Nyusahin

91 15 5
                                    

Mungkin takkan terbayang di benak kalian, orang yang kurus, jarang berolahraga, nolep, dan jarang keluar rumah, mendaki sebuah gunung yang tinggi seperti gunung Cikuray.

Tapi kalian mesti membayangkannya sekarang. Mengapa? Karena orang itu akan melakukannya demi seseorang yang dia sukai. Hanya itu. Alasan sederhana, namun dapat membuat mata kian terpana. Orang itu ialah aku : Gaza.

Semua dimulai dengan ajakan teman sekolahku.

"Gaz, ikut muncak gunung Cikuray yuk." Ajak Jerry, temanku.

"Iya, hayu atuh. Daripada liburan di rumah." Dan temanku yang lain, Febri, juga mengamini ajakan Jerry padaku.

"Hadeh, lo semua emang mau ngehina gue atau gimana sih? Kan kalian sendiri tau kondisi badan gue. Rapuh. Kayak lagunya Opick," balasku.

"Yakin gamau ikut?" Jerry, entah ada angin apa, tiba-tiba memperlihatkan mimik wajah yang menggoda. Membuatku penasaran tentunya.

"Lah emang ada apa?" tanyaku penasaran.

"Ada neng Erika lah.. Hahaha, " jawab Febri, temanku yang lain.

Erika adalah gebetanku. Bisa dibilang begitu. Namun aku belum pernah menyatakan perasaanku padanya. Mengapa? Tentu aku takut, takut di tolak lebih tepatnya. Memberinya kode saja tak berani, toh aku bukan anak pramuka. Tapi, jujur saja, keikut sertaannya di pendakian gunung saat ini membuat jiwa nolep-ku bergejolak.

"Hadeh, yodahlah, gue ikut. Tapi, kalian jangan macem-macem," ucapku datar. Padahal dalam hatiku, aku sungguh bersemangat, dan tentu akan menunjukkan pada Erika bahwa aku tak selemah itu.

                                               • • •

Gunung selalu menjadi sahabat bagi orang yang menghargainya. Gunung akan memberikan orang itu seluruh perhiasan yang ada pada dirinya. Warna hijau seakan terlukis begitu saja di dataran sekitar gunung ini. Udara begitu segar dan sejuk. Terlalu lama berdiam diri di kota membuatku lupa akan udara sejuk seperti ini.

Namun, paru-paruku sepertinya sudah hampir mencapai batasnya. Aku kelelahan. Bahkan aku tak bisa menunjukkan apapun pada Erika. Dia bahkan lebih kuat dariku. Diantara kami berempat, mungkin dialah orang yang mempunyai ketahanan tubuh yang begitu mumpuni.

Walaupun begitu, aku menikmatinya. Kami berbincang-bincang –walaupun hanya sepatah dua patah kata. Keberadaan Jerry dan Febri membuat suasana menjadi cair dan tak canggung.

Kami sudah setengah perjalanan, beberapa pos sudah terlewati. Walaupun dadaku mulai sesak, sepertinya aku masih ku–

Deg.

Argh. Sakit, ini sangat menyakitkan. Dadaku serasa dihimpit oleh gunung yang besar dan menjulang tinggi. Sepertinya aku akan pingsan. Mataku setengah terpejam. Remang-remang. Namun aku dapat melihat teman-temanku yang panik dan kini menghampiriku.

                                               • • •

"Biarin, gue aja yang nemenin dia di tenda sini. Kalian nyari air dulu aja sana di luar, air kita tinggal dikit lagi."  Sayup-sayup terdengar suara Erika yang khas –imut.

"Oh, yaudah. Kita keluar dulu ya Ri. Awas jangan aneh-aneh, awokwokwok."  Juga suara Jerry, yang kini malah menggoda Erika.

Ketika mereka pergi, mataku perlahan terbuka. Pernapasanku sudah membaik. Namun, ketika aku menengok ke sebelah kanan, jantungku malah berdebar dengan sangat cepat. Hampir copot rasanya.

Ada Erika di sampingku.

"Ri, nga.. ngapain lo disini?" tanyaku gugup.

"Keliatannya lagi ngapain? Balapan?" Erika malah balik bertanya dengan intonasi bercanda. Dia memang tipikal gadis yang ceria.

"Hahaha, enggak, maksudnya, kenapa gak ikut keluar sama yang lain buat nyari air?"

"Kalo gue ikut keluar, yang nungguin lo siapa? Jerry? Emangnya lo homo atau gimana sih? Biasanya kan cowok pengen ditemenin ma cewek." dia malah makin bercanda.

"Kagak lah, ya ampun, masa gue homo sih Ri?"

"Canda, hhe." Sekarang dia malah nyengir-nyengir tak jelas –tapi cute sih.

Aku merasa bersalah pada Erika. Ini seharusnya menjadi perjalanan yang menyenangkan, bukan merepotkan, ataupun menyusahkan. Aku canggung. Tapi, aku harus meminta maaf padanya. Harus.

"Ri," ucapku.

"Hm?" balasnya.

"Gue, gue minta maaf ya."

"Karena dah nyusahin gue buat nemenin lo disini?" Erika sudah menebaknya.

"Iya."

"Iya, lo emang nyusahin gue, beneran." aku tak menyangka kalimat itu yang akan dilontarkannya.

"Maaf...." aku menundukkan pandanganku, aku merasa sangat bersalah kali ini. Semua ekspetasi indahku berubah menjadi segudang bencana yang menghampiri pikiran dan hatiku.

"Lah,gak usah kayak gitu juga kali, emangnya lo tau, lo nyusahin kenapa?" dan, muncul pertanyaan aneh lainnya.

"Ya..karena lo harus nungguin gue disini dan perjalanan lo jadi repot gegara gue?"

Erika terkekeh mendengar pertanyaanku sekaligus pernyataanku.

"Bukan lah, ya elah. Suudzon mulu kau ya."

"Ya terus kenapa?"

"Mau tau?" Dia tersenyum padaku. Kini dia menekukkan lututnya dan membuatnya menjadi sandaran kepalanya. Namun yang membuatku menjadi salah tingkah ialah, dia benar-benar menatapku.

"I.. Iya, kasih tau." Aku sudah benar-benar penasaran sekarang.

"Lo selalu nyusahin gue 2 tahun terakhir. Ngebuat gue gelisah, gugup, gak nyaman, berpura-pura jadi orang lain. Pura-pura kalo gue cuek ama lo, dan yang paling penting, lo bikin gue susah ngendaliin perasaan gue ke lo."

"Maksudnya?" Apa ini? Aku benar-benar tak paham.
Jangan-jangan...

"Hahaha, iya, seperti yang lo pikirin. Gue suka sama lo."

:)

PARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang