Dalam sebuah keluarga, tentunya momen dimana semua anggota keluarga berkumpul adalah momen yang sangat hangat. Namun, tidak semua keluarga seperti itu. Ya, ini adalah kisah Diana yang memiliki masalah dalam keluarganya. Hampir setiap malam tiba, Ayah dan Ibu Diana selalu saling melontarkan kalimat-kalimat yang menusuk hati. Tak jarang, barang yang rapuh pun menjadi korban pertikaian mereka.
Saat itu, Diana masih berumur 8 tahun, seorang gadis kecil manis ini sedang asik bermain dengan krayon dan pensil warna di ruang tamu. Tak lama, suara kendaraan bermotor terdengar mendekat dan berhenti di garasi rumahnya, Diana pun menyadarinya dan berteriak dengan senangnya, "Ayah pulang!" Dia pun bergegas lari dan membuka pintu.
Tak sempat membuka pintu, pintu itu terbuka terlebih dahulu dengan Ayahnya yang terlihat seperti akan meledak sewaktu-waktu. Benar saja, Ayahnya yang melihat Diana menyambutnya itu pun mendorong gadis kecil itu, "Ck ... minggir!" bentaknya, "Ma! Mama! Sini kamu!" orang tuanya pun bertikai dan mengabaikan Diana yang tersungkur kesakitan itu.
"Ayah sama Mama bertengkar lagi," ujar Diana dalam hati, "ga boleh ... mama sama papa ga boleh bertengkar lagi." Diana pun berdiri dan berlari menghampiri orang tuanya itu, bermaksud untuk melerai mereka. Tapi, yang didapat Diana bukanlah hal yang baik, melainkan pukulan dari seorang Ayah.
"Mau apa kamu? Hah!?" bentak Ayahnya sembari memukul Diana, "Jangan ikut campur!" Sang Ayah yang sedang dimabuk amarah itu pun mendorong keras Diana yang tak berdaya itu hingga kepala Diana terbentur tembok yang keras, Diana pun terkapar tak berdaya dengan air mata mengalir deras. Sejak saat itu, Diana sering mendapat kekerasan tanpa sebab dari Ayahnya.
Terima kasih untuk Ayahnya, karena Diana mendapat banyak trauma yang Ia simpan sendiri didalam hati. Diantaranya adalah trauma terhadap laki-laki dan panik saat ada orang yang bertengkar dihadapannya.
Setelah itu, Diana pun depresi. Beban hati yang Ia tanggung begitu banyak, kesedihan yang Ia rasakan begitu besar, Ia merasa bahwa menangis tidaklah cukup baginya untuk meluapkan emosinya yang campur aduk itu. Hingga puncaknya, saat Diana duduk di kelas 1 SMP, dia benar-benar sudah tidak tahan akan emosinya. Dia mencoba pergi ke warnet (Internet Cafe), bermain ke rental game konsol, pergi ke taman, dan segala hal yang kemungkinan bisa mengurangi beban dihatinya itu. Tapi, memang tidak cukup, hingga dia mencoba hal baru yang cukup ekstrim. Ya, 'Self-Harm' lah yang dimaksud.
Malam itu, malam yang cukup biasa baginya, mendengar kalimat-kalimat umpatan keluar dari mulut orang tuanya, badannya yang memar dan terasa nyeri itu sampai tidak bisa Ia rasakan sakitnya. Pertama, Ia bermaksud untuk mengakhiri rasa sedihnya itu dengan mengakhiri hidupnya sendiri, Ia pun mengambil sebuah jarum dan kembali duduk dipojok kamarnya yang gelap, dengan air mata yang tak kunjung berhenti, Ia terisak, "Mungkin, ini yang terbaik untukku." Di tancapkan lah jarum ke tangannya yang kecil dan lembut itu, hingga jarum tertancap dalam dan darahnya pun mengalir keluar, tangisan Diana yang lirih itu tidak cukup untuk menggambarkan rasa sakit dari tusukkan jarum.
"Aduh ... s—sakit banget ...," ucapnya kesakitan, tapi entah kenapa rasa sedih yang Ia rasakan malah berkurang dengan bertambahnya rasa sakit dari tusukkan jarum. Ia pun merasa, bahwa dengan menyakiti dirinya sendiri, Ia dapat mengurangi rasa sedih yang Ia rasakan. Dan, dari sinilah awal mula Diana melakukan Self-Harm.
Tak hanya jarum, Ia juga menggunakan silet cukur yang Ia beli di toko dekat rumahnya untuk menyakiti dirinya sendiri. Banyak sekali luka bekas sayatan dan tusukkan di kedua lengan Diana, demi menutupi lukanya, Ia selalu menggunakan baju berlengan panjang kapan pun Ia keluar dari kamarnya, dengan dalih ingin menjadi gadis yang lembut dan sopan, Ia menutupi sifat aslinya agar tidak ada yang mengetahui lukanya.
Perjalanan hidup Diana memanglah sulit, saat ini Diana telah duduk di kelas 12 SMA. Semester baru teman baru suasana baru, mungkin itulah yang dipikirkan teman sekelas Diana saat ini, namun tidak dengannya, dia tetap menjalaninya seperti biasa, diam dan tenang, tidak ikut bergaduh dikelas, guru pun suka dengannya karena dia pintar dan selalu menurut apa yang dikatakan oleh guru. Ia dikelas tidak seperti teman sekelasnya, Ia tenang, Ia selalu duduk di bangku depan dekat pintu di kanan kelas, selalu membaca buku sepanjang jam sekolah, sifatnya yang pemalu tidak bisa Ia ubah.
Bell telah berbunyi, waktunya istirahat, teman sekelasnya bergegas keluar kelas dan pergi ke kantin, Ia tetap duduk di bangkunya dan membaca bucu, "berisik banget, aku jadi ga fokus baca buku," ucapnya lirih, tak lama, buku yang Ia pegang itu ada yang menariknya dengan cepat, Ia pun terkejut dan melihat ke arah anak yang menarik bukunya, "hei!" teriaknya.
Seorang anak laki-laki berdiri tepat didepan pintu masuk kelasnya, bersandar pintu yang terbuka dengan tangan kiri yang menahan tubuhnya di meja Diana, "baca apaan sih serius banget?" ucap laki-laki itu, "heehhh"
"Hei, kembalikan!" Seru Diana mengambil bukunya dari tangan laki-laki itu, laki-laki itu pun terkekeh,
"gitu aja marah," laki-laki itu pun pergi meninggalkan Diana sendiri di kelas.
"Resek banget," ujar Diana dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati dalam sangkar
Любовные романыDiana, gadis muda yang cantik dan lembut ini memiliki berbagai kegundahan hati. Tiada satupun orang paham akan apa yang di alaminya, Bahkan rumah tidak bisa menjadi tempat yang indah baginya. Mungkin, "Broken Home" adalah sebutan yang cocok untuk di...