Nasi Uduk

33 3 0
                                    

"Santiii, bangun! Shalat subuh dulu!"

"Iya bu."

Masih setengah sadar, aku pun menjawab panggilan ibu, beriringan dengan sautan suara Adzan yang berkumandang dari setiap masjid yang ada di sekitar rumahku. Kupaksakan beranjak dari posisi tidur miringku, hendak menuju kamar mandi untuk membasuh seluruh anggota wadluku. Saat berjalan di ruang tengah rumahku, terdengar suara ibu masih membangunkan anak bujangnya yang tidur di kamarnya, satu lantai di atas kamarku. Bocah ini memang susah sekali kalau dibangunkan. Akhirnya ku injakkan kakiku di lantai kamar mandi yang masih kering karena belum ada yang memakainya. Kebetulan ibu sedang ada 'halangan' untuk shalat. Ku buka keran air yang tingginya selutut denganku. Ku sentuh sedikit air yang lajunya tak begitu deras. Dinginnya sampai menusuk pori-pori tanganku. Kemarau memang memberikan suhu yang lebih dingin ketika subuh hari. Ku basuh seluruh anggota wudluku dengan tertib.

Selepas Shalat, seperti biasa ku kirimkan Do'a untuk Almarhum ayahku. Ayah meninggal tepat sebulan setelah aku masuk salah satu SMA Negeri favorit yang ada di Ibu Kota ini. Ku lipat 'mukena' putih dan sejadah bergambar Ka'bah. Ku simpan ke dalam laci lemari 'eksel' berwarna hijau paling atas. Sejenak ku lihat kasur empuk berukuran sedang, tepat di samping kanan lemari 'eksel' ini. Tempat dengan gaya gravitas terbesar di bumi itu terus saja menggoda dengan kenyamanan yang dia janjikan. Langsung saja kupalingkan pandanganku dan bergegas menuju dapur untuk membantu ibu memasak nasi uduk dan lauknya. Ibu memang harus berjualan nasi uduk setiap hari sebagai sumber penghasilan bagi anak-anaknya. Aku pun tak luput membantunya dengan membawa sebagian dagangannya ke sekolah untuk dititipkan ke kantin sekolah. Adik laki-lakiku? Dia pun ikut membantu dengan mendo'akan kami selepas Shalat lalu melanjutkan tidurnya. Terkadang ingin ku teriakki telinganya sambil berkata "Woy, bantuin kita napa! Enak aja lu malah tidur di kasur penderitaan Gua!" Tapi, sikap ibu yang meredakan amarahku. Ibu pernah bilang supaya kita harus pelan-pelan ngasih pengertian sama dia. Anak SMP kaya dia kalau di sentak, gak akan nurut, yang ada malah membangkang. Apa yang ibu katakan memang benar. Bocah itu memang sering sekali tidur selepas Shalat Subuh. Tapi dialah yang paling rajin membantu ibu mencuci piring kotor sepulang sekolah. Dia pun selalu mencuci bajunya sendiri tanpa harus diperintah.

Nasi uduk sudah selesai dibuat, aku pun membantu ibu menjajakan dagangannya di etalase kecil yang ada di depan rumah. Bukan hanya nasi uduk dan lauknya saja yang ibu jual, ada juga gorengan seperti bakwan, cireng, pisang goreng dan tempe mendoan. Tak terasa jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Aku pun bergegas mandi, agar Roni tak terlalu menunggu lama ketika menjemputku. Yah, Roni ini pacarku. Setiap pagi dia selalu menjemputku menggunakan sepedah motor matic-nya.

Haaaah segar sekali rasanya. Air musim kemarau memang sangat dingin, tapi jika terus dipakai rasanya segar sekali, melebihi kesegaran buah alami dari minuman kemasan. Tapi kok Roni belum ada yah.

"Buu, Roni udah datang belum."

"Belum nak, dari tadi ibu belum liat dia." Kemana lagi dia? Hmmm aku mulai curiga dia belum bangun lagi.

"Roni udah sampai mana ?"

Aku pun melanjutkan memakai kemeja sekolah panjangku, kumasukkan bagian bawah kemejaku ke dalam rok panjangku. Ku tutupi rambut lurus panjangku menggunakan kerudung lipat berwarna putih, bersolek sedikit, karena aku tak suka dandan yang berlebihan. Sudah 10 menit berlalu, Roni belum menunjukkan batang hidungnya. WA pun gak ada balas dia.

"Roooon udah berangkat beluuum?"

Dengan kesal yang bergejolak, aku pun pamit kepada Ibu untuk berangkat sekolah menggunakan ojek pangkalan yang ada di dekat rumah. Untung saja sekolahku tidak terlalu jauh dari rumah, sekitar 10 menit sudah sampai menggunakan motor. Dengan membawa 50 bungkus nasi uduk di keranjang, aku pun berangkat menuju sekolah bersama mamang ojek. Rumahku memang cukup dekat dengan rumah Roni. Perjalanan menuju sekolah harus aku lalu dengan melewati rumah dia. Ku tengok samping kiri, melihat rumah roni yang masih sepi. Tak berani aku berhenti dan mengajak dia pergi sekolah. terakhir kali ku lakukan itu, al hasil aku malah di salahkan oleh bapaknya. Dia anggap akulah penyebab Roni sering bangun kesiangan.

TRASH BAGWhere stories live. Discover now