Malam semakin larut tapi keadaan masih sama sejak petang tadi. Hujan deras. Suara petir dan kilatan cahaya membuat suasana tengah malam semakin menyeramkan.
Ani, gadis yang semula nyaman dengan alam mimpinya itu mulai terusik dengan suara keributan diluar sana. Bukan suara petir yang membuatnya terjaga, melainkan suara benda jatuh dan disusul suara makian yang terdengar sedikit samar yang membuat Ani tiba-tiba terjaga.
Apa yang sebenarnya terjadi. Batinnya.
Ani turun dari tempat tidur dan segera melangkah menuju pintu keluar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Baru sampai didepan pintu, suara itu semakin jelas. Itu suara papa dan mama. Desis Ani dalam hati.
Baru saja Ani meraih knop pintu ketika suara benda menghantam lantai terdengar nyaring. Ani terhenyak. Takut membuka pintu kamar.
Ani menelan ludah dengan susah payah. Jujur dirinya takut menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya.
Karena yang Ani tahu, meskipun sikap kedua orangtuanya memang tidak pernah terlihat seperti harmonis pasangan paruh baya lainnya, tapi mereka tidak pernah terlibat dalam pertengkaran apapun. Tapi ini apa? Sulit untuk Ani mempercayai pendengarannya sendiri.
Ani tersentak ketika mama menyebut nama 'ani'. Namanya. Hatinya semakin resah dan jantungnya semakin berdebar-debar.
Diluar hujan semakin deras. Sesekali kilatan cahaya membuat ruangan itu semakin terang lalu disusul suara gemuruh yang membuat hati siapapun ikut bergetar. Sama seperti hati Ani sekarang. Dia terlalu tegang untuk mendengarkan kembali setiap makian dari mama.
Ani menoleh sebentar kearah kamar Ratna yang berada tepat disebelah kamarnya. Ternyata kakaknya juga berada di ambang pintu sama seperti dirinya.
"Apa kamu pernah tanya gimana perasaan ku selama ini?!". Seru mama lagi. "Kamu tahu gimana perasaanku selama ini saat membesarkan anak harammu dengan wanita itu?!". Seru mama lebih keras lagi saat tak ada sahutan dari papa.
Apa yang mama bilang tadi? Anak haram? Siapa? Aku?!. Ani semakin penasaran dengan penyebab pertengkaran kedua orang tuanya. Ani rasa Ratna juga demikian.
Meskipun mereka juga tahu, baik Ani ataupun Ratna tidak pantas untuk ikut campur dalam urusan orang tuanya, tapi saat ini mereka bukan lagi anak kecil yang tidak mengerti apapun. Meraka justru penasaran dengan anak haram yang dimaksud oleh mamanya. Atau kemungkinan yang lebih buruk lagi, anak yang di maksud Mama justru adalah salah satu diantara mereka. Ani atau Ratna. Ani menggeleng cepat menangkis pikiran buruk itu.
"Kamu pasti sadar kalau wajah anak itu sangat mirip dengan wajah ibunya. Makanya kamu lebih menyayangi anak haram itu daripada anakku". Papa masih enggan menatap mama. "Lalu apa balasanmu untuk ku? Selama dua puluh tahun yang ada di kepala kamu cuma wanita itu! Aku berani bertaruh kalau sebenarnya selama ini kamu bahkan tidak pernah mencintaiku".
Papa masih bungkam. Entah karena semua yang diucapkan mama memang benar atau hanya tidak ingin semakin menambah mama emosi. Ani sama sekali tidak tahu.
"Benar kan apa yang aku bilang? Sejak kemunculan wanita itu diantara kita, kamu berubah. Semua berubah. Semua gara-gara wanita itu. Tidak cukup wanita itu mengambil kamu dariku, kenapa sekarang anaknya juga ingin merebut segalanya dari Ratna. Kenapa Ani tidak ikut mati saja bersama ibunya saat itu?! Kenapa?!". Teriak mama kalap.
"Jaga bicaramu?!". Teriak papa tidak kalah dari suara mama.
"Cukup!". Seru Ratna lantang. Dia sudah tidak tahan lagi. Pertengkaran ini harus segera berakhir.
Sakit. Rasanya sakit sekali saat Ani mengetahui satu fakta tentang siapa dirinya dirumahnya ini. Ada apa dengan rumah ini? Kenapa tiba-tiba rasanya rumah ini terasa menakutkan. Apa yang sebenarnya terjadi?. Ani sudah terisak hebat saat papa sudah berada dihadapannya hendak merengkuh tubuh ringkihnya. Tapi Ani menolak.
"Apa yang mama katakan itu benar, pa?". Tanya Ani lirih disela isakannya.
"Maafkan papa, sayang".
Ani bisa melihat itu, ada rasa bersalah yang tersirat dari kedua mata laki-laki paruh baya yang sangat ia hormati itu.
Papa kembali merengkuh tubuh Ani, tapi kali ini Ani mendorong tubuh papa dan setelah itu berlari keluar dari rumah.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dan hujan semakin membuat malam ini semakin terasa menyesakkan bagi Ani. Ani keluar dari rumah hanya menggunakan kaos oblong dan celana selutut khas untuk tidur. Bahkan dia lupa memakai alas kaki. Dia tidak peduli. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah pergi sejauh mungkin dari rumahnya. Apa masih pantas Ani menyebut itu rumahnya? Ani bahkan bukan siapa-siapa dirumah itu.
Tuhan, apa salahku?! Runtuh Ani dalam hati. Hawa dingin sudah sedari tadi menusuk tulang-tulangnya tapi itu belum seberapa dibandingkan rasa sakit di hatinya saat ini.
Kenapa aku dilahirkan jika hanya untuk merasakan rasa sakit ini? Lalu seperti apa wajah ibu kandungku? Kenapa dia harus melahirkan ku jika dia tidak ingin merawatku? Lalu untuk siapa aku hidup di dunia ini?!
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang saat ini memenuhi pikirannya. Tiada jawaban tapi pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Ani terisak lebih keras lagi. Hujan malam ini sempurna menambah kepulauan di hati gadis itu.
"Ani, berhenti!". Seseorang meraih bahu Ani hingga membuat badannya berbalik.
Astaga, bahkan Ani tidak menyadari bahwa Ratna mengikutinya sejak tadi berseru memanggil namanya. Tapi Ani yang terlalu sibuk dengan pikirannya hingga dia tidak menyadari kehadiran sang kakak. Bahkan dia sudah tidak sadar kalau Ani sudah sampai di jalan raya. Hanya ada mereka berdua di trotoar ini mengingat malam yang sudah larut dan hujan masih mengguyur dengan deras.
"Kamu mau kemana?! Kita sudah berjalan cukup jauh. Ayok kita kembali sekarang". Seru Ratna sambil meraih tangan Ani.
"Kembali kemana, kak? Aku bahkan udah gk punya tempat untuk pulang". Balas Ani. Suaranya naik satu oktaf agar tidak kalah dengan suara hujan.
"Kamu bicara apa, ani. Rumah itu masih jadi rumahmu juga. Ayok kita pulang".
Dengan kasar Ani menghempaskan cekalan tangan Ratna pada tangannya. "Tidak, kak. Itu bukan rumahku. Kaka saja yang pulang. Itu adalah rumah kakak". Ani segera berlari kesebrangjalan untuk menghindari Ratna. Tapi tiba-tiba saja suara jeritan Ratna terdengar melengking ditambah sorotan lampu silau dari kejauhan yang mengarah kearah mereka.
Refleks, Ani segera berbalik badan dan berlari kearah Ratna saat ia melihat sebuah mobil melaju kencang kearah sang kakak.
Tanpa pikir panjang, Ani segera mendorong tubuh Ratna kebelakang. Dan disaat itu pula ia merasakan tubuhnya yang sudah terpental cukup jauh karena mobil itu dan tubuhnya sempat berguling beberapa kali di atas aspal yang basah. Dan Ani masih bisa melihat tubuh kakaknya yang juga tergeletak dijalan dengan berlumuran darah tidak jauh dari dirinya berbaring.
Tanpa Ani ketahui, saat ia mendorong tubuh Ratna menjauh dari mobil tadi, ternyata dari arah yang sama ada mobil lain yang juga menyambut tubuh Ratna.
Dan terjadilah kecelakaan kedua kakak beradik itu.
****
Happy reading 😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Terakhir
Short Story".... Jangan pernah berpisah tanpa ungkapan kasih sayang untuk dikenang. Mungkin saja perpisahan itu ternyata untuk selamanya". -Jean Paul Reatcher- Note: Hanya kumpulan cerita