"Na, kalau barang datang itu dilihat juga expired-nya. Kalau tanggal atau tahunnya dekat, kita retur aja. Sayang banget kemarin juga setengah lusin amoxicillin ds expired semua."
Yena manautkan alis mendengar penuturan perempuan berbadan tinggi besar yang kini hanya duduk manis di belakangnya. Kegiatannya mengecek obat dari PBF yang baru datang pun terhenti. "Kalau saya yang cek, pasti dilihat kok, Bu," sahutnya. Karyawan di apotek ini bukan hanya Yena. Ada Witri, Jingga, dan Hilman, tapi entah kenapa selalu Yena yang disalahkan jika ada apa-apa.
"Kata Witri kamu yang cek waktu itu."
Ah, Witri. Gadis itu memang selalu saja membuatnya dalam masalah. Namun, Yena sedang dalam kondisi tidak ingin bertengkar. Ia malas membuang tenaga hanya untuk meributkan sesuatu yang tidak penting. Mungkin lain kali, andai Witri bertindak semakin di luar batas, Yena akan memberi pelajaran.
"Maaf, Bu. Mungkin saya kurang teliti."
"Lain kali hati-hati. Emang kamu bisa ganti semua yang expired itu? Untung Pak Orion itu baik. Enggak pernah minta ganti sama karyawan kalau ada kerugian."
Kalimat itu bisa Yena dengar dengan jelas. Namun, malas menanggapi. Apotekernya adalah tipe orang yang semakin ditentang semakin garang. Jadi, Yena hanya mengiyakan semua tuduhan yang dialamatkan padanya, tanpa berani membantah.
"Jangan lupa. Akhir tahun kalian lembur, ya. Stock opname."
Perempuan itu menghela napas. Kalian siapa yang dimaksud kalau yang ada di dalam ruangan ini hanya Yena dan Bu Manda? Witri yang selalu merasa paling senior, nyaris tidak pernah mau ke depan melayani pembelian di OTC. Hanya duduk manis di ruang resep. Berarti secara tidak langsung Bu Manda memang memintanya stock opname sendiri.
Orion yang baru saja datang bisa mendengar kalau istri keduanya tengah diomeli, dan ia tidak bisa membiarkan itu. "Yena, ikut saya ke ruangan. Ada hal penting yang mau saya bicarakan."
Di dalam sana, Witri bersorak tanpa suara. Ia mengadukan banyak hal pada Orion tentang Yena melalui personal chat kemarin, jadi Witri yakin kalau hari ini Yena akan disembur habis-habisan.
Nyatanya, tak ada yang dimarahi seperti yang Witri bayangkan. Orion justru melingkarkan tangan, mengurung Yena dalam pelukannya. Yena langsung panik karena takut tiba-tiba ada orang yang masuk ke ruangan sang suami. Namun, Orion menggeleng, memberi kode bahwa tidak ada siapa pun yang berani mengganggunya.
"Kak, nanti orang lihat," ujarnya lirih.
Orion melepas pelukannya, mengambil ponsel dalam saku celana, lalu memperlihatkan pesan beruntun yang dikirim Witri.
Bibir perempuan itu mengerucut membaca pesan-pesan yang masuk. Nyaris semua berupa pengaduan untuk hal yang tidak ia lakukan. "Kakak percaya?"
Yang ditanya hanya menggeleng.
"Dia kenapa sih? Hobi banget kayaknya ngomporin orang. Barusan aku juga diomelin Bu Manda gara-gara dia."
"Apa kamu mau dia aku berhentikan?" Orion menyahuti.
"Jangan. Dia kerja buat keluarganya. Selama enggak keterlaluan, aku masih sanggup kok buat sabar."
Meski bertutur demikian, gadis itu masih saja misuh-misuh saat kembali membaca pengaduan Witri pada suaminya. Tentang Yena yang katanya sering bermalas-malasan, tidak bisa diajak kerja sama, dan ceroboh menghilangkan beberapa faktur. Padahal, Yena tidak seperti itu. Witri seperti tengah mengadukan kebusukannya sendiri.
Melihat istrinya terus mengomel tanpa suara, Orion maju selangkah, mengikis jarak di antara mereka, lalu menempelkan bibirnya di bibir Yena. Hanya itu yang bisa membuat kekesalan sang istri menguap.
Yena terkejut, tetapi perempuan itu memilih memejamkan mata dan menikmati setiap sentuhan suaminya. Ciuman Orion serupa candu, membuat Yena hilang akal sampai lupa kalau saat ini keduanya masih di tempat kerja.
"Engh." Perempuan itu melepaskan diri, mendorong Orion sedikit menjauh, lalu meraup udara sebanyak-banyaknya. Namun, itu tak berlangsung lama karena sang suami kembali memagut bibir mungilnya.
"Lho, Bu Naomi? Tumben pagi-pagi ke sini? Ada yang bisa saya bantu, Bu?"
Orion sontak melepaskan pagutannya, lantas saling menjauh dengan Yena. Beruntung, suara apotekernya cukup keras dan membuat mereka tersadar seketika.
"Bu Manda, saya kan udah bilang, panggil Nao aja. Enggak usah pakai ibu segala."
"Enggak enak dong, Bu. Masa sama atasan begitu."
Nao hanya tersenyum kecil. Ia tidak pernah mempermasalahkannya. Siapa yang lebih tua, itu yang harus dihormati. "Orion udah datang, 'kan, Bu?"
"Udah. Lagi ngomel-ngomel kayaknya," sahut Bu Manda sembari terkekeh.
"Kalau begitu, saya masuk dulu, ya."
Bu Manda mengangguk, lantas membiarkan Nao masuk.
"Saya mengerti mungkin kamu punya banyak masalah, tapi tolong ingat bahwa pekerjaan kamu butuh konsentrasi penuh. Salah meyerahkan obat bisa panjang urusannya. Dan masalah obat-obatan yang expired karena kesalahan juga ada pada kamu, jadi harus kamu ganti."
Alis Nao bertautan mendengar suaminya memarahi seseorang. Begitu mendekat, rupanya gadis itu Yena. "Ori, kenapa?"
"Lho Nao? Kok ke sini? Bukannya kaki kamu masih sakit?"
"Udah baikan kok. Lagian, kamu tadi pergi gitu aja tanpa sarapan. Padahal, hari ini pasti bakal sibuk banget karena harus ke rumah singgah," terang Nao. Kedua netranya bergulir, melirik Yena yang masih tertunduk. "Kenapa? Kok dimarahin?"
Orion kemudian menjelaskan semuanya, tentang kekacauan yang dibuat Yena. Siapa sangka kalau Nao malah mendekat, lalu merengkuh perempuan itu.
"Jangan dimarahin, ah. Nanti kerugiannya biar aku aja yang ganti. Cuma enam botol ini." Lagi, Nao bersuara. "Yena jangan sedih, ya. Mulai sekarang lebih fokus lagi kerjanya. Kerjaan kamu kan berurusan sama nyawa manusia, kalau salah bisa bahaya lho. Masalah di rumah jangan dibawa ke tempat kerja, atau kamu kalau ada masalah cerita aja. Nanti biasaya lega kalau udah cerita."
Orion merasa bersalah, Yena apalagi. Mereka merasa bersalah karena sudah mempermainkan perempuan berhati lembut seperti Nao.
"Makasih, ya, Kak. Maaf."
Nao tersenyum sembari mengusap-usap punggung tangan Yena, meskipun ia tidak mengerti untuk apa Yena menyisipkan kata maaf sebagai penutup kalimat.
Setelah memastikan Yena benar-benar pergi. Nao mendekati suaminya, lalu berkata, "Ori, jangan galak-galak sama karyawan. Nanti ditinggal pergi."
Untuk beberapa saat, Orion terdiam. Sampai kemudian lelaki itu membawa Nao ke dalam pelukannya. "Aku enggak akan rugi kehilangan karyawan. Aku bakal lebih rugi kehilangan istri sebaik kamu."
"Apa sih? Emang aku baik gimana?"
"Karena kamu pemaaf."
Aroma parfum yang tercium dari pakaian Orion membuat hati Nao berdenyut sakit. Jelas, itu bukan milik suaminya. "Ori?"
"Ya?"
"Kamu jangan lupa, orang pemaaf juga ada marahnya."
Orion tersentak. Namun, ia tetap berusaha mengontrol ekspresinya agar Nao tak curiga. "Iya, aku tahu."
"Jadi, jangan bikin aku marah, ya?"
|Bersambung|
Sambil dengerin lagu ini deh biar lebih kena.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORINAMI 2 « Selesai »
RomansSelma Naomi Amida tidak menyangka kalau biduk rumah tangganya yang baru menginjak tiga tahun akan dihantam badai besar. Sosok laki-laki yang begitu ia percaya nyatanya membuat hatinya patah berulang, memberi sakit tak berujung. Menghadapkannya pada...