Ab Initio

737 9 1
                                    

Kata orang mata adalah jendela jiwa. 

Umurku baru 18 tahun. Masih muda, masih terlalu hijau, belum mengerti pahit manisnya kehidupan. Beban hidup hanya seberat belajar menjelang ujian akhir dan sakit hati hanya sesakit SMS yang tidak terbalas. Akupun tahu kalau hidupku sangat mudah. Bagaimana tidak, aku punya bapak dan ibu yang menyayangi aku, saudara kandungku menganggapku sebagai sahabat, harta orang tuaku berlimpah, parasku, walau tidak bisa dikatakan cantik bak model, tetaplah menarik bila dipandang lekat-lekat. Di sekolah pun aku punya banyak teman. Ya, mungkin aku bukan termasuk gadis populer tetapi banyak orang mengenalku, mungkin itu karena aku memang orang yang cukup supel dan hangat. Nilai-nilaiku juga cukup membanggakan, kalau kata teman-teman "Lo pasti bisa masuk Ivy League dengan nilai seperti ini!". Namun entah kenapa aku tak tertarik menempuh pendidikan tinggi-tinggi. Jangan salah, bagiku pendidikan sangat penting, tapi pendidikan tidak selalu harus yang formal, bukan? Aku rasa kita bisa belajar dimanapun, kapanpun— tidak harus saat sedang berada dalam ruangan kelas atau ketika dihadapkan dengan soal-soal ujian. Kadang aku merasa ada yang kurang dalam hidupku, tapi apa? Aku memiliki segalanya. Aku sehat, aku disayangi oleh orang-orang terdekatku, aku tidak berkekurangan dalam hal materil, aku.. aku..

Rasanya aku tidak tahu diri kalau aku mengeluh. Tapi mengeluhlah aku. Aku ingin sekali merasakan cinta. Cinta yang ada di novel, cinta yang ada di film-film, cinta yang tertulis dalam sejarah karena kisahnya yang begitu memilukan, cinta yang ajaib, cinta yang tragis, cinta yang murni, cinta, cinta, cinta. 

Delapan belas tahun aku hidup di dunia dan aku belum pernah merasakan cinta. Cinta monyet, sih, jangan dihitung. Edwin? Felix? Rama? Cinta monyet semua. Sekadar suka, bukan cinta. Bukan itu yang aku mau, yang aku impikan. Aku bermimpi menikah dengan seorang lelaki yang amat kucintai. Tentunya dia juga cinta padaku. Kami akan hidup bahagia selamanya. Teman-temanku sering berkata aku terlalu mengelu-elukan pernikahan.

"God, Ethel! Stop glorifying marriage! No one romanticizes marriage like you do. Jangan sampe lo malah kecewa nanti karena ekspektasi lo tentang pernikahan gak terpenuhi saking tingginya ekspektasi lo itu!"

Masa sih? Apa salahnya jatuh cinta dengan seseorang, menikah dengannya, membangun bahtera rumah tangga dengan suami idamanmu itu, melahirkan anak-anak yang memiliki matamu dan bibirnya, menghabiskan sisa hidupmu dengannya.. apa yang salah dari semua itu? Berabad-abad manusia telah melakukan semua hal itu, kenapa aku tidak bisa? 

Sepertinya pertanyaanku terjawab pada perayaan ulang tahunku yang ke-19. 

Aku mengadakan birthday dinner di bilangan Senopati. Salah satu restoran bernuansa Perancis milik sahabat ibuku menjadi venue acara ulang tahunku. Aku memang menginginkan perayaan yang simpel. Tak ada MC, tak ada guest startak ada rundown acara. Cukup santapan makan malam bersama orang-orang terdekatku ditemani alunan musik jazz. 

"Thel, itu siapa? Oke banget." sobatku Naima menunjuk ke belakangku.

Aku menengok ke belakang dan melihat tiga orang berjalan mendekat kearahku. Aku mengenal salah satunya, ibuku, tapi aku belum pernah melihat dua orang yang lain. Seorang wanita paruh baya dengan rambut memutih terlihat berbicara asyik dengan ibuku. Wanita itu tinggi semampai, tubuhnya dibaluti setelan jas berwarna hijau tua dengan menggenggam tas Hermes Birkin dengan warna yang senada. Usianya yang jelas tidak muda lagi tidak mampu mengurangi keanggunan dirinya. 

"Ethel! Itu siapa sih? Lo kenal ngga?" Naima berseru tanpa berusaha mengurangi volum suara. Adekku Muriel yang duduk di seberang pun menoleh ke arah kami. Aku pun memalingkan pandanganku ke orang ketiga. Jelas dia yang paling tinggi dari mereka bertiga, dia juga satu-satunya pria di grup itu. Dengan gaya rambut buzz cut, wajahnya sangat jelas dilihat. Dirinya blasteran, hidungnya besar tapi mancung, kulitnya putih tapi tidak pucat, alisnya lurus dan tebal, dan.. oh, ini pasti yang dimaksud Naima. Rahangnya tegas dan bibirnya tipis membuat dia sangat maskulin.

Berikutnya mataku memandang tubuhnya. Posturnya tegak tanpa dibuat-buat, sepertinya bahunya selebar Gurun Sahara! Kemeja abu-abu yang dipakainya melekat pada bahu dan dadanya yang bidang. Lengan kemejanya dilipat hingga sikunya, memperlihatnya tangannya yang besar dan sedikit berurat dan—

"Woy! Lo jangan mangap gitu dong! Bentar lagi ngences!" giliran sobatku Ivana yang mencubit pipiku. 

Ohmigod he's so hot! Damn!

"Sori, sori, tapi dia hot abis. Dia siapa sih?" tanyaku. 

"Lah? Kok lo yang nanya? Ini kan hajatan lo, ya, itu tamu lo! Dasar gila" sembur Ivana.

"Sssst lo berdua diem dulu. Itu nyokap lo ke arah sini dan bawa si ganteng! Plis jangan malu-maluin. Stay cool, guys!" Naima tampak merapi-rapikan poninya dengan jemarinya lalu memasang senyumannya yang katanya paling 'sensual'. Menurutku sih seperti orang lagi sembelit. 

Benar saja, Mama menghampiri meja kami yang berada di ujung palazzo. 

"Ethel, ini kenalan dulu sama teman Mama dan anaknya. Mereka jauh-jauh dari Bali kesini, lho, untuk ngucapin selamat ulang tahun. Mbak Kinasih, ini anakku yang pertama Ethel. Ethel ini Tante Kinasih dan si handsome Narendra." Mama kok cekikikan kayak ABG gini sih?

Eh, bentar. Narendra. Oh. 

"Happy 19th birthday, darling. Kita belum pernah ketemu ya? Sayang sekali, kamu sepertinya gadis yang luar biasa. Tante temannya Mama kamu sejak jaman SMA, waktu kami masih sama-sama singset! Dulu kita langsing banget ya, Helen?"

Mama hanya tertawa lepas. Sepertinya Tante Kinasih mengada-ada, jelas dia tetap menjaga tubuhnya hingga bisa selangsing sekarang.

"Oh iya, ini anak tante, Narendra. Salaman dulu dong, nak."

Orang yang disebut Narendra itu berekspresi seolah-olah dia tidak ingin berada di tempat itu. Boro-boro entusias, berusaha terlihat tertarik untuk berkenalan pun tidak. Aku dan Narendra pun berjabat tangan. Tangannya dingin, mungkin suhu AC di mobilnya dibuat paling rendah. Mungkin dirinya memang sedingin tatapannya.

"Narendra."

"Oh, uh, E-ethel."

Kedua sahabatku menyikut kakiku dari bawah meja. Iya! Gue tau gue kikuk banget tapi siapa sih yang bisa stay cool di depan orang kayak dia?

"Mbak Kinasih, kapan-kapan main dong ke tempatku. Atau kami aja nih yang ke Bali?"

"Ah, bisa diatur itu! Apalagi kan setelah ini.."

Kedua ibu-ibu pun asyik sendiri dengan obrolannya, namun pria di sebelah mereka tampak seperti ingin kabur saja. Dia berdiam di tempat sambil menatap kosong ke arah luar jendela. Dari sudut pandangku, iris matanya tidak berwarna hitam atau coklat tua layaknya orang Asia. Matanya coklat tapi sangat terang, bahkan seperti terdapat flek-flek kehijauan. Ketika sedang menatapnya lekat-lekat, matanya tiba-tiba menoleh padaku. Aku terkesiap melihat sorotan matanya. 

Kata orang mata adalah jendela jiwa. 

Amarah. Benci. Pasrah.

Life Is What You Make ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang