Bagian 5

5 2 0
                                    

Violet sudah 2 jam berada di ruang operasi. Kini, kedua orang tuanya sudah tiba di rumah sakit dan menunggu di depan ruang operasi bersama putri sulung mereka. Dua hari lalu, Violin segera menghubungi orang tuanya begitu tahu Violet kambuh dan pingsan di kampus. Baru pada malam harinya, orang tua mereka datang dan mulai bergantian dengan Violin menjaga Violet. Orang tua mereka memang tidak tinggal di kota ini, melainkan tinggal di kota yang sama dengan tempat Gitar berkuliah. Semasa sekolah, Violet memang masih tinggal bersama orang tuanya di kota tersebut dan ia juga satu sekolah dengan Gitar. Dari sanalah kisah Antara Violet dan Gitar bermula.

Aku duduk di sebuah koridor agak jauh dari ruang operasi karena tidak ingin menganggu pembicaraan keluarga Violet. Tiba-tiba sekumpulan asap mengepul menghalangi pandanganku. Aku mendongak dan mendapati Gitar yang sedang menyodorkan segelas teh hangat di depanku.

"Thanks," ucapku singkat.

Gitar membalasnya dengan tersenyum, kemudian duduk di sampingku sambil meminum isi gelasnya sendiri secara perlahan.

Sebenarnya di dalam pikiranku saat ini banyak sekali pertanyaan mengernai Violet yang ingin kutanyakan kepada Gitar. Namun, aku tiba-tiba urung karena merasa situasinya sangat tidak tepat.

"Lo udah lama kenal sama Violet?" tanya Gitar memecah keheningan. Satu pertanyaan yang juga ingin kutanyakan pada Gitar.

"Udah sekitar satu tahunan sejak hari pertama masuk kuliah. Lo sendiri?"

Gitar menghela nafas panjang sebelum akhirnya bercerita, "Gue udah kenal Violet sejak kelas 10. You know lah cowok, pasti obrolannya nggak jauh-jauh dari cewek cantik. Tapi, dia baru kenal gue di kelas 11, karena kebetulan kami sekelas. Dari awal, gue udah tertarik sama Violet, apalagi setelah gue tahu dia juga suka musik kaya gue."

Deg! Aku merasa sebagian dugaanku kini mulai terjawab. Sebelumnya, aku beranggapan bahwa hubungan Violet dan Gitar lebih dari sekedar teman dekat. Ekspresi Kak Violin saat pertama kali melihat Gitar tadi juga sedikit banyak seperti membenarkan anggapanku.

"Dan ternyata, Violet juga punya perasaan yang sama ke gue. Kami akhirnya pacaran, mungkin sekitar 5 bulan. Lalu saat naik kelas 12, Violet tiba-tiba mutusin gue secara sepihak dan dia pindah ke kota ini," lanjut Gitar.

"Jadi, lo –– adalah cinta pertama Violet?" tanyaku dengan sedikit ragu.

"Bisa jadi."

"Lo tahu kalau Violet sakit pas masih pacaran sama lo?"

Gitar menggeleng. "Nggak sama sekali," sahutnya. "Gue cuma tahu sisi Violet cantik, yang ramah, yang pinter, yang bisa belajar dalam waktu singkat. Bahkan dulu saat gue kasih dia gitar, dia langsung bisa bikin lagu beserta melodinya."

Gitar?

"Gue tebak lo pasti juga nggak tahu kan, kalo Violet sakit?" tanya Gitar.

Aku mengangguk. "Tapi, sekarang gue jadi tahu alasan Violet suka banget mainin gitar kesayangannya. Tenyata gitar itu dari lo."

"Violet masih suka main gitar?" tanya Gitar lagi, kali ini nada suaranya berubah menjadi lebih antusias.

"Iya. Violet main gitar dan nyanyi-nyanyi lagu yang nggak gue tahu hampir setiap hari dan kalo dia lagi ada waktu senggang."

"Lo tahu gitarnya jenis apa? Atau warnanya mungkin?"

"Mana ngerti gue jenis-jenis gitar. Ya kaya gitar pada umumnya, warnanya item, ada sedikit gradasi warna violet di body­-nya dan ada stiker warna putih tulisannya..."

"'Gitar'," timpal Gitar lebih cepat. Tiba-tiba cowok itu menyunggingkan senyum lebarnya yang sangat indah di pandang.

Sebuah kesimpulan kini melayang di benakku. "Jadi, maksudnya tulisan 'Gitar' itu nama lo? Pantesan aja gue ngerasa aneh. Orang kalo liat juga tahu kali kalo benda itu namanya gitar, kenapa juga harus dikasih nama segala?"

Senyuman Gitar kini berubah menjadi tawa ringan yang suaranya sangat merdu bagi indera pendengaranku. Violet beruntung sekali pernah memiliki pacar seperti Gitar. Andai Violet sembuh, pasti Gitar akan dengan senang hati memilih untuk kembali bersama Violet. Aku mendadak merasa sedih, namun aku di sisi lain aku juga merasa malu karena bukan perasaanku-lah yang seharusnya kurisaukan sekarang.

"Makasih ya, lo udah jadi sahabat baik buat Violet," ucap Gitar sambil menepuk bahuku pelan.

"Gitar, lo masih sayang sama Violet?" Entah mengapa pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. "Eh, sorry, kalo lo nggak nyaman nggak usah dijawab," aku buru-buru meralat.

"Awalnya gue pikir iya. Waktu gue makan di kantin kampus lo dan nggak bisa bayar itu, sebenernya gue berniat mau ketemu sama Violet."

Ternyata Gitar santai saja menjawab pertanyaan ngawurku. Aku mulai menyesal menanyakannya tanpa berpikir lebih lanjut. Dan sekarang aku mulai ragu apakah aku benar-benar ingin mendengar jawaban selanjutnya.

"Tapi di kantin itu gue kembali mikir, apa iya Violet juga mau ketemu sama gue? Lalu setelah itu gue ketemu sama lo dan akhirnya gue batalin niat untuk ketemu Violet lagi. Gue harus belajar terima kenyataan kalo Violet mungkin juga udah punya kehidupan baru di kampus ini dan gue nggak berhak ikut campur lagi."

Aku merasa ambigu dengan kalimat Gitar. "Lo batalin niat ketemu Violet, bukan gara-gara ketemu sama gue, kan?"

Gitar tidak menjawab. Matanya fokus tertuju pada seorang dokter dengan baju operasi berwarna biru gelap yang keluar dari ruang operasi Violet dengan wajah lelah. Keluarga Violet segera menghampirinya untuk berbicara. Gitar berpaling padaku sejenak dan aku segera mengerti. Kami akhirnya bangkit dan mendekati keluarga Violet untuk ikut mendengar keterangan dari dokter tersebut mengenai kondisi Violet.

Vio, semoga kamu baik-baik saja...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gitar Cinta VioletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang