22

47K 3.5K 94
                                    


Bulan purnama tampak menggantung sempurna di atas gelapnya malam, burung hantu terdengar bersiulan merdu, lembayung angin menerpa wajah Abby menerbangkan helai demi helai rambut cokelatnya, matanya menyipit menatap daun-daun yang bergoyang dengan gemulainya, tubuhnya tersandar pada batang pohon besar dan rimbun, sesekali ia membalikkan punggung tangannya menatap jam tangan yang menunjukkan pukul dua dini hari, dan suara ketukan ujung sepatu ketsnya mengiringi sunyinya malam hari.

"Aku minta maaf sedikit terlambat." Amaris datang dengan napas terengah-engah, kedua tangannya bertumpu pada kedua lututnya, sesekali ia mengusap keringat pada keningnya dengan punggung tangannya.

"Tidak apa dan ada apa denganmu?" tanya Abby mengerutkan keningnya samar.

"Aku berhasil memasukkan ramuan obat tidur untuk Aiden di cawan minumnya, tapi ada yang lebih gila, ternyata Aiden meningkatkan keamanan di istana berkali-kali lipat, aku harus memutar otak dan terpaksa melumpuhkan beberapa orang agar aku bisa keluar," jelas Amaris.

Tiga hari lalu Abby memutuskan untuk meminta izin pada Aiden untuk pergi ke wilayah Kerajaan Amethyst, tapi bukan izin yang di dapat justru murka Aiden-lah yang ia dapat. Dengan wajah yang menyiratkan kemarahan luar biasa dan nada suara yang meninggi ia mengatakan dengan ketegasan yang mutlak dan tidak bisa terbantahkan bahwa ia tidak diizinkan untuk ke wilayah Kerajaan Amethyst. Abby kala itu hanya bisa terdiam tidak ingin membantah dan memperkeruh suasana atau lebih tepatnya ia sudah memilih plan B untuk rencananya kali ini. Jangan panggil dirinya Abby jika ia tidak memiliki keras kepala yang kerasnya melebihi bebatuan terkeras sekalipun, Abby termasuk orang yang memiliki kemauan keras apapun caranya ia akan mendapatkannya.

Dan inilah plan B yang dimaksud oleh Abby, pergi ke wilayah Amethyst hanya berdua dengan Amaris tanpa ada penjagaan atau pengawalan ketat. Dan bisa Abby jamin bahwa keesokan harinya suara Aiden akan menggelegar seantero kastil istana saat mendapati dirinya hilang dari kastil.

"Ayo kita berangkat," ucap Amaris membuyarkan lamunan Abby.

Mereka berdua berjalan mengendap-endap merapat pada tembok gerbang istana yang menjulang tinggi. "Bagaimana kita melewati tembok ini? Ini sangat susah dipanjat dan pasti ada banyak penjaga di luar sana," bisik Abby tidak yakin.

"Terkadang aku sangat bersyukur memiliki adik pemberontak jam malam, dan pelawan peraturan, serta pembuat onar seperti Carlyle," jawab Amaris seraya terkekeh pelan.

Mata Abby menyipit. "Maksudmu?"

Langkah kaki mereka berdua semakin cepat, Amaris berada di depan Abby memberikan petunjuk jalan keluar dari istana hingga langkah kaki mereka terhenti di depan semak-semak yang cukup tebal dan tersembunyi di balik bebatuan. Kedua tangan Amaris menyingkap semak-semak tersebut dan matanya berbinar bangga saat melihat sebuah lempengan besi berbentuk lingkangan yang tertanam di tanah yang tertutupi oleh dedaunan kering yang gugur.

"Apa itu?" tanya Abby.

"Pintu rahasia milik Carlyle saat ia ingin kabur dari istana." Amaris terkekeh tanpa dosa pada Abby.

Mata Abby membelalak lebar tidak percaya apa yang dikatakan oleh Amaris. "Carlyle memberitahukannya padamu?"

Amaris berusaha menarik gagang dari lempengan besi tersebut dengan sekuat tenaga. "Tidak, Aiden yang memberitahukan padaku bahkan Carlyle masih menganggap bahwa tempat rahasianya ini tidak pernah ada yang tahu. Namun dia salah besar jika dia harus meremehkan kakaknya yang satu itu. Aiden sangat tahu betul tentang keamanan istana," jelas Amaris.

Abby mengedarkan pandangannya menyapu lingkungan sekitar berharap aksi mereka tidak cepat terpergok oleh siapa pun. "Kau mengatakan bahwa Aiden meningkatkan pengamanannya, bukan? Tapi kondisi sekitar sangat sepi, tidak ada tanda-tanda banyak pengawal di sini."

THE LAST AMETHYSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang