Chapter 0 First Movement: of First Meeting and the Eternity

637 31 5
                                    

She could see the pulse beating in his throat, and almost threw her arms around him at the sight because it meant his heart was beating and that meant—

"You're alive," she whispered. "Really alive."

With a slow wonderment he reached to touch her face. "I was in the dark," he said softly. "There was nothing there but shadows, and I was a shadow, and I knew that I was dead, and that it was over, all of it. And then I heard your voice. I heard you say my name, and it brought me back."

"Not me." Clary's throat tightened. "The Angel brought you back."

"Because you asked him to." Silently he traced the outline of her face with his fingers, as if reassuring himself that she was real. "You could have had anything else in the world, and you asked for me."

She smiled up at him. Filthy as he was, covered in blood and dirt, he was the most beautiful thing she'd ever seen. "But I don't want anything else in the world."

The Mortal Instruments: City Of Glass

Cassandra Clare.2009.

Shanghai, August 13th 1848

Ditengah hiruk pikuk pelabuhan, berbagai kegiatan sedang berlangsung. Mulai dari perdagangan hasil tangkapan segar para nelayan, para buruh menurunkan dan menaikkan barang-barang dagangan yang tidak dapat diklasifikasikan apakah itu barang legal atau illegal. Para pekerja atau buruh tersebut sangat bervariasi pula, dari orang dewasa yang terlihat kuat dan bidang sampai anak remaja yang tingginya hanya mencapai setengah dari orang dewasa itu. Manusia memang kejam. Apapun akan dilakukan, tanpa menghiraukan moral dan kode etik, semua demi harta yang fana.

"Hahh..." Seorang pemuda tegap dengan kulit seputih salju dan baju khas bangsawan menghela nafas panjang dan menyandarkan punggungnya pada tembok di sebelahnya, mengawasi dengan bosan keadaan sekitarnya selagi partnernya memeriksa kotak-kotak berisi barang yang baru saja dibelinya dari saudagar pemilik kapal di depan mereka ini. "Masih lama, ah? Kenapa aku harus menemanimu ke tempat seperti ini?" protes pemuda itu kepada partnernya.

Partner pemuda itu, dengan fitur wajah lebih imut dan baju formal bernuansa monokrom, menghadap pemuda itu dan mendengus, "Jangan salahkan aku, salahkan temanmu yang lupa membeli perlengkapan baru setelah dia menghancurkan setengah dari perkakas yang bukan milik kita!"

"Kalau begitu suruh saja dia—" ucapan pemuda itu terhenti seketika saat ia melihat barisan sekelompok anak-anak remaja mengangkut karung-karung berat yang ia perkirakan berbobot sekitar 30-45kg diatas pundak atau punggung kecil mereka. "Mereka...juga memperkerjakan anak kecil..?"

Partner pemuda itu mengikuti pandangan partnernya dan mengangguk, "Kudengar ini hal yang biasa, mereka butuh uang untuk membeli makanan, dan para saudagar di sini juga memerlukan pekerja lebih banyak," ucapnya ringan. Manusia memang seperti itu sejak dulu. Tidak ada yang berubah.

"Tapi tetap saja—"

"KAU!! APA YANG KAU LAKUKAN?!! CEPAT BERDIRI!! Jika isi karung ini rusak apa kau mampu untuk mengganti, hah?!"

Perkataan pemuda itu terhenti lagi, kali ini karena teriakan kencang dari kelompok pekerja remaja itu. Terlihat di sana kepala buruh itu sedang memaki-maki seorang anak lelaki yang terjatuh saat tengah membawa salah satu karung berat itu. Tidak hanya itu, kepala buruh tersebut juga menendang tubuh kecil anak lelaki itu. Darah pemuda itu rasanya mendidih, ia sudah lama sekali melihat kebejatan manusia namun baru kali ini ia merasa perlu untuk ikut campur. Dalam sekedipan mata, pemuda itu sudah sampai di depan si Kepala Buruh dan menampik tangan pak tua yang sudah siap untuk menjambak rambut anak lelaki yang masih terbaring di tanah sambil terbatuk-batuk.

VEINS CONCERTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang