Do'a Luna

19 4 1
                                    

Selayaknya gadis seusia Luna. Menginjak dua puluh lima tahun, dan masih belum juga bertemu dengan mas-mas gagah yang berani mempersuntingnya. Luna sama sekali tidak risau. Yang Dia risaukan hanya, bagaimana seseorang dengan banyak kekurangan sepertinya bisa diterima, jika nanti benar-benar bertemu dengan salah satu diantara mereka? Ehm, jodoh maksudnya.

Luna, gadis pembenci keribetan. Masih belajar dandan demi menaikkan level. Tapi, yah ... Jelas sekali itu tidak berhasil. Sebanyak apapun wajah dipoles, sesering apapun di maskerin. Hidung nggak bakal jadi mancung, kecuali di filler. Badan nggak bakal jadi tinggi, dan kulit always satu tingkat diatas eksotik. Terima saja, Allah sudah takdirkan dan kita tidak bisa protes apalagi unjuk rasa.

Tapi, jika boleh Dia memohon, satu keinginannya. Agar Allah menjodohkannya dengan makhluk manis dalam foto profil itu.

********

Luna berlari tergesa-gesa memasuki kamar. Satu jam, ya, Dia terlambat satu jam dari biasanya. dengan cekatan dibukanya laman sosial media dengan alat persegi canggih di atas meja.

"Zian." Bibirnya mengeja satu persatu nama itu. Tampaklah beranda akun penuh foto-foto alam dan kata-kata indah.

Lima tahun lalu, saat masih mondok di Ad-dzikri putri. Kunjungan selalu menjadi hari paling membahagiakan bagi Luna. Satu-satunya kesempatan keluar asrama sambil cuci mata. Belanja yang nggak kelar-kelar buat alibi. Selain masih kangen orang tua, biar nggak cepet balik juga tentunya.

Tak bisa Ia pungkiri, pemuda itu selalu berhasil membuatnya tersenyum. Entah karena tulisannya, atau karena tanda love merah yang konsisten muncul setiap kali status berhasil Luna post-kan. 

Perlahan gadis itu meletakkan pipi di atas tumpukan tangan. Menatap wall berlatar belakang laut dengan punggung lebar didepannya. Lamat-lamat teringat perjumpaan pertama mereka, perjumpaan yang mungkin saja sama sekali tidak disadari pemilik punggung tersebut.

"Afwan." suara beratnya mengagetkan. Membuat belanjaan yang telah selamat karena tabrakan kecil barusan, lolos begitu saja ke lantai. luna memandangi batangan sabun beraroma buah-buahan bakal pewangi lemarinya di bawah, dan pemuda di depannya bergantian.

"Bisa bantu saya?" tanya Luna ragu.

"Ya," dengan cekatan tangan berjari kokoh itu menaikkan sabun-sabun di atas tumpukan barang bawaan Luna. Ia tersenyum, sebelum akhirnya pergi entah ke bagian toko sebelah mana. Dari cara berpakaiannya, Luna tahu, pemuda itu anak Ad-dzikri putra.

"Di sini juga, Lun?" sapa gadis berjilbab putih dengan ujung lancip persis di bagian dahinya. Style anak pondok, sekaligus buat tameng kalau lagi pingin tidur di kelas. Hehe.

"Iya, La. Kunjungan juga?"

"Kunjungan daerah." gadis bernama Lila itu tersenyum.

"Mereka, Kalimantan juga?" Luna menunjuk segerombolan anak putra tepat di dekat pemuda tadi.

"Oh, itu Zian, Roni, sama Dzul. Iya, sedaerah. Saudara jauh juga, sih."

Yes! Tahu juga kan, akhirnya. Luna senyum-senyum sampai dikasir. Zian, namanya Zian.

*******

Tiga tahun berlalu. Menginjak kelas lima, karena satu dan lain hal Luna harus berhenti. Bisnis bapak colabs, melihat bapak dan ibu yang selalu datang dengan Honda CB tuanya, menempuh enam jam perjalanan membuat gadis 16 tahun itu sedih. Beberapa bulan terakhir, hanya satu dus supermi yang mereka bawakan tiap kali datang, beberapa lembar uang puluhan yang hanya cukup untuk membeli satu buku saja.

Luna tidak ingin menjadi beban. Masih ada dua adiknya yang harus bergantian diurus. Bagaimanapun Dia tahu, semurah-murahnya biaya di sini, tetap saja lebih murah di rumah.

KUMCER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang