Orang tua Jaemin berbicara tentang tanggal.
Orang tua Mark membahas perihal lokasi.
Mereka sepakat untuk sebuah keputusan yang baik Jaemin maupun Mark tidak tahu untuk apa itu.
Jaemin menatapnya, Mark mengedikkan bahu.
Salju di luar perlahan turun, menampar jendela dengan titik-titik air yang indah, udara mendingin namun asap dari perapian menghangatkan semua orang.
Pemuda yang lebih muda beringsut pelan, merapatkan diri pada tubuh Mark yang besar, kedua tangannya melingkari pinggang pemuda itu, mencari kenyamanan yang selalu dia dapatkan dari tubuh itu.
"Ini menyedihkan."
Mark mengangguk. "Tidak romantis sama sekali."
"Lagipula kau bukan tipe romantis, Mark."
"Oh ayolah." Bola mata pemuda Lee berotasi malas. "Kita bisa merancang yang jauh lebih baik dari ini."
"Apa? Bagaimana?"
Mark tidak menjawab, fokusnya teralih pada tirai jendela yang melambai dibawa angin. Di luar sana, hujan salju semakin menderas.
"Aku akan menemuimu nanti malam."
Pemuda itu beranjak, membuat Jaemin terpaksa melepas dekapannya.
Orang tua Mark tersenyum kecil yang ia balas dengan anggukan sopan, ibunya beranjak ke dapur, memanaskan sup sisa tadi siang.
"Kau mencintai Mark, kan?" Ayahnya bertanya, sembari memasukkan potongan ranting ke perapian.
Jaemin tidak menjawab, sibuk membuka koran tadi pagi di atas meja.
***
"Jadi, apa rencanamu?"
Mark mengetuk jendela dengan kasar saat ia baru saja membuka novel kiriman Jaehyun—kakaknya—kemarin. Pemuda itu melompati jendela, duduk bersila di atas ranjangnya yang empuk.
"Kita bisa pergi."
Alis Jaemin mengerut. "Itu bukan rencana yang baik."
"Tidak ... tidak," potongnya frustrasi, "bukan pergi seperti kawin lari. Tapi, pergi. Uh, bagaimana aku menjelaskannya?"
Jaemin menggeleng, tidak tahu.
"Kau mau menikah denganku?"
"Ya." Jaemin menjawab tanpa pikir panjang.
"Aku juga," timpal Mark cepat, "tapi, tidak sekarang. Kau mengerti?"
"Uhm."
Jaemin sangat tahu itu. Tapi, kedua orang tua mereka lebih keras dari batu.
"Jadi, kita bisa pergi, ke Seattle? Aku ingin melanjutkan sekolahku di Washington, kau bisa mengajar anak-anak di sekitar. Tak apa?"
"Sejujurnya tak apa." Jaemin memulai. "Aku rasa, aku juga belum terlalu siap menikah. Aku memang mengenalmu dan ingin menghabiskan hidup bersamamu. Tapi, kurasa aku masih butuh waktu untuk diriku sendiri."
Senyum Mark semakin lebar, buru-buru ia melempar selimut, berdiri di depan Jaemin yang bersedekap di sisi jendela.
"Oke oke, aku bahagia sekarang. Jadi?"
Jaemin mendorong bahu Mark yang terlalu dekat, hembusan napas lelaki itu bahkan menggelitik wajahnya. Mata bulatnya terlalu hidup, membuat Jaemin kehilangan kata-kata.
"Baiklah. Kapan?"
"Pukul tiga subuh. Aku akan menginap di sini."
Segera ia melompat ke kasur, menepuk sisi kanan dan meminta Jaemin bergabung.
"Ini akan jadi petualangan paling menyenangkan. Selamat malam, Jaemin."
"Mmm, malam Mark."
Sejujurnya, Jaemin sangsi. Tapi, kelembutan bibir Mark masih tersisa di atas bibirnya, membuat ia tidak bisa berpikir panjang.
***
"Apa kau siap?"
Jaemin yang baru saja menutup pintu mobil mengangguk ragu. "Ya?"
"Oh, ayolah Jaemin. Tidak ada waktu untuk mundur."
Mesin mobil dinyalakan, cahaya lampu membuat halaman terlihat lebih jelas. Sepanjang mata memandang, hanya ada putih di mana-mana. Jaemin menggigit bibir saat Mark membelokkan mobil ke jalan raya, tangannya menyentuh sisa salju yang sempat membasahi rambutnya tadi.
Ia menoleh ke belakang, ada dua koper yang berdiri di bagasi, perlahan, pintu rumahnya dan Mark semakin mengecil, lalu hilang saat mobil mereka berbelok di tikungan jalan.
Tubuhnya kembali tegak, menatap penyeka kaca yang naik turun, Mark menggenggam tangannya erat, lalu tersenyum, meyakinkan bahwa mereka akan baik-baik saja.
"Kau menyesal?"
Tidak.
Jaemin ingin menjawab itu. Namun, lidahnya kelu.
Sepanjang malam ia terjaga, menatap Mark yang terlelap di sampingnya. Benaknya bekerja ekstra keras, memikirkan banyak hal hingga akhirnya ia tiba pada satu kesimpulan; ia memang ingin menikah—dengan Mark tentu saja. Tapi, tidak sekarang.
Kalau dipikir-pikir lagi, hidupnya memang selalu tentang lelaki itu. Bahkan, ia sudah bisa menebak di masa depan nanti, mereka akan seperti apa.
Sebuah rumah sederhana di Eastlake Eve, dekat dengan kampus tempat Mark mengajar—ia yakin Mark akan berusaha mewujudkan mimpinya jadi dosen. Dengan halaman kecil yang ditanami tumbuhan obat dan balkon yang menghadap Danau Union. Mereka akan berpelukan di sana saat senja menyingsing di langit barat, menikmati secangkir kopi sembari bercerita tentang hari itu.
"Jaemin?"
Jaemin mengerjap, kembali pada kenyataan di mana Mark sedang menepikan mobil dan menatapnya dalam-dalam.
"Aku tidak menyesal Mark," bisiknya lembut, mengelus sisi wajah pemuda itu yang khawatir, "aku tidak apa-apa."
Yah, Jaemin memang tidak menyesal tidak akan pernah menyesal.
Karena lima tahun setelahnya, mereka berdiri di bawah mistletoe saat pesta natal yang diadakan kampus. Mark menarik pinggangnya merapat, mengecup bibirnya lembut seraya berbisik, "ayo menikah."
Masih tidak romantis, tapi jauh lebih baik daripada pesta yang dirancang orang tua, kan?
***
'Kami akan menikah, Bu. Itu pasti. Tapi tidak sekarang. Tunggu. Bersabarlah. Biarkan kami mengejar mimpi, belajar bersama, menantang hidup bersama. Kami akan kembali.'
—Jaemin. []
KAMU SEDANG MEMBACA
vi. melt the cold
Fanfictionit's not so cold as people think, it might be cold outside but who knows about the inside? however you still should be careful with the cold. ◌⑅● ━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━ a compilation of stories about anything cold, that make you feel freezed by readin...