Kali ini Ani datang seorang diri ke rumah mama. Bukan untuk bertemu mama, Ani hanya ingin bertemu dengan Ratna. Rasa takut itu kembali menghantui perasaan Ani. Takut menerima kenyataan bahwa Ratna juga membenci dirinya karena sudah membuatnya menjadi buta. Seharusnya waktu itu ia tidak menolak ajakan Ratna untuk pulang, mungkin kejadian mengerikan itu tidak akan terjadi. Ani menyesal. Tapi itu sudah tidak ada gunanya, nasi sudah menjadi bubur.
Ani menghela nafas sebelum benar-benar menekan bel rumah mama. Satu - dua menit suasana masih lengah. Ani menekan bel untuk kedua kalinya. Kali ini ada jawaban dari dalam rumah dan disertai suara langkah kaki terdengar mendekati pintu. Sedangkan Ani, gadis itu menanti dengan jantung yang berdebar. Siap menerima segala kemungkinan terburuk sekalipun.
Pintu rumah terbuka. Muncul seorang gadis yang sangat Ani kenali dan tentu saja sangat ia rindukan. Meskipun sedikit terlihat berbeda, Ani tetap mengenali gadis itu. Dia Ratna.
"Maaf, siapa ya?". Tanya ratna.
Satu bulir air mata mengalir begitu saja dari sudut matanya mengetahui keadaan sang kakak sekarang. Dan itu karena dirinya. Kakak, maafkan aku. Rintih Ani dalam hati.
"Apakah ada orang di sana? Tolong, jawablah". Ucap Ratna sekali lagi karena belum ada balasan dari orang yang menekan bel rumahnya. Ratna hendak kembali menutup kembali pintu rumahnya ketika Ani tiba-tiba memanggil namanya.
"Kak Ratna". Lirih Ani menahan isakan.
Ratna sedikit tertegun mendengar suara yang amat ia kenali sekaligus orang yang amat ia rindukan. Sudah satu tahun lebih ia tidak mendengar suara itu dan baru sekarang Ratna kembali mendengar suara itu. Suara adiknya, Ani.
" Ani, itu kamu kan , Ani". Balas Ratna senang. Ratna kembali membuka pintu rumah dengan lebar. Tangannya terulur di udara berharap Ani segera menyambut tangan Ratna dan Ani dengan meraih tubuh Ratna masuk kedalam pelukannya. Melepaskan kerinduan yang mereka pupuk selama 1 tahun.
"Kakak, maafin aku ..." Isakan Ani pecah begitu saja dalam pelukan Ratna.
Mereka sama-sama terisak. Saling melepaskan kerinduan yang sempat mereka tahun selama satu tahun.
***
"Ayolah, kak. Kak Ratna harus bisa membujuk mama untuk pulang. Kasihan papa. Mama dan kak Ratna adalah keluarga papa yang sebenarnya". Pinta Ani. "Kasihan papa, kak".
"Tapi, Ani. Kamu tau sendiri bagaimana sifat mama. Aku juga berharap kalau keluarga kita bisa kembali utuh seperti dulu lagi". Jelas Ratna yang juga tidak bisa berbuat lebih.
"Besok aku akan menemui mama. Aku akan bicara sama mama. Kalau perlu aku akan memohon sama mama untuk segera pulang". Ungkap Ani. "Aku janji, kak. Tidak akan lama lagi kalian bisa hidup bahagia seperti dulu. Tunggulah sebentar lagi".
"Ani, kamu tidak perlu melakukan semua ini". Isakan Ratna.
Ani segera memeluk tubuh Ratna.
"Aku harus melakukan ini". Ucap Ani. Aku akan melunasi hutangku dan sisanya adalah bagian kakak. Lanjut Ani dalam hati.
Ani melepaskan pelukannya dari tubuh Ratna. "Kak, aku harus pulang sekarang".
"Baiklah. Hati-hati dijalan". Setelah itu, Ani bergegas keluar dari rumah mama.
Sesampainya di rumah, Ani segera menuju ke kamar dan menghempaskan tubuh lelahnya ke kasur. Kepalanya kini sudah dipenuhi berbagai rencana untuk bertemu dengan mama dan membawa beliau kembali ke rumah ini. Tapi tiba-tiba kepalanya berdenyut menyakitkan disertai rasa mual yang membuat dirinya bergegas menuju kamar mandi.
Hoeeeek Hoeeeek
Hanya cairan bening yang keluar dari mulutnya. Ani sama sekali tidak menyukai perasaan ini. Ini membuat dirinya terlihat begitu menyedihkan. Membuat dirinya tidak bisa melakukan lebih untuk mengurangi beban yang di tanggung papa setelah kepergian mama dari rumah ini.
Setelah merasa cukup, Ani memandangi pantulan dirinya di cermin wastafel.
"Aku mohon, bertahanlah sebentar lagi. Kamu pasti bisa". Pintanya pada diri sendiri.
Tak lama kemudian handphone yang berada di atas kasur itu berdering. Incoming call.
Masih dengan sisa tenaga yang ada, Ani segera berjalan kearah dimana kasurnya berada. Ingin tahu siapa yang menelponnya.
Terlihat Ani menghela nafas sebentar sebelum menjawab panggilan yang sedari tadi membuat suasana kamarnya menjadi berisik.
"Halo, profesor?". Sapanya pada seseorang yang ada di seberang sana. "Iya, profesor. Saya akan segera kasih tau papa soal ini. Tidak, profesor. Saya akan menyelesaikan ini dengan segera. Saya baik-baik saja. Baiklah. Saya mengerti". Lagi-lagi Ani menghela nafasnya setelah mengakhiri telepon tadi.
Sekarang dia benar-benar tidak mempunyai banyak waktu lagi.
***
Happy reading 😊😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Terakhir
Short Story".... Jangan pernah berpisah tanpa ungkapan kasih sayang untuk dikenang. Mungkin saja perpisahan itu ternyata untuk selamanya". -Jean Paul Reatcher- Note: Hanya kumpulan cerita