(Cin)tai Dia

82 12 6
                                    

Pantai selalu menjadi indah bagi orang yang jarang melihatnya. Seperti halnya aku. Desir angin lembut melewati anak rambut juga telingaku, debur ombak di pagi hari tak lupa membuat hatiku kian damai. Aku datang pagi-pagi, sepi. Aku sengaja melakukannya agar tak ada yang menggangguku untuk berenang di lautan yang tenang.

Aku melepas alas kakiku, menginjak pasir pantai yang lembut, berjalan perlahan ke arah lautan. Kakiku disambut ombak pantai yang tenang, rasanya geli. Aku terus berjalan sampai air laut sudah setinggi perutku. Aku mulai berenang, tanganku mengayuh satu-persatu, kakiku bergerak ke atas dan kebawah secara bergantian. Lautan seakan menyatu dengan tubuhku sampai-sampai aku tak sadar bahwa aku sudah berada jauh dari pesisir pantai.

Aku panik.

Kakiku bergerak tak beraturan, yang mengakibatkan keseimbanganku hilang. Aku perlahan tenggelam, nafasku hampir habis, tapi aku melihat sesosok pria dan lengannya yang ingin menggapaiku.

Tapi, kesadaranku sudah habis. Aku pingsan.

"Mbak, mbak," ucap seorang pria padaku sembari menepuk-nepukkan telapak tangannya ke pipiku.

Mataku perlahan terbuka, pandanganku masih kabur. Namun perlahan aku dapat melihat dengan jelas pria yang berada di atas tubuhku.

"Mbak gak apa-apa? Ngapain berenang sampe ke tengah laut gitu?" ujar pria itu dengan intonasi yang sedikit marah juga panik.

Aku masih mengatur nafas perlahan. Dia memberiku air minum. Kini aku memperhatikan dengan saksama, tubuhnya sangat bagus, terlihat seperti atlet renang profesional, rambutnya panjang diikat, ada janggut tipis di dagunya, dan yang terpenting ialah...

Wajahnya tampan, sangat mempesona.

Aku terkesima–tentu saja. Kapan lagi menemukan pria seperti ini, tapi, dia siapa?

"Tadi mas kenapa nyelametin saya?" tanyaku.

"Saya penjaga pantai disini, dan emang suka kesini pagi-pagi. Tapi baru liat ada orang yang berani berenang ke tengah laut gak pake pelampung, saya liatin aja terus sambil ikut berenang ke sana pake pelampung, takutnya mbak tenggelam. Eh taunya bener tenggelam," ujar pria itu sembari terkekeh.

"Hehehe. Maaf ya mas, repotin, kirain enggak sedalem itu."

"Saya juga minta maaf," ucap pria itu dengan gugup

"Lah, kenapa emangnya?" tanyaku penasaran

"Saya ngasih mbak nafas buatan tadi." Aku reflek menutup mulutku dengan kedua tanganku, dan kini wajahku pasti sudah seperti kepiting rebus.

"Maaf, darurat, sebagai gantinya, saya bakalan nemenin mbak selama liburan disini. Kemana aja, kecuali ke penginapan sama kamar mandi pastinya." Ia menggaruk punduk lehernya yang tak gatal.

"Hadeh, yaudah, saya terima minta maafnya, kebetulan juga saya butuh tour guide selama 2 minggu saya libur disini. Ngomong-ngomong, nama mas siapa?"

"Oh iya lupa, nama saya Adit, mbaknya siapa?" tanya Mas Adit–aku akan memanggilnya begitu.

"Tarisa," jawabku.

"Dit, siapa dia?" Seorang wanita cantik berambut pirang kebule-bulean tiba-tiba bertanya pada Mas Adit.

"Dia pengunjung pantai. Lagi liburan, biasa," jawab Mas Adit dengan santai.

"Siapa dia mas?" tanyaku sambil berbisik.

"Kessie, penjaga pantai juga, teman saya," jawabnya sambil berbisik juga.

"Dia bule?" tanyaku lagi.

"Bukan, tapi ibunya orang luar." Pantas saja parasnya cantik-cantik bule.

Hari-hari berikutnya, ia menepati janjinya. Dia menjadi tour guide-ku selama hampir dua minggu. Dia mengajakku jalan-jalan, memakai uangnya–mobilnya. Aku seperti tanggung jawab baginya. Bahkan, perhatiannya benar-benar tertuju padaku, kecuali saat dia bertugas di pantai. Dia bekerja, aku istirahat. Ia juga sering mengirim chat padaku seakan-akan aku adalah pacarnya atau semacamnya. Dia menyenangkan, aku menyukainya.

Bahkan, mungkin aku mencintainya.

Tapi aku tak berani mengutarakan perasaanku. Walaupun dia tampaknya menyukaiku juga, tapi tetap saja aku tak berani. Sampai pada dua hari sebelum aku pulang dari liburanku, ia mengatakan hal yang sangat-sangat mengejutkanku.

Dia mengajakku untuk ke pantai di malam hari. Maka dengan ditemani desir angin, debur ombak, juga pasir nan lembut, kami berdua bertemu. Dia menyuruhku duduk di pasir. Tak masalah, kotor sedikit di bagian bokong karena pasir tak pernah menjadi masalah besar, apalagi kini aku disuruh olehnya, tentu aku mau.

Keadaan sedikit canggung, aku tak tahu apa yang akan ia katakan. Tapi, sebelum aku menanyakan hal itu, ia membuka mulut terlebih dahulu.

"Mbak tari," ucapnya tiba-tiba

"Ya mas?"

"Ada yang mau saya omongin sama mbak."

"Apa?" tanyaku penasaran.

"Sebenarnya.."

"Apa?" potongku. Jantungku berdebar kencang, inikah perasaan saat ada orang yang mau ditembak oleh perasaan?

"Saya mau nikah besok, sebelum pulang, mbak bisa datang?" Dia bertanya dengan senyuman di wajahnya, senyum bahagia tentunya.

Kalian tahu bagaimana perasaanku? Dadaku bahkan terasa lebih sesak dibandingkan saat hampir tenggelam dua minggu lalu. Rasanya aku ingin teriak, dan menangis.

"O.. Oh, maaf mas, engga bisa, saya mau pergi lebih awal kayaknya, ada urusan. Emangnya, mas nikah sama siapa?" tanyaku gugup.

"Kessie, kita udah lama pacaran, pengen ngelanjutin ke jenjang yang lebih tinggi, hehehe," jawabnya santai.

"Syukurlah," ucapku sambil pura-pura tersenyum. Aku tak sadar air mataku menetes dengan sendirinya.

"Mbak, lho kok nangis??" tanyanya panik.

"E.. Eh, engga kok, saya terharu aja hehehe."

Terharu tai asem ah.

PARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang