"Permisi, Mas." Seorang gadis bewajah oval di balut jilbab abu muda hati-hati meletakkan secangkir teh lemon di atas meja. Mata bulat indahnya bergerak mencuri pandang kearah Faris yang masih sibuk berkutat dengan tumpukan map dan laptop, seolah tak perduli sekitar.
Faris mengerang, meregangkan lengan ke atas, kemudian menyisir rambutnya dengan jemari sebelum kembali pada kesibukannya lagi. Alis tebal yang yang berderet sempurna, rambut hitam legam yang disisir rapi dengan kulit putih bersih. Bagaimana bisa seorang laki-laki memiliki kulit sebening itu? batinnya, kemudian buru-buru beristighfar.
"Masih sama," tak sengaja ia bergumam sambil tersenyum tipis. Delapan tahun lalu, mungkin dia akan memikirkan banyak hal demi mendapat satu pandangan kesal dari pemilik mata elang di depannya, namun kini semua sudah berubah. Delapan tahun, waktu yang cukup lama bagi seseorang menyimpan perasaan, bukan? Saat itu dia masih terlalu muda, ego-nya masih terlalu tinggi.
"Ada yang mau kamu sampein?" pemilik suara bas itu menatapnya.
"Nggak, Mas," gadis itu meringis, menampilkan deretan gigi rapihnya. Perlahan Ia melangkah, meninggalkan ruangan sambil memantapkan hati. Setelah sekian lama, ini pertemuan pertamanya, dan pria itu masih saja sendiri.
"Kamu harus berhenti, Kinar. Mas Faris itu terlalu tinggi." Suara buke masih terngiang jelas di kepalanya sampai saat ini, tatkala wanita paruh baya itu mengetahui anak gadisnya sudah mulai jatuh cinta.
"Tapi mas Faris belum punya calon, Buk." protesnya saat itu.
"Ya jelas belum, lahwong masih kuliah!" buke menyemprot baju dengan pelicin, kemudian menatap anaknya lagi. "Tapi apa kamu nggak nyadar, Nduk? buke ini asisten rumah tangga, kowe anaku, opo neh penampilanmu kuwi setengah lanang setengah wedok." Mata buke melihat Kinar dari atas kebawah. Kinar berhenti melamun, kemudian menyadari penampilannya.
"Berharap kowe jadi anggun saja buke nggak berani, apalagi punya mantu juragan!"
Rambut sebahu tak terawat, celana training dan kaos oblong yang jarang di ganti. Apa iya Faris mau melihatnya? Sedangkan dia sendiri tahu bagaimana wanginya Faris. Di mata Kinar, laki - laki itu selalu bersinar. Kemeja dan kaosnya bersih, kulitnya putih, dengan rambut yang selalu rapih.
"Kinar pasti berubah, Buk." Ucapnya perlahan.
*******
Delapan tahun lalu, saat usia Kinar masih lima belas tahun dan Faris baru saja menyelesaikan skripsi. Yangti yang selama ini merawatnya meninggal, dan buke memutuskan untuk memboyongnya kerumah besar ini. Bu Irma, orang tua Faris menyambut baik keputusan buke, malah dengan senang hati menyekolahkan Kinar di Sekolah terbaik dan mengurus semua keperluannya, dengan alasan mereka sangat menginginkan memiliki anak perempuan.
Mungkin dulu Kinar tidak perduli, tapi semakin berjalannya waktu, semakin dia paham kenapa buke sama sekali tidak mendukung perasaannya.
Setelah Faris mengambil S2-nya di luar negeri, kemudian memutuskan untuk melanjutkan perusahaan almarhum ayahnya di Jakarta, Kinar sedikit demi sedikit mulai belajar melupakan perasaannya. Mengubah penampilannya yang tomboy dan acak-acakan menjadi lebih rapih. Bahkan prestasi akademiknya di Sekolahpun patut diacungi jempol.
Dia bergabung dengan beberapa klub menulis, kemudian memenangkan beberapa lomba menulis, dan sedikit demi sedikit bisa mengumpulkan uang untuk biaya pendaftaran kuliahnya. Kinar tidak ingin bergantung sepenuhnya pada bu Irma, beliau sudah cukup baik selama ini.
"Sebagai anak pertama, mas Faris pasti terbebani dengan semua tugas yang dia pikul setelah pak Hans meninggal." suara buke sedih. Kinar melirik beliau sesaat, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Setrikaan masih banyak, tidak ada waktu memikirkan Faris.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUMCER
RomanceTerdapat beberapa kumpulan cerpen tentang wanita, suka duka dan perjuangannya. Tentang cinta dan sakit hatinya.