Bagian 3

17 3 0
                                    


Hari Minggu ini aku bangun agak siang. Tadi malam aku benar-benar harus berusaha ekstra untuk tidur sebab bayangan cowok-kantin-kampus itu - yang sekarang kuingat namanya Gitar – terus menerus muncul dalam benak hingga membuatku gelisah. Aku baru bisa benar-benar terlelap lewat pukul 02.00 dini hari dan akhirnya terbangun saat matahari sudah tinggi. Untung saja aku masih menginap di kosan Violet, sehingga tidak ada Mama yang siap siaga mengomeliku saat bangun terlambat.

Aku segera merapikan tempat tidur dan membersihkan diri seadanya di kamar mandi, kemudian menghampiri Violet yang sedang duduk di teras depan sambil memetik gitar kesayangannya. Tunggu, kenapa sih benda kesayangan Violet harus sebuah G-I-T-A-R? Memikirkan adanya kesamaan tidak langsung antara benda kesayangan Violet dengan nama cowok-kantin-kampus itu saja langsung membuat bayangan sang pemilik nama tersebut kembali menari-nari dalam pikiranku.

"Jam segini baru bangun, nggak takut rejekinya dipatok ayam, Neng?" celetuk Violet saat aku ikut duduk di bangku teras bersamanya.

"Engga tuh. Malah aku yang mau matok rejeki orang," sahutku cuek sambil menyomot sepotong gorengan dari piring diatas meja.

"Enak yaa... Bangun-bangun udah ada makanan di depan mata," sindir Violet.

Aku hanya tersenyum selebar mungkin. "Gorengannya enak, Vio. Makasih yaa... Kamu memang sahabat yang paling pengertian sedunia deh."

"Dasar hiperbolis. Bilang aja lu memang nggak bisa liat makanan nganggur."

"Nah, tuh kan pengertian." Aku kembali nyengir sambil terus melahap gorengan dingin penuh minyak yang tetap terasa enak karena di makan saat sedang kelaparan. Sementara itu, Violet kembali menarikan jemarinya diatas senar gitar hingga menciptakan sebuah irama yang merdu.

"Jadi, gimana sama cowok yang kemarin?" tanya Violet tiba-tiba.

"Siapa? Gitar?" aku balik bertanya untuk memastikan.

Violet mengangguk. "Kamu beneran suka sama dia?"

"Entah. Selain keren, kuakui dia juga baik sih. Tapi, kayanya kecepetan deh kalo aku menyimpulkan bilang suka, apalagi aku baru ketemu dua kali sama dia, Vio."

"Kalo memang menurut kamu dia orang baik, nggak usah ragu. Susah loh, nemu cowok baik jaman sekarang," kata Violet.

Entah hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh dalam nada suara Violet barusan, seperti ada sesuatu yang tertahan dan berusaha ia sembunyikan dalam-dalam. Sayangnya, aku juga tak memiliki gambaran sama sekali apa sebabnya. Ah, mungkin benar kata Violet, aku sedang hiperbolis.

"Kamu tuh ya, pagi-pagi udah ngomongin cowok aja padahal sama-sama jomblo. Mending aku mandi aja deh. Makasih ya, gorengan gratisnya," kataku beranjak ke kamar mandi setelah menyambar sepotong gorengan terakhir yang tersisa di piring.

"Eh, gorenganku diem-diem kamu abisin?!" seru Violet.

"Kebanyakan makan gorengan tuh nggak baik Vio, nanti kamu bisa sakit perut lagi kaya kemarin," sahutku sambil menghindari lemparan cabai rawit dari Violet dan bergegas menuju pintu kamar mandi.

* * *

Sudah empat hari berselang sejak pertemuanku dengan cowok-kantin-kampus itu dan dia masih seringkali melintas dalam pikiranku tanpa permisi. Bahkan saat aku sedang duduk menghadap laptop di tengah-tengah taman kampus yang cukup ramai seperti sekarang. Lebih gilanya lagi, aku sempat terinspirasi untuk menjadikan cowok itu sebagai salah satu tokoh fiksi dalam tulisanku. Mungkin karena nama Gitar cukup unik, atau itu hanya alasanku saja agar aku bisa selalu merasa dekat dengannya? Ah, aku mulai berpikir seperti seorang maniak dan itu sedikit menyeramkan.

Gitar Cinta VioletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang