8

70.4K 4.6K 179
                                    


SEBUAH mobil sedan mewah terparkir di halaman rumah berwarna putih gading bergaya eropa dengan pilar-pilar yang berdiri kokoh di masing-masing sudutnya, rumput hijau dengan berbagai tanaman bunga menghiasi halaman luas rumah tersebut, air mancur meliuk-liuk dengan indahnya di tengah halaman rumah. Aiden keluar dari mobilnya dan berjalan masuk menuju ke rumahnya memasang wajah tegas yang selalu ia perlihatkan pada semua orang—kecuali pada pasangannya, Abby—tapi kali ini ada yang berbeda dengan wajah tegas itu, kali ini penuh dengan ekspresi dan emosi. Wajah tegas yang biasanya datar kini menyiratkan bahagia, marah, terluka, bersalah seolah ingin melahap hidup-hidup setiap orang yang ditemuinya.

Ia melewati begitu saja setiap pelayan yang menyapa dirinya dan membungkukkan badan hormat padanya. Ia tidak menggubris salam hormat dari mereka, lebih tepatnya ia tidak mengaggap orang itu ada.

"Selamat pagi, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pria setengah baya mengenakan setelan jas khusus berwarna hitam dengan kemeja putih yang diperuntukkan untuk kepala pelayan di rumahnya. Pria tersebut sedikit membungkukkan badannya, matanya menatap lantai marmer, tidak pernah berani menatap wajah majikannya.

Aiden menghentikan langkahnya menatap kepala pelayan yang tidak pernah jengah melayaninya. "Siapkan beberapa setelan pakaian terbaikku, Eddie," perintah Aiden tetap dengan suara dingin dan angkuhnya.

"Baik, Tuan."

"Di mana yang lainnnya?"

"Mereka semua sedang berkumpul di ruang keluarga, kecuali Tuan Carlyle dan Nona Eliza yang masih berada di kamarnya," jawab pria yang di panggil Eddie penuh etika.

Aiden membuka pintu ruang keluarga dan mendapati orang tua dan saudara-saudaranya tengah berbincang satu sama lain sambil meminum teh hangat dan kue kering yang terhidang di atas meja di hadapan mereka, lalu sedetik kemudian tatapan anggota keluarganya tertuju padanya. Hanya padanya. Berbagai tatapan ia terima, tatapan kaget dari ayahnya, tatapan 'menunggu-jawaban' dari ibunya, tatapan bertanya dari Aubree, Alec dan Callisa, dan tatapan mengejek dari Amaris.

Mau tidak mau Aiden tidak mengacuhkan tatapan tersebut dan duduk di sofa single bergabung bersama mereka. Seorang pelayan perempuan dengan langkah kaki gemetar berjalan mendekati Aiden membawa nampan berisi gelas yang berisi teh jasmine dengan tangan pucatnya yang tidak mampu menyembunyikan gemetar tangannya. Dengan cekatan ia meletakkan secangkir teh di hadapan Aiden lalu undur diri, napas lega terdengar setelah beberapa meter ia menjauh dari majikannya.

"Aku tidak menyadari kedatanganmu. Sejak kapan kau berada di rumah?" tanya Arthur santai, untuk pertama kalinya Aiden bergabung dengan membawa suasana hangat.

"Aku baru sampai," jawabnya singkat.

"Ada apa denganmu? Biasanya kau datang dan membuat suhu sekitar menjadi seperti kutub utara dan sekarang kau datang dengan cara yang sedikit... tidak biasa. Apa kemampuan es-mu itu menghilang setelah kau terikat?" tanya Aubree heran, keningnya berkerut menganalisa.

Aiden mengedikkan bahu dan menyesap tehnya. "Entahlah. Emosiku sedang baik." Ia melirik Amaris yang sejak tadi menatapnya dengan seringaian di wajahnya. "Ada apa denganmu? Mengapa kau menatapku seperti itu?" tanya Aiden pada Amaris, matanya menatap tajam tidak suka.

"Aku hanya sedang menganalisa sikapmu. Kau berbeda beratus-ratus derajat," jawab Amaris tersenyum penuh makna.

Tiba-tiba suara gaduh terdengar dan muncul dari balik pintu seorang laki-laki dan perempuan remaja berambut pirang pasir—si kembar Carlyle dan Eliza—dan segera duduk di sofa.

"Selamat pagi," sapa Eliza dengan ceria. "Aiden, sejak kapan kau datang? Aku tidak menyadari kedatanganmu?" tanya Eliza heran, keningnya berkerut seperti Aubree yang menyadari perbedaan emosional Aiden.

THE LAST AMETHYSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang