Kasur Empuk

84 8 2
                                    

Entah sejak kapan badan ini selalu kaku saat akan beranjak dari kasur empuk dengan sarungnya yang sudah tak nampak bentuk asalnya. Dibukanya mata dengan perlahan, terlihat jam dinding mengarahkan jarum pendeknya hampir menuju angka 8 dan jarum panjangnya mengarah ke angka 11. Ternyata ini kali kelimabelasnya aku tak datang ke sekolah. rekor fantastis bombastis untuk seorang siswa yang duduk di kelas XI MIPA 1. Angka satu setelah kata "MIPA" menandakan bahwa aku sedang berada di kelas para pemburu nilai.

Ku paksakan angkat kaki kananku menuju sisi kanan kasurku, ku raih perlahan lantai yang dinginnya melebihi jawaban "Oh" dari gebetan. Terduduklah aku sambil memandang jendela yang masih tertutup tirai, menghalangi cahaya matahari yang berusaha merangsak masuk melalui sela-sela kecil kain tiray. Kuraih ponselku yang tergeletak di samping bantal dengan charger yang masih tercolok dari tadi subuh. Terlihat dari layar ada 22 panggilan tak terjawab dan 34 WA yang masuk. Waduuh ternyata semua panggilan dari Santi, pacarku.

"Roni udah sampai mana ?"

"Roooon udah berangkat beluuum?"

"Roniiiii kamu gak sekolah lagi ? Pasti belum bangunkan ? Iiiih"

"P"

"P"

"P"

Dan puluhan hurup "P" berbaris rapih memenuhi layar ponselku, berharap ada satu "P" yang tercontreng biru.

"Iyaaaa aku baru bangun ini, semalem tidur jam 2." Ku kirim balasan untuknya.

Perlahan, aku berjalan keluar kamar menuju dapur. Bangun kesiangan memang memakan energy yang cukup besar. Ditambah dengan membayangkan Santi yang nanti akan berpidato dengan segala omelannya membuat kalori terus berkurang dan membutuhkan bahan bakarnya lagi.

"Jam segini baru bangun?" Suara bapak membuyarkan bayanganku dengan cepat.

"Iya" jawabku dengan singkat, padat, jelas, terukur. "Gak sekolah lagi? Lu itu mau jadi apa sih ? Sekolah aja susah!" "Yang jelas gak mau kaya bapak!" aku jawab dengan ketus sambil meneruskan langkah ku menuju dapur. "Dasar anak gak tahu diri, masih untung lu gua urus." Kini kadar karbohidrat dan kaloriku terjun bebas tak tertahankan. Tak mau ku habiskan sedikit energy yang masih tersisa ditubuhku untuk meladeni ocehan bapak.

Malang sekali nasib tubuh ini. Iya harus kembali kekurangan sisa-sisa tenaganya setelah melihat dapur yang begitu berantakan kaya lapangan bola habis dipakai konser dangdut agustusan. Satu botol kaca berukuran besar, berlabelkan sosok kakek-kakek berjangkut putih, berkepala botak ditengah dan rambut panjang di sisi kepalanya berwarna putih pula. Kulit kacang yang berserakan di meja makan, lengkap dengan bungkusnya yang kosong bergambarkan binatang yang sering dianggap playboy berjumlah dua ekor.

"Kalau mau rusak, jangan di rumah ini." Ucapku sambil keluar rumah, berharap Bu Ningsih masih menyisakan sedikit gorengannya.

Berjalan dengan langkah yang amat perlahan, mengingat beban yang begitu berat harus menimpa tubuh kurusku ini. Aku harus menerima semua omelan bapak setiap hari, dengan atau pun tanpa alasan. Rumah yang seperti sebuah arena debat nasional antar pejabat negeri. Bedanya kalau disana bersih, di rumahku berserakan sampah bekas mabuk bapak. Dan juga bedanya kalau di sana saling tebat dengan sadar, kalau di sini debat antar manusia waras dan pemabuk. Tak terasa satu tetes cairan bening keluar dari mata kiriku. Teringat mamah yang entah dimana sekarang. Dia pergi meninggalkan kami sejak aku kelas 3 SD. Awalnya dia pergi untuk bekerja di Arab Saudi. Setelah 5 tahun tak ada kabar, datanglah kabar yang menjadi awal semua pertikaian dengan bapak. Mamah menikah lagi di sana dengan seorang laki-laki asal Indonesia juga. Bu Ningsih inilah yang memberi kabar tersebut setelah beliau pulang dari Arab Saudi sebagai TKW pula. Bapak pun berubah total. Mabuk jadi makanan sehari-harinya. Judi jadi pekerjaannya. Melacur jadi pelampiasan birahinya. Aku? Dia anggap sebagai biang keladi kepergian Mamah karena merasa akulah yang menjadi beban kehidupan rumah tangganya, sehingga mamah harus pergi jauh ke tanah para sultan untuk mencukupi kehidupan kami.

"Bu gorengan masih ada?"

"eeeh nak Roni, yaaah ituu tinggal pisang goreng 4 lagi."

"ooh iya gak apa-apa bu dari pada kehausan eh kelaparan hehe."

"Hehe bisa aja kamu. Eh, kok, kamu gak sekolah? kesiangan lagi yah?"

"Hehe iya bu."

"Emangnya bapak kamu gak ngebangunin?

"Lah si ibu. Kayak gak tahu kelakuan si bapak hehe"

"Walah lee, sing sabar yo. Bapakmu tuh sebenernya orang baik, tapi yaah gitu deh"

"Tenang aja bu. Kesabaran Roni udah tebal banget, lebih tebal dari bedak para cabe-cabean."

"Hahaha hus jangan gitu ah. Ya udah makan aja pisangnya, gratis."

"Hehe kebetulan, Roni emang gak bawa uang. Makasih ya bu"

"Iyooo"

Bu Ningsih ini memang baiknya gak tertahan bagiku. Dialah yang sering memberi makan saat bapak tak pulang dari judinya. Saat aku masih kecil, Bu Ningsih pula yang sering menenangkanku ketika aku menjadi pelampiasan amarah bapak.

Sambil mengisi waktu yang sangaaaaat luang ini, aku pun mengeluarkan ponsel Chinaku, ditekannya aplikasi bergambar sosok berbaju putih berhelm tukang las besi, ku miringkan ponsel, keluarlah tulisan "Tensen Gemez", salah satu perusahaan Game yang menjadi pengembang Game Battle Royale Mobile. Satu game dua game lumayan lah buat push rank. Tiba-tiba mataku tertahan ke atas layar ponselku, ada satu pesan yang masuk dari number tak dikenal, ku usap layar sentuh ponselku ke bawah, tertulis dengan sangat jelas..

"RONI APA KABAR? INI MAMAH"


TRASH BAGWhere stories live. Discover now