,
sisa mendung menjelma luapan,
dan hadirmu seolah memerdekakan.
secara luar biasa becus membidikku,
mana terasa hingga serat-serat kalbu,
turut takjub pada sisa kemilau yang dititip padamu.

HUJAN TIDAK DI BULAN DESEMBER

"kenapa kamu selalu membius aku dengan segala macam sajak?"

"pernah dengar kata orang yang bilang ketika mulut dibungkam biar sastra yang berbicara?"

"jadi kamu masih khawatir dengan perkataan orang-orang?"

sejak mengenal tanpa sengaja di tengah kota yang ramai, jaemin terharu pada tindakan mark yang siap melakukan apapun demi membahagiakannya.

berjuang membangun kembali kepercayaan jaemin yang telah menjadi puing-puing, ikut terjatuh pula, terluka saat memungut sisa remahan yang rusak serta teguh dalam memulihkannya.

di hadapan jaemin, mark menjelma jadi sosok tangguh yang berkata semua baik-baik saja.

ketika jaemin meluluh, ketika itu pula mereka saling berbagi bahagia dan luka walau jaemin yang lebih dominan dalam memperlihatkan soal rasa sebab mark sama sekali tidak menunjukkan letihnya sedetik pun sedangkan jaemin selalu menumpahkan segalanya pada mark.

jaemin tahu, pahamnya mark bukan hanya sebatas kata penenang.
kata jaemin, mark mampu menelan mentah semua duri pada dirinya.
kalau kata mark, jaemin mampu membenamkan segala penat yang tak terbendung.

"enggak kok, soalnya menurut aku puisi itu bahasa rasa."

"coba aku baca ulang," mark merenggut paksa kertas apik dari tangan jaemin. "pasti kamu sadarkan kalau ini sebongkah larik yang kuat, tapi ternyata aku menemukan harta karun ya?" senyuman mark kian merekah kala melirik jaemin.

"jaemin, aku mau bertanya, boleh?"

"boleh saja. tapi aku punya kehendak untuk enggak menjawab."

"kan dalam berkarya segala hal memang bebas tapi apa aku boleh tahu kenapa mengambil judul seperti itu? kamu jelas tahu bila desember itu bulan hujan."

"oh itu, aku hanya ingin membuktikan ternyata ada yang lebih tabah dari hujan di bulan juni dari puisi milik si pujangga."








"apa?"



"kak mark."








desember memang bulan milik hujan. dingin desember pun memang menyayat. namun ketabahan mark mampu melepas luka, bukan dengan renggutan paksa tapi dengan selimuti raga menyentuh lara hingga memecahkan nestapa dan rela tidak dibayar, kala itu jaemin sempat kehilangan kata dengan segala kehangatannya.



"jaemin janji mau sama aku terus?"

ish, pertanyaan gemas!

"janji!"

"bisa bertahan?"

"bisa kak mark."




"err, ini. aku juga membuat sepenggal larik untukmu." mark menyerahkan satu lembar kertas kusut dengan ringan seolah itu hanya sebuah coretan biasa.

ketika jaemin menelaah hasil karya mark, mark hanya memperhatikannya walau tidak bisa di bandingkan dengan sajak-sajak jaemin tapi mark cukup puas.

jaemin lekas menatap mark yang lebih dulu melekatkan pandangannya pada yang lebih muda. ini terlalu gamblang begitu pula terlihat betapa keras upaya mark agar puitis walau gagal ajaibnya sanggup membuat napas jaemin terengah setelah membacanya.

"dalam sastra semuanya bisa bebas dan gila, meski enggak berjudul, lariknya tetap mahal."








kupastikan mengakhiri sungai air mata itu.
kupastikan senyum di balik kata bahagiamu.
janganlah disemayamkan walau teramat pilu.
biarlah aku yang mewaliki murkamu.

kamu yang disetubuhi luka,
aku yang jadi nutrisi jiwa.
soal memastaskan rasa,
biarkan aku yang jadi pengisi jiwa.

dengarkan kenangan saat hujan turun,
rasakan sampai mampu melepas,
ikhlaskan yang telah lama jadi siksa,
larutkan semua perasaan yang jahat.

gelap cahaya telah merindukan sinar suryanya,
dan rindu itu menuaikan perih.











"jadi harus dengan apa aku membayar lunas rindu?"



"kemari, sambutlah rangkulku."

selesai.

editor's note :
jadi begini ya ketika
dua sastrawan berkencan?
meremang benar aku ketika
mengevaluasi cerita ini.

vi. melt the coldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang