D U A

294 40 5
                                    

Happy reading gaes ....

.
.

"Kamu APA?!"

"Hayla!"

"Maaf." Hayla tampak bersalah setelah sadar apa yang dilakukannya barusan.

Menggeser kursinya supaya lebih dekat denganku, dia menatap serius sehingga ingin sekali kusuapi kue cucur yang sedang kumakan ini.

"Kamu udah nikah? Sama Ali? Ali yang itu ..., 'kan?" Matanya bermain-main. Alih-alih terlihat galak, malah sangat lucu.

Seperti menyadari tingkah konyolnya, dia menegakkan badan, lantas pura-pura membenahi jilbab yang sama sekali tidak berantakan.

"Iya. Ali yang mana lagi kamu kira, kalau bukan Alian Wisnu Akbar alias Mas Inu."

"Ya ampun! Kok, bisa?"

"Bisa aja sih, kalau dia nekad."

Aku menghela napas lelah. Membayangkan waktu itu ketika sedang mendapat cuti seminggu dan kumanfaatkan untuk liburan.
Sampai suatu sore Ayah menelpon menanyakan kabarku. Lantas, diakhir sambungan beliau bilang begini, "Anin, kalau ada yang mau nikah sama Anin, gimana? Mau? Anin pernah bilang sama Ibu dan Bapak kalau udah siap berumah tangga kan?"

Aku yang merasa biasa saja diberikan pertanyaan begitu, langsung menjawab cepat tanpa berpikir. "Iya, Pak. Anin mau."

Rupanya kata 'IYA' dan 'MAU' versi Bapak dan aku berbeda. Yang beliau maksud benar-benar menikahkanku. Bukan seperti versiku yang semuanya melalui proses bernama perkenalan, lamaran dan lain-lain dulu sebagai bentuk membuat keputusan. Bukan langsung mengadakan akad nikah begitu dia datang ke rumah dengan maksud membutuhkan pendamping hidup.

"Terus?" Hayla mendengarkan ceritaku hampir tanpa berkedip dan menyela sejak tadi. Sebenarnya beberapa kali dia ingin menyela, namun jariku segera teracung mengancamnya kalau berani menginterupsi.

"Bentar, nyeruput teh dulu. Kering tenggorokan." Segera setelah meletakkan kembali cangkir ke atas meja kayu yang taplaknya sudah mengelupas di sana sini karena banyak bekas sudutan rokok. "Ya udah. Memangnya aku harus gimana lagi selain menandatangani buku nikah kami."

"Ya salam." Hayla menatapku horror.

Memang seseram itu kok, pernikahan ini.

Pernah satu waktu kutanya dia kenapa ingin menikahiku secepat mungkin tanpa menanyakan pendapatku dulu. Dia dengan songongnya menjawab. "Kalau Mas tanya, memangnya Adek mau? Sayang sekali dek, tahun depan syarat nikah bakalan ribet. Mending sekarang aja mumpung masih ada waktu."

Hadeuh!

**

"Dek, sarung Mas yang tadi subuh di mana ya?"

Tanpa mengalihkan perhatian dari segunung pakaian yang telah beranak pinak semingguan ini yang sedang kulipat, aku menjawab malas-malasan, "udah kutaruh di keranjang pakaian kotor."

"Iya? Padahal baru Mas pakai subuh tadi."

"Mana aku tauuu."

Dia mendekat, berjongkok di depanku dan mau mengobrak-abrik tumpukan pakaian yang kini sedang kuperjuangkan sepenuh jiwa raga. "NGAPAIN?!" aku menarik tangannya menjauh. Gila aja kalau sampai dia menemukan harta karun dibalik tumpukan ini.

"Nyari sarung."

"Kan bisa nanya."

"Kamunya cuek gitu?"

Ya Allah. Kuhela nafas kasar, lantas beranjak menuju lemari kayu yang dibeberapa titik sudah mulai lapuk. Mengambil salah satu kain yang minggu lalu sudah aku susun secara tidak rela. Iya aja lemariku yang kecil harus diisi pakaian bersama dengan dia. Kan, rasa tidak relaku mencuat sekali.

"Nih. Makanya kalau habis sholat, kainnya disimpan di tempat yang aman dan dilipat rapi jangan berantakan."

Aku balik memfokuskan diri pada tumpukan yang sudah bosan kulihat kini, setelah menyerahkan selembar kain sarung motif kotak-kotak padanya.

"Dek, mau jamaah?"

"Ok."

Selamat tinggal gunungan, silakan makin berkembang biak dengan sempurna.

TBC

Jangan lupa, komen kalian menentukan cerita cepat atau lambatnya di next.. sekian

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(Bukan) Tulang RusukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang