"Kok masih gelap?" gumam Nao sembari memandangi kediamannya.
Sore tadi Nao memang memutuskan pergi ke kantor sebentar untuk sekadar menyapa beberapa karyawan baru. Sementara suaminya beristirahat di rumah setelah sehari kemarin bergulat dengan beberapa pekerjaan. Namun, begitu kembali, rumah justru terlihat seperti tak berpenghuni. Sepi dan gelap.
Tangan perempuan itu bergerak mendorong pintu utama rumahnya yang ternyata juga tak terkunci. Mendadak Nao panik dan langsung melangkahkan kedua kakinya ke kamar mereka, takut jika sesuatu terjadi pada suaminya. Apalagi, Nao tahu kebiasaan Orion. Sesakit apa pun, Orion tidak pernah mengeluh.
"Ori!" Nao berteriak.
Karena sibuk melihat ke arah kamar, perempuan itu tidak memperhatikan pijakannya. Sesaat sebelum menyentuh anak tangga terakhir, Nao terpeleset. Beruntung ia sempat berpegangan tak sampai tergelincir ke bawah.
"Sshh ...," ringisnya seraya menyeret paksa kaki kanannya yang terasa sakit. Meski jarak sudah cukup dekat, tetapi dengan kondisi kaki seperti itu cukup membuatnya kesulitan.
Saat pintu kamarnya terbuka, meski hanya berbekal cahaya dari telepon genggamnya, Nao bisa melihat sosok Orion tidur di atas pembaringan. Nao bisa bernapas lega karena tidak harus menyaksikan Orion terkapar di lantai dengan mulut berlumur darah seperti tempo hari. Sebelah tangannya meraba-raba mencari saklar lampu, lantas menyalakannya.
Merasa terusik, Orion mengerjap, lalu membuka matanya perlahan. "Nao." Suaranya serak. Ia terkejut melihat Nao datang dengan napas terengah, pun mata memerah seperti hendak menangis. "Kamu kenapa?"
Tak terdengar jawaban. Nao malah menghambur memeluknya sembari menangis.
Orion mengeratkan peluk. "Kenapa, Sayang?"
"Aku ... takut. Rumah masih gelap, pintu juga enggak dikunci, padahal kamu ada di rumah. Aku takut ada apa-apa sama kamu kayak waktu itu."
Lelaki itu terkekeh. "Mulai lagi, deh. Udah aku bilang, kurangin baca cerita-cerita sedih. Itu cuma bikin kamu paranoid. Aku ketiduran, jadi lupa nyalain lampu. Kamu kan dengar sendiri waktu itu dokternya bilang kalau aku baik-baik aja."
Nao tahu Orion sedang berusaha menghibur agar Nao bisa menanggalkan kecemasannya. Perempuan itu belum berani mengangkat wajah, malah semakin dalam menenggelamkannya pada ceruk leher Orion. Tidak peduli lelaki itu terus tertawa mengejeknya.
"Sayang."
"Enggak mau."
"Kok cengeng sih sekarang?"
"Kalau aku cengeng kamu tetap sayang enggak?" tanya Nao dengan kepala sedikit mendongak menatap sang suami.
Sebuah ciuman manis di kening Nao bak jawaban atas pertanyaannya.
"Sekarang udah tahu? Masih harus tanya lagi sesayang apa aku sama kamu?"
Perempuan itu mengangguk. Ia tahu betul kalau ciuman di kening bermakna luar biasa. Lambang rasa hormat, sayang, tentang bagaimana lelaki meninggikan wanitanya, tanda tak ingin kehilangan, tetapi bisa pula sebagai salam perpisahan.
"Ori?"
"Hm?"
"Kamu enggak akan pergi, 'kan?"
"Pergi ke mana coba?"
Nao segera menggeleng, lalu kembali memeluk sang suami. Bersamaan dengan itu lengking teriakan seseorang terdengar.
"Abang, Kak Nao kok rumah masih ge-- ups!" Alfa langsung balik badan. "Maaf enggak tahu. Kirain enggak lagi peluk-pelukan."
KAMU SEDANG MEMBACA
ORINAMI 2 « Selesai »
RomanceSelma Naomi Amida tidak menyangka kalau biduk rumah tangganya yang baru menginjak tiga tahun akan dihantam badai besar. Sosok laki-laki yang begitu ia percaya nyatanya membuat hatinya patah berulang, memberi sakit tak berujung. Menghadapkannya pada...