Fidite Nemini

245 8 1
                                    

Setelah ia mengganti pakaian dengan setelan bersih, Narendra pamit untuk pergi ke kantor. Ia memberikan keningnya untuk dikecup oleh Bunda lalu berjalan ke arah Ayah dan menggenggam tangannya sejenak.. dan terakhir ke aku. Bunda memerhatikan kami berdua dengan lekat, aku tak bisa berkutik. Aku memainkan kancing bajuku agar tidak harus beradu pandangan dengannya. Entah aku lebih menginginkan dia ngeloyor pergi tanpa basa-basi atau.. atau.. Aku tiba-tiba merasakan tangannya menepuk-nepuk kepalaku. Ketika aku mendongak, ia menarik kembali tangannya dan memasukkannya pada saku celana lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Eh? Apaan tuh? Dari ujung mataku aku melihat Bunda berusaha menahan senyum. 

***********************************

"Bun, kok banyak banget?" Aku memilah-milah pesanan makan siang kami dengan bingung. Pak Mur, supir Bunda, membeli makanan di kawasan Kebayoran Baru. Kebetulan Bunda sedang kangen dengan masakan Korea dan Han Min Jok, sebuah restoran milik temannya. Aku menatap hidangan di meja; jap cae, haemul pajeon, dan dwaeji gochujang. Makanan yang Bunda pesan sepertinya sedikit berlebihan untuk kami berdua. Mungkin biar gue bisa bawa pulang kali, ya?

"Narendra mau makan siang bareng kita. Bunda lupa bilang, ya?" Bunda menjawab santai sambil menuangkan daechucha ke cangkirku. Kamar jenis suite di rumah sakit ini memang memiliki ruang keluarga yang berisi meja makan khusus Selain satu set meja makan terdapat pula microwave, kulkas serta perlengkapan-perlengkapan lain yang bisa digunakan keluarga pasien. Udah kayak apartemen sih namanya. Tidak sampai limat menit pria yang kami bicarakan datang. 

*************************************

Kami menyantap makan siang dengan diselingi pembicaraan ringan. Aku memerhatikan sorot mata Bunda sedikit tajam setiap kali memandang Narendra. Pria itu sendiri tampak tidak menanggapi ibunya. Aku hampir saja tersedak dwaeji gochujang yang sedang aku kunyah ketika suamiku membuka mulutnya.

"Setelah kamu selesai makan saya akan bawa kamu ke rumah. Liat-liat dulu karena mulai minggu depan kita akan tinggal di situ." Ia mengatakannya dengan begitu santai, seakan sedang membicarakan kondisi lalu lintas atau cuaca siang hari. Luar biasa! Aku cepat-cepat meneguk minuman sehingga tenggorokanku sedikit lebih lega. Aku memerhatikan Narendra menatap ibunya dengan ekspresi seakan mengatakan 'Tuh? Sudah kan? Puas?' 

Bunda memijat-mijat pundakku sembari mengatakan betapa senangnya ia dan Ayah bila kami bisa tinggal dalam satu rumah, layaknya suami-istri. Bunda berlanjut menjelaskan bahwa empat tahun merupakan waktu yang cukup lama untuk saling menyesuaikan diri dengan perkawinan ini, dan tentunya aku sudah tidak lagi anak baru gede yang masih terlalu muda untuk memulai keluarga– Memulai keluarga?!

"Tunggu dulu, tunggu! Bunda lagi ngomong apa, sih? Sejak kapan aku tinggal di Indonesia? Bareng dia pula!" Aku mengangkat jari telunjuk dan menunjuk ke arahnya. Ia tidak bergeming dan terus menyantap makanan di piringnya. Aku tidak bisa menahan rasa shock. Kenapa tiba-tiba ada perubahan seperti ini? Apa yang membuat mereka memutuskah hal in tanpa sepengetahuan aku?

Tatapan Bunda tidak pernah seperti sekarang ini. Ia tampak serius dan sedih sekaligus. "Ethel, kamu tahu arti perkawinan kalian? Kami mengharapkan kalian bisa meneruskan garis keturunan, dan Bunda rasa kamu sudah siap. Umurmu sudah cukup matang dan Narendra tentunya mampu mengurus dan menafkahi kamu. Tunggu apa lagi?" Pria di seberangku tidak mengatakan apa-apa. Ia tampak seperti orang yang sudah terlalu sering mendengar percakapan ini dan menjadi bosan. Sementara aku, aku merasa seperti dunia esok akan tiada. Meneruskan garis keturunan? 

"Ta-tapi Bunda kan tau kalo aku sama Narendra itu–" Ucapanku terpotong oleh kedua tangan Bunda yang menangkup pipiku. Dengan jemarinya ia mengusap pelan pipiku dan tersenyum lembut. 

Life Is What You Make ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang