Tukang Parkir

58 12 3
                                    

"Halo guys." No no no, udah kayak youtuber sekarang aja aku. Kita normal aja ya intronya. Ok, namaku Glenn. Mungkin namaku memang mirip seorang penyanyi terkenal di Indonesia, tapi kalau suaraku, jangan berharap, deh. Orang-orang bernama keren sepertiku biasanya akan dijadikan tokoh utama sebagai cerita. Tapi kali ini tidak demikian. Aku lebih condong menjadi seseorang yang akan bercerita. Jadi, ini bukan tentangku. Tapi tentang temanku. Bukan tukang parkir kok, tenang aja.

Cerita kali ini berlatar pada masa—yang katanya–paling berwarna sepanjang hidup manusia. Masa SMA.

Aku memiliki seorang teman bernama Indra. Nama yang biasa sebagai tokoh utama di cerita ini. Namun, paras wajahnya bertolakbelakang dengan namanya. Dia tampan, kece, cool, dan bisa dibilang, pintar. Namun, dia memiliki sebuah kekurangan–Aku sendiri tak tahu apakah ini sebuah kekurangan. Dia tidak ahli berhubungan dengan seorang wanita. Mengapa aku bisa mengatakan hal itu? Tentu saja. Dia selalu saja gonta-ganti pacar. Hubungannya selalu saja hancur lebur, dan ia tak tahu apa penyebabnya. Sekarang saja dia sudah akan menembak seorang wanita cantik yang ada di kelas kami.

Zahra namanya. Dia adalah primadona kelas kami–aku tak ragu saat mengatakannya.

"Zahra, lu mau gak jadi pacar gue?" Kalimat berat seperti itu dapat Indra lontarkan dengan ringan di depan kami semua.

"Ma–Maksud lu apa?" Zahra tersipu malu. Akan kupersingkat bagaimana keadaan wajah cantiknya saat ini. Dia nge-blushing.

"Gue, pengen lu jadi pacar gue."

"Sekarang juga?" tanya Zahra dengan kebingungan.

"Iya dong sayang, masa tahun depan sih," jawab Indra. Masih dengan intonasi yang sangat santai.

"Udah gila, belum jadi pacarnya aja udah dipanggil sayang," bisik orang-orang di sekitarku.

"Gimana? Mau gak?" tanya Indra lagi.

"Gu–gue gak bisa jawab disini," jawab Zahra dengan nada lembut. Sangat lembut. Aku jadi kasihan padanya.

"Ya udah, dm aja gue ya," ujar Indra sembari melangkah keluar kelas sembari melambaikan tangan.

Ajaibnya, bel pulang pun ikut berbunyi. Aneh, padahal ini bukan film Disney Princess.

• • •

Keesokan harinya, Zahra menerima lamaran Indra. Hari pertama dilalui mereka dengan perlakuan romantis satu sama lain. Aku yang jomblo tentu iri melihat mereka berdua. Tapi, apalah dayaku yang hanya menjadi pencerita.

Mereka selalu berdua kemana-mana, bahkan sampai ke kantin. Mereka saling suap-menyuap. Sialan.

"Zahra, aaaa," ucap Indra sembari memasukkan sesuap nasi kuning ke mulut Zahra. Menjijikkan.

Mereka berdua sampai pulang sekolah. Tidak-tidak, aku keliru. Zahra pun pulang dibonceng oleh Indra. Oi oi, aku saja tak pernah dibonceng oleh dia. Padahal aku teman dekatnya–mungkin.

• • •

Sesampainya aku di rumah. Aku langsung terbang menuju kasur. Rebahan. Sembari berpikir,

"Kenapa Indra bisa mudah sekali putus dengan seorang wanita, padahal kulihat hubungannya sangat romantis."

Sebagai temannya, aku ingin bertanya bagaimana hubungannya sekarang lewat telepon. Tapi, sebelum ku menyentuh layar handphone-ku, suara nada deringnya sudah terdengar terlebih dahulu.

PARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang