Prolog

15 3 0
                                    

*****

Halo semua, kenalkan, namaku Zoya Alodie

Berakar dari bahasa Yunani, Zoya mengandung arti mencintai, peduli, dan kehidupan, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Kendati demikian, jika dirangkul dengan nama belakangku maka akan menjadi 'Anak perempuan yang kelak akan hidup makmur'.

Di rumah, sekolah, dan dimana pun, mereka memanggilku Zoya. Jarang sekali ada yang memanggilku dengan nama Alodie. Terkadang teman sekolah memanggilku Zoe. Aku tidak mempermasalahkannya. Hanya saja dalam situasi khusus seseorang akan memanggilku dengan nama lengkap dan seseorang itu adalah Ibuku.

"ZOYA ALODIE... cepat bersihkan kamar tidurmu!"

"ZOYA ALODIE... sampai kapan kau akan tidur-tiduran terus di kasurmu memangnya aku babumu?"

Dengan intonasi nyaring penuh penekanan. Oleh karena itu, aku tidak berani melawannya. "Kau ya.. jangan sekali-kali berani melawanku atau aku tak kan memberimu uang saku." Turuti kataku!!". Ih ngeri. Kalian pasti juga akan menciut jika jaminannya ialah uang saku.

Rumahku terletak di perkampungan sangat jauh dari pusat kota, sehingga jika ingin ke mall, kebun binatang, dan tempat wisata lainnya harus menempuh jarak yang jauh. Hal ini tak pernah ku sesali. Disini asri dan sejuk, dikelilingi pepohonan dengan dahan yang panjang seakan-akan ingin menyentuh netramu. Persis dibelakangnya, gemercik air sungai begitu beningnya bagaikan zamrud khatulistiwa.

Aku dan keluargaku tinggal bersama nenek, ibu dari ibuku. Kata ibu, setelah menikah ia memilih tinggal bersama orang tuanya karena takut jika tidak ada yang merawat di usia senja mereka. Bapak pun menyetujuinya.

Suami dari nenek kupanggil 'Engkong'. Saat ini ia tengah berkelana di rumah Tuhan. Tak kan pernah kembali. Kehadirannya tak kan nampak kembali. Merindukannya dengan tangis ialah dalih agar aku bisa merasakan kehadirannya meski itu tak kan pernah mungkin.

Mengulas balik tindakan kasih sayang yang ia pancarkan pada hati kecilku. Mengajak keliling kampung menggunakan vespa jadul. Bunyi nyaring knalpotnya bagaikan lantunan yang khas di gendang telingaku. "Treng teng teng teng teng," begitulah bunyi knalpotnya.
Sayang sekali aku tak pernah ingat dengan suara engkong. Jika saja dulu aku mengenal kamera digital, aku mungkin akan mengabadikan keseharianku bersama engkong.

Engkong tak pernah marah padaku. Membiarkan gadis kecil berusia tiga tahun melakukan segala hal yang membuatnya penasaran. Aku sangat suka air, hingga suatu hari aku memasuki bak kolam kamar mandi dan menjelajahi setiap sudut kamar mandi tanpa sepengetahuannya. Namun, ia tidak marah. Tersenyum memandangku yang tengah berkreasi pada buih-buih sabun yang ku tuangkan.

Aku mencintainya, sungguh. Saat bersamanya, aku merasa dunia penuh dengan keajaiban. Hatiku berdebar, mataku berseri, jiwa kecilku ringan, pikiranku riang. Ia adalah cinta pertamaku. Ya, benar, disaat semua Ayah merupakan cinta pertama untuk anak perempuannya, cinta pertamaku ialah kakek.

Ia memanjakanku bagai putri kecilnya. Menggantikan sosok orang tua yang sibuk bekerja pulang sore dan malam hingga tak ada waktu untuk putri kecilnya.

Hal itu tak pernah lagi kurasakan menjelang taman kanak-kanak. Sejak saat itu aku merasa ada yang berbeda.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Little Journey Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang