[Kang Bimo]
"Kang Bimooo ...."
Alarm waspada kunyalakan. Firasatku kurang enak ketika mendengar suara merdu putri Abah Kiai, yang terdengar dari mikrofon masjid samping asrama santri putra. Setelah kejadian ini, bisa kupastikan pengurus bagian keamanan santri akan mendapat teguran keras. Ya, mereka yang membiarkan Ning masuk masjid di luar jadwal waktu salat, pasti akan diinterogasi oleh presiden pesantren, seperti aparat penegak hukum yang kecolongan.
Akan lebih parah jika Abah yang menginterogasi, karena bisa dipastikan memakan waktu lama. Akhirnya, para pengurus keamanan yang diamankan itu, menjadi tertinggal banyak bab kajian kitab kuning, sehingga mengakibatkan mereka harus menambal maknani. Hasilnya? Ya ditakzir, donk.
"Kagem Kang Bimo, kulo aturaken enggal wonten ndalem, penting!" ( Kepada Kang Bimo, saya minta secepatnya ke rumah, penting!)
Panggilan putri Abah dengan bahasa Jawa, kembali menyadarkanku akan pentingnya kecepatan berlari. Spontan kuambil kopiah, lalu tergopoh keluar dari benteng persembunyian. Dalam benak, aku bertanya-tanya, misi apa lagi ... kali ini?
***
Nama lahirku Bima Wirayudha. Sejak pertama menjadi santri di sini, putri semata wayang Abah Kiai sering memanggilku dengan sebutan Kang Bimo, sehingga seluruh santri menjadi akrab menyapaku dengan panggilan tersebut.
Aku tergolong santri tertua di Pesantren Nurul Huda ini. Banyak yang salah paham, mengira aku paling pintar, atau mendapat mandat untuk menjadi presiden pesantren. Padahal sejujurnya, aku mantan preman terminal yang beruntung dapat diterima oleh Abah Kiai menjadi santri. Kemudian, terpilih menjadi Abdi Ndalem yang bertugas menemani ke mana pun putri kecilnya pergi.
Berdasarkan cerita dari Abdi Ndalem sebelumku, Umi dan Abah Kiai sangat selektif memilih santri pengabdian, apalagi untuk mengurus keluarganya. Aku terpilih, mungkin karena sejak pertama menginjakkan kaki di pesantren ini, putri Abah yang memiliki panggilan indah bernama Ning Tengil adalah orang pertama yang menggenggam tanganku, di saat semua orang takut.
Saat pertama datang mengutarakan keinginan untuk belajar agama, Ning Tengil yang kala itu masih sangat kecil, menghampiri dan menggenggam erat jemariku. Genggamannya seperti mengisyaratkan bahwa ia menerimaku dengan tangan terbuka. Hal itu rupanya membuat Abah dan beberapa santri terheran, berbeda dengan Umi yang tampak biasa saja.
Suatu ketika, pria berwajah teduh dengan kulit sawo matang yang nampak terawat, serta pembawaan penuh berwibawa, yang tidak lain adalah pengasuh pesantren tempatku bermukim ini, mengajakku berbicara. Seraya tersenyum, beliau berkata dan berpesan, "Maryam tipe anak yang sulit didekati, tapi ndak tahu kenapa dia justru mendekatimu. Perasaan anak kecil sangat peka. Mungkin dalam benaknya, kau adalah orang baik. Jadi, berusahalah menjadi lebih baik, dan teruslah berbuat baik. Tolong bantu jaga Maryam, ya, Kang Bimo."
***
Berbicara tentang Ning Tengil, selama aku mengasuhnya. Hah, tolong biarkan aku bernapas sejenak.
Ok! Ning, panggilan yang biasanya disematkan untuk seorang putri Kiai, rata-rata memiliki pembawaan yang anteng dan kalem. Meski mungkin tidak semuanya, tapi hampir 90% persis seperti yang kusebutkan. Karena pendidikan akhlak mereka ditempa, bahkan sejak sebelum kelahirannya direncanakan.
Sebagai abdi ndalem, aku tergolong orang yang beruntung, karena sering menemani Abah Kiai menemui tamu. Yang mana, kebanyakan tamunya adalah para Kiai. Tujuan utama menemani Abah, sudah pasti untuk menjaga Ning-ku. Sebab, seluruh kawasan pelosok pesantren ini sudah seperti wahana bermain miliknya seorang. Selain itu, aku juga selalu berusaha untuk ada kapanpun Abah Kiai membutuhkan bantuan.
Selama aku mendampingi pengasuh pesantren, banyak dari tamu yang membawa serta putrinya. Kurang lebih lima tahun aku mengabdi di sini, kuperhatikan belum ada satu pun putri Kiai, yang persi seperti Ning-ku itu. Para nawaning lain meski masih kecil sudah cenderung terlihat anggun, memiliki kepribadian menyenangkan, walaupun kebanyakan dari mereka sedikit manja dan apa-apa Mbak. Sangat berbeda dengan Ning Tengil yang acuh tak acuh.
Biar kuhitung dulu. Jika persentase jumlah "Ning yang normal" keseluruhan ada 90%, maka Ning-ku masuk dalam kategori 10% pengecualiannya. Bahkan jika dihitung secara keseluruhan, anak sepertinya hanya ada Nol Koma Sekian Persen, alias langka.
Saat berkunjung ke pesantren ini, kakakku pernah mengatakan bahwa penampilan dan sorot mata Ning berbanding terbalik dengan wajahnya yang imut, serta menyenangkan jika dilihat. Gadis ompong itu memiliki pembawaan yang manly. Mata jernihnya memancarkan tatapan menusuk, serta raut wajah yang terkesan dingin. Banyak dari putra-putri tamu Abah yang melihat Ning Tengi yang terlihat ketakutan, bahkan ada yang pertama melihat langsung menangis. Selain itu, ia juga memiliki kebiasaan yang semrawut, dan hobi yang sedikit ... aneh?
Ah, bukan! Aku tidak cukup berani mengatakan ia anak yang aneh. Bisa-bisa, ilmu yang diajarkan oleh Umi dan Abah menjadi tidak barokah. Katakanlah hobi Ning sangat unik.
Siapa pula yang bisa menyangka? Di balik wajahnya yang imut tapi misterius itu, menyimpan sejuta ide antik yang—maaf kata—seringkali merepotkan. Meski tidak seluruhnya, tapi aku terbilang sangat paham karakter, kebiasaan, dan juga kesenangannya. Entah mesti bagaimana aku menggambarkan gadis mungil ompong yang membuat seluruh santri di sini kuwalahan karena ide-idenya yang ajaib, atau sulit ditebak itu.
Ning tengil, begitulah ia ingin dipanggil. Artinya, itu bukan julukan atau sebutan dari satu pun santri di sini. Mana ada yang berani memberi julukan seperti itu kepada putri Kiai? Tidak ada yang berani, kecuali jika ia tidak waras. Ning tengil, adalah cita-cita keramat yang mungkin hanya dimiliki oleh putri Kiai-ku saja. Tolong dicatat, cita-cita keramat! Tidak butuh waktu lama untuk mencapai cita-cita itu, karena ia memang kerap kali mewujudkannya.
***
Catatan :
Takzir : Di pesantren, takzir sangat populer diartikan sebagai hukuman.
Abdi Ndalem : Orang yang bertugas membantu pekerjaan apa pun di kediaman pengasuh pesantren, atau dewan Ustaz. Biasanya Abdi Ndalem ada lebih dari satu, dan memiliki tugas masing-masing, ada yang memasak, bersih-bersih rumah, sopir, dll)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ning Tengil
General FictionNing, panggilan yang biasanya disematkan pada sosok putri Kiai, rata-rata memiliki pembawaan yang tenang, dan kalem. Meski mungkin tidak semuanya, tapi hampir 90% yang diamati Kang Bimo memang demikian. Menurut hasil pengamatan Kang Bimo-abdi ndalem...