Kegoyahan itu bukan hanya terasa dalam hatinya, tetapi juga tampak dari raut wajahnya. Pak Riki, ayahnya, yang juga bekerja sebagai admin project di perusahaan itu, tak bisa tinggal diam lagi.
"Lo kenapa sih?"
"Nggak apa-apa. Mikirin Mama aja. Mama gimana kondisinya Pah?" tanya Killie, setengah perhatiannya masih terfokus pada layout desain di laptopnya.
"Masih demam sih tadi."
"Si Bibi (ART) masih nyimpen obat ga?"
"Ada. Udah lo santai aja."
"Iya. Habis ini gue langsung pulang aja deh, jagain Mama."
"Mau Ayah anter? Ayah belum bisa pulang, soalnya masih nunggu kabar dari materialnya yang di Cempaka Putih, udah dateng apa belum."
"Nggak usah nggak apa-apa. Aku naik Grab aja."
Killie sadar ia baru saja bersandiwara, walau hanya dengan kata-kata. Ia sudah tahu kondisi ibunya sudah cukup membaik pagi tadi sebelum ia hendak berangkat ke kantor. Jika tidak, ia memilih tidak masuk saja hari ini demi menjaga ibunya.
Ini bukan tentang ibunya yang kesepian di rumah, tetapi dirinya. Jiwanya yang kesepian di kantor itu. Sepi yang repetitif beberapa hari ini. Meja yang terus kosong di depannya. Ariel yang hampir tak pernah dilihatnya.
Arsitek baru itu memang dikabarkan Pak Yo lebih banyak di proyek untuk mengejar progres pekerjaan struktur yang harus selesai bulan Desember ini. Dan gilanya lagi, ia sekarang ditugaskan bersama Dendi, desain interior lain di perusahaan itu, anak Pak Bos.
"Halo Killie."
Killie tergelak. "Ya, gimana Den?" sahutnya dengan pandangan masih terfokus di depan laptop ketika Dendi menghampirinya.
"Lo lagi ngapain?"
"Ini. Masih kelarin tugas dari si Bos buat desain office space PT PAR."
Ujaran 'si Bos' dari Killie baru saja mencubit hati Dendi. Ia tahu 'si Bos' itu adalah ayahnya sendiri.
"Lo ngapain sih, gue nggak enak kalau dilihatin. Mending lo bantu Ariel di TPI dulu sana," ucap Killie ketus.
Dendi pun berlalu dengan wajah tertekuk. Ia sudah sering melakukannya, dan sepertinya ia harus mencobanya lagi lain waktu. Siapapun bisa membacanya di kantor.
"Ehem."
Terdengar dari ruang sebelah, Pak Reva terbatuk cukup keras. Dendi makin tersindir.
*
Kil, nanti hangout yuk. Ada yang perlu gue omongin sama lo.
Killie menuruti ajakan Angel itu. Dia juga yang menentukan tempatnya: 'Cerita Senja'. Hanya tempat itu yang berhubungan dengan subjek kabut pikirannya sekarang: Ariel.
"Gimana Angel, lo mau ngomongin apaan sama gue?" tanya Killie malas.
"Lo kok kelihatan jutek gitu? Kalo soal kerjaan dari si Bos santai aja kale, rendering desain gue juga belum kelar," komentar Angel.
"Ya bukan itu sih," tangkisnya datar.
"Arsitek baru itu ya, siapa namanya, Ariel?"
Killie langsung terkesiap.
Angel tertawa.
"Kenapa?" Killie sedikit salah tingkah.
"Lo kira orang-orang kantor nggak bisa lihat? Reaksi lo yang tiba-tiba sibuk sendiri "mendekor" meja untuk Arsitek baru itu waktu pertama masuk? Pake alasan beres-beres kantor lagi," Angel cekikikan.
"Nggak nyambung lo. Katanya ada yang mau diomongin, kok malah bahas si Ariel?"
"Emang mau ngomongin soal dia, tauk."
Killie tercengat, tetapi berusaha mengendalikan dirinya.
"Emang kenapa, lo naksir sama dia?"
Angel sontak terkekeh.
"Kasihan lo kale kalau gue ikutan naksir sama Arsitek ganteng itu di kantor," sentil Angel.
"Ah, bisa aja lo. Aneh. Emang kenapa sama si Ariel?"
"Denger-denger dari Pak Reva, dia lagi pusing banget handel project TPI. Kata Pak Reva, itu si Dendi yang handel project bareng dia bisanya nyuruh-nyuruh doang katanya."
"Ah, si Dendi mah udah kelihatan. Buktinya kemarin dia handel yang Ruko Cirebon aja salah terus," gerutu Killie.
"Tuh pemiliknya yang TPI juga rewel mulu, ngejar-ngejar cepat selesai, nggak sabar pengin pindah. Gue aja yang masih ngerjain desainnya waktu itu udah dikejar biar cepat selesai. Anjir bener," cerocos Angel.
"Gue juga kaget aja si Ariel baru masuk langsung disuruh handel TPI yang susah itu," desis Killie.
"Kil," panggil Angel dengan nada dalam.
Killie menatap Angel penuh perhatian.
"Dia kayaknya lagi susah bener deh. Kemarin gue lihat mukanya di ruang printing, agak kacau gitu."
"Terus?" sahut Killie. Mencoba menyembunyikan gentar dalam suaranya.
"Lo mungkin, gimana ya," Angel seketika berhenti, dan menoleh keluar jendela ketika gemuruh petir terdengar.
Hujan deras menghunjam seisi kota.
"Gimana?" Killie masih menunggu. Ia tak mampu menyembunyikan raut wajah cemasnya.
"Kayaknya lo harus backup dia deh. Si bos Pak Anto sama dia terakhir agak ribut bla bla bla..."
Setelahnya Killie sudah hampir tak mampu mendengarkan Angel lagi. Raut wajah sendunya justru sekarang terpaku pada rinau hujan yang semakin deras. Seiring hatinya yang turun hujan. Menggantikan air matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arsitek Dua Minggu
Short StoryKillie adalah desain interior muda. Pekerjaan sekaligus passion. Namun, 2 minggu dari 2 tahun pengabdiannya di sebuah konsultan mengobrak-abrik fokusnya. Bagaimana si cantik keturunan Chinese ini yang terbiasa memperhatikan detil dari setiap perspek...