PART 4: OUR HOUSE?

133 4 0
                                    

FINALLY SATURDAY!

“Honeeeey! Come here.”, seperti biasa Bunda pasti pergi.

“Yes Bunny what’s up?”,kataku sembari menuruni anak tangga.

“Hari ini Bunda sama Kaka mau pergi, kamu Bunda tinggal di rumahnya Tante Ozora ya?”, tanyanya sembari ber make-up ria.

“Tante Ozora itu siapa ya Mam?”, tanyaku karena sungguh aku tak mengenali Tante Ozora.

“Temen Bunda, kebetulan Tante Ozora juga ikut sama Bunda jadi kamu Bunda titipin di sana. Soalnya ada temen sebaya kamu ko di sana.”, menjelaskan apa yang tidak kumengerti.

“Baiklah. Aku siap-siap dulu ya.”, menaikki anak tangga dan bersiap-siap.

Akhirnya, kami berangkat dan nyampe. Lagian hanya beda beberapa rumah. Wajar, aku anak yang malas bergaul dengan tetangga.

“Eh, Tante.”, aku mencium tangannya.

“Itu anak tante ada di atas ya.”, katanya menunjuk ke lantai atas.

“Cowo apa cewe tan?”, tanyaku penasaran.

“Cowo sayang. Gapapa kok dia ga akan gigit. Lagian ada ade nya tuh cewe, kamu bisa main sama dia. Okay? Oh iya, kamu nginep di sini ya malem ini soalnya tante sama Bunda ada pekerjaan yang ga bisa diselesein satu hari. Oke sayang?”, ia mengusap rambutku dengan lembut. Aku bisa menebak pasti tante Ozora tipe orang penyayang.

“Oke tante. Hati-hati di jalan.”, aku mendelik ke Bunda ku karena aku tidak bisa tidur sendiri. BUNDAAAAA!!

Akhirnya aku masuk dan terdengar alunan musik biola. Aku langsung menghampirinya dan ternyata…

“BEYYYY?”, kataku shock.

“LOH? KOK ELOOOO?”, katanya membulatkan mata seakan tak percaya.

Aku memakai baju tak berlengan dan rok pendek. Ah, salah kostum.

“Gue salah pake baju kalo gini caranya.”, kataku sambil menurunkan rok ku agar terlihat tak terlalu pendek.

Andre membuka lemari dan mencari-cari baju. “Nih biar lo ga kedinginan dan enak juga diliatnya.” Ia memberikanku kaos dan celana panjang. Ternyata, dia gentleman juga.

“Makasih, toilet dimana?”, tanyaku memegang baju dan celananya. Ia menunjukkan dimana toilet itu berada.

Di kamar mandi, aku sudah memasang baju dan celana yang diberikannya namun aku terus mengaca. Asik, pake pakaiannya Andre HUAAAAAAAA, batinku. Memutar ke kiri, ke belakang, ke depan, ke kanan. Ah kenapa jadi kaya gini? Ga bener Zey ga bener, batinku sambil merasakan detak jantung. Aku berhenti mengaca dan mulai jalan ke kamar Andre.

“Nah itu lebih enak diliatnya.”, katanya sambil melihatku dari atas sampai bawah.

Aku langsung duduk di samping Andre dan melihatnya bermain gitar. “Mau?”, tanyanya sambil menyodorkan gitarnya. “Mau.”, jawabku. Sebenarnya, aku rada mahir sih bermain gitar.

“Eh kunci F#m tuh gimana, Bey?”, tanyaku sambil mencoba-coba. “Bey jawab ih.”, aku melihat ke kanan dan dia sudah hilang dari pandanganku. “Lah dia kema—“.

Tiba-tiba seseorang melingkari kedua tangannya di pundakku dan kepalanya berada di atas pundakku. “Kaya gini, Zey.” Pipiku merah merona ketika tau itu adalah Andreano. “Bentar, jangan protes. Udah dulu latihannya.”, aku hanya terdiam dan hatiku berdebar lebih kencang 10x daripada biasanya.

Beberapa menit kemudian, ia melepas kedua tangannya tanpa merasa awkward. “E-eh, ade lo kemana?”, mencairkan suasana.

“Lah? Gue ga punya ade.”, katanya heran.

Dear AndreanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang