Orang-orang sedang asyiknya menyebar dan berjalan kesana kemari. Ada yang ke kantin, ke kelas sebelah, ke toilet, bahkan ada juga yang mencoba skip lewat pagar belakang. Ada –ada saja manusia-manusia SMA zaman sekarang. Mereka tidak bisa diam. Tidak seperti aku yang selalu duduk sendiri dibawah pohon dekat perpustakaan sekolah. Ya, disitu aku hanya membaca novel-novel si-Pendaki Gunung sambil mendengarkan musik.
Kesendirianku memang sudah mendarah daging sejak kecil. Sampai suatu ketika ada seseorang yang duduk di bangku tepat dua meja didepan mataku sembari memetik gitar dan bernyanyi bersama teman-temannya.
Tidak sekali dua kali ia berada disana, tapi setiap hari. Ya, dengan sengaja aku sesekali mencuri pandang kepadanya. Iya, ia yang beralis tebal dengan mata yang tajam, berbadan atletis, dan suara merdu. Namun, satu hal yang paling aku suka darinya adalah senyumnya. Aku terlalu berhalusinasi untuk bisa mengenalnya.
“Jika aku memandanginya terus, apa itu tidak apa-apa ya?” tanyaku pada diriku sendiri.
“Mana mungkin juga dia menoleh kesini,” gumam ku lagi.
Kemudian ia menoleh kearah ku sambil tersenyum. Sontak aku langsung menutupi wajahku dengan novel.
“Duh, ganteng banget,” kembali gumam ku.
“Apa sih,” jengkel ku sendiri karena memuji lelaki itu.
“Sadar, sadar, sadar. Ayo Kyla, kamu harus fokus dengan novel mu yang belum selesai kamu baca gara-gara melihatnya terus dari tadi,” kataku sambil menurunkan buku yang menutupi wajahku.
Tiada angin, tiada badai. Kenapa lelaki ini sudah ada duduk didepan ku. Jelas sekali aku kaget.
“Hai,” sapanya.
Sambil menahan rasa malu aku hanya diam dan tidak menjawab sapanya.
“Boleh tanya?”
“Iya, apa?” jawabku sambil keringat dingin.
“Kenapa kamu melihatku terus dari tadi? Tidak hanya tadi saja, tapi hampir tiap hari kamu melihatku terus. Ada apa?” tanyanya dengan begitu polosnya.
Sejenak aku kaget. Ternyata dia polos sekali, padahal dengan wajah tampan seperti itu tidak mungkin jika dia tidak buaya darat.
“Halo? Adakah jiwa disana?” tanyanya kebingungan.
“Eh, eemmm,” aku bingung akan menjawab apa.
Ia kembali dengan polosnya melambaikan tangannya didepanku.
Sontak aku langsung merapikan barang-barangku dan pergi meninggalkannya sambil berkata “Bukan apa-apa.” Perasaan campur aduk dengan detak jantung secepat menaiki roller coster, mungkin lebih cepat lagi. “Aghhhhhhhh!!!! Kenapa malah ku tinggal” teriak dalam hatiku.
Dengan cepat ia menggapai tanganku dan langsung menariknya dengan kencang. Apa yang terjadi? Sudah jelas bukan, aku berhenti tepat didepannya dengan jarak hanya 5 centimeter. Dalam hati aku berteriak, “Aghhh, terlalu dekat. Dasar buaya!”
Dia hanya tersenyum manis didepan ku.
“Kamu suka novel-novelnya Fiersa Besari ya? Mau aku kenalin? Rumahnya dekat dengan rumahku loh,” sambil tersenyum manis kembali.
Entah kenapa, aku malah yang jadi bingung dengan sikap acaknya. Tapi ia menjadi semakin menarik dengan sikapnya yang polos dan random.
“Hei? Kenapa diam lagi sih?” mulai kesal.
“Ehh, anu.. Apa?” jawabku terpatah patah.
“Kalau memang suka, ayo ikut aku kapan-kapan kerumahnya bang Fiersa,” ajaknya sembari kembali tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Envoi - Penutup Pendek
Cerita PendekAku berharap dari sekadar cerita menjadi realita